OTT (Operasi Tangkap Tangah) kasus korupsi Edhy Prabowo dan Juliari Batubara sedikit banyak memberikan harapan terhadap pengikisan pelaku pencucian uang yang dilakukan oleh pejabat. Setidaknya membalikan persepsi terhadap Revisi Undang-Undang KPK yang sempat ditentang banyak pihak. Menariknya kedua tersangka merupakan menteri dari dua partai terbesar pada pemilu 2019, yakni PDI Perjuangan dan Gerindra.
Sikap independensi KPK tetap terjaga meski upaya pelemahan sempat menjadi isu nasional di tengah sikap otoriter pemerintahan. Dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan.
KPK mempunyai tugas untuk berkoordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK); supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK; melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaan tugasnya, KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan BPK. KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
Baca Juga : Apa Kabar Pembantu Presiden?
Lembaga Pemerintah dan Negara
Selama ini, ada kerancuan tentang konsep pemerintah dan negara. Pada prakteknya, banyak lembaga pemerintah dan negara yang dicampuradukan secara fungsi dan nilainya. Menurut Heywood, ruang lingkup negara lebih luas (extensive) dari pada pemerintah. Pemerintah adalah bagian dari negara yang terdiri dari semua institusi dan lembaga pada ruang publik, meliputi semua anggota komunitas tersebut yang sering disebut sebagai warga negara.
Negara adalah entitas yang berkelanjutan bahkan seringkali menjadi permanen, sedangkan pemerintah bersifat sementara karena terus menerus berganti berdasarkan ketentuan sistem yang dianut sebuah negara. Pemerintah adalah alat pelaksana otoritas negara dimana dalam perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, pemerintah berfungsi sebagai “otak” serta mewakili keberadaan negara.
Negara menjalankan otoritas yang impersonal dimana staf birokrasi direkrut dan dilatih untuk bisa bersikap netral secara politik sehingga bisa diandalkan untuk tidak terpengaruh karena adanya pergantian pemerintahan. Secara teoretis, negara mewakili kepentingan masyarakat (common good atau general will) sementara pemerintah mewakili kepentingan sebagian kelompok yang pada saat itu sedang memegang kekuasaan.
Pada tanggal 24 Juli 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) alias PNS. Sedangkan prinsip dari KPK adalah lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Penetapan KPK sebagai ASN seolah menggambarkan bahwa KPK dianggap sebagai lembaga pemerintahan, bukan lagi sebagai lembaga negara. Apalagi pelantikan lembaga negara serigkali melibatkan presiden (lembaga eksekutif) sebagai penentu keabsahan. Sikap independen berarti membatasi diri dari intervensi politik atau lembaga pemerintah lainnya, termasuk presiden.
Jika negara dianggap sama dengan pemerintah, maka kekuasaan tertinggi berada di tangan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus kepala negara, bukan lagi di tangan rakyat. Menjadikan pemerintah sebagai subjek dan negara sebagai objek. Padahal dalam sistem politik nasional, seharusnya presiden hanya sebagai “pekerja outsourching” di bawah naungan negara. Pemerintah hanya diberikan tugas untuk mengatur dan mengelola tatanan sosial untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bangsa dan negara.
Baca Juga : Mencari Sosiawan yang Tidak Sosiopat
Peran KPK
Ketika KPK beralih fungsi menjadi ASN, maka kredibilitasnya akan bergantung kepada pemiliknya (pemerintah). Pengaturan gaji, tugas, wewenang, dan lain sebagainya yang sudah diatur oleh pemerintah untuk membatasi keindependensian KPK dalam menjalankan tugasnya. KPK tidak mempunyai otoritas mandiri mengatur organisasi atau lembaganya.
Kasus OTT adalah sedikit potret bagaimana pembantu (KPK) melawan majikannya (pemerintah). Kapasistas Menteri adalah pembantu presiden yang dipilih karena kemampuan mengatur kelembagaan bidang yang dikuasainya. Jika ada bagian pemerintah yang terkena OTT KPK maka akan menimbulkan dua persepsi. Pertama, KPK yang tetap independen meski “diatur” oleh pemerintah. Kedua, KPK yang tidak tahu diri karena mempermalukan pemerintah (majikannya).
Namun dari penangkapan menteri sosial (PDI Perjuangan) dan menteri perikanan dan kelautan (Gerindra) membuktikan bahwa KPK tidak gentar terhadap upaya pelemahan dalam revisi UU KPK. Sebaliknya, pemerintah membuktikan sikap keadilannya karena tidak pandang bulu dalam melindungi partai pengusungnya. Semua sama di mata hukum.
Sekarang tinggal menunggu komitmen Jokowi tentang pernyataan hukuman yang setimpal bagi pelaku korupsi dana bantuan sosial Covid-19. Beranikah Jokowi “membunuh” Juliari Batubara dengan hukuman mati pelaku korupsi bansos? Atau akan mencabut pernyataannya karena pelakunya adalah kerabat sesama PDI Perjuangan?
0 comments: