Di beberapa tempat, agama cukup sensitif untuk dibahas. Tidak hanya antar agama, bahkan perbedaan pandangan di dalam agama itu sendiri. Banyak di antaranya mencoba membatasi diri dari rasa ketersinggungan, perbedaan yang tidak ada ujungnya, hingga tersudutnya pemahaman atau keyakinan yang selama ini dibawa. Setiap orang akan berusaha memperjuangkan identitas agamanya agar terkesan benar dan menang di hadapan yang lain.
Atas pemahaman dan pengalamannya meyakini kebenaran agama, muaranya adalah sikap berkuasa di dalam diri. Sehingga secara alam bawah sadar berhak untuk menyalahkan dan mendiskreditkan yang lain. Ditambah dengan dukungan dari lingkungan yang kadung fanatik akan subjektivitas kebenaran yang diyakini. Puncaknya adalah pemutusan hubungan pertemanan, asmara, hingga sanak-saudara karena perbedaan sikap dalam memandang kebenaran agama.
Ketika keyakinan sudah melakat dalam diri manusia, mereka akan berusaha memaksakan kehendak kebenaran yang diyakini kepada orang lain. Jika menolak akan ada sikap skeptis dan secara spontan dihindari untuk mencari “penumpang” baru dengan tujuan yang sama. Ketika sudah merasa cukup ilmu, mereka akan mempengaruhi dan menggiring opini untuk bersama melawan kebenaran lain yang tidak sama dengan kebenaran yang diyakininya.
Perang gagasan mempertahankan argumen kebenaran agama semakin tak terelakan. Opini yang terlanjur disampaikan akan dicari dalil pembenarannya. Sehingga perdebatan seolah terkesan ilmiah dan mendasar. Sementara penonton (jamaah) dijadikan pembeli, di mana pedagang akan menyajikan jajanan agama di pasar. Sampai-sampai di antaranya saling mengeluarkan diksi-diksi filsafat atau sains untuk menebalkan argumennya, yang sayangnya tidak begitu dipahami arti dan sejarah akar katanya.
Baca Juga : Agama Menjadi Konflik Zaman Modern?
Radikalisme
Istilah ini sering digunakan untuk mengolok ajaran atau pemahaman orang lain yang berbeda prinsip dengannya. Dalam perjalannya, seakan semua menyepakati bahwa kata “radikal” ditujukan untuk penganut agama yang anarkisme hingga terorisme. Namun kiranya perlu pengetahuan lebih untuk membedah makna radikal itu sendiri.
Radikalisme diambil dari bahasa Latin radix yang artinya akar. Menurut Encyclopædia Britannica, kata radikal dalam konteks politik pertama kali digunakan oleh Charles James Fox. Pada tahun 1797, ia mendeklarasikan "reformasi radikal" sistem pemilihan, sehingga istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi pergerakan yang mendukung reformasi parlemen.
Jika kata radikal atau radikalisme dikembalikan ke makna awal (sebelum dikonotasikan menjadi: kekerasan), maka seharusnya setiap umat beragama harus bersikap radikal. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun juga harus radikal, karena di dalamnya mengandung konsep paling mendasar (mengakar) dalam memahami sesuatu. Radikal dalam beragama adalah pondasi dalam mencapai puncak iman seseorang.
Baca Juga : Memberhalakan Agama
Liberalisme
Sebaliknya, tuduhan balik sering menggunakan istilah liberalisme untuk menyalahkan individu ataupun kelompok yang berseberangan. Menghimpun masa untuk memberikan label-label kesesatan dengan alasan mencampuradukkan semua prinsip agama (kebebasan).
Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu.
Beragama harusnya mempunyai pemikiran yang liberal. Jika agama masih kaku dengan menganut faham konservatisme, maka agama akan ketinggalan dan kehilangan pengikut. Maka dari itu banyak gerakan atau aliran agama yang menerapkan prinsip progresif dalam menjelaskan dan menjalankan agamanya.
Bahkan dalam sejarahnya, agama selalu menjadi bagian hidup yang diandalkan dalam mengatasi problematika sosial. Jika sandaran tersebut tidak adaptif terhadap perkembangan zaman, maka umat beragama akan kehilangan kepercayaan terhadap agama yang dianutnya. Itu sebabnya pemikiran liberalisme dalam beragama akan selalu ada untuk keberlangsungan agama itu sendiri.
Baca Juga : Islam, Azan, Terorisme
Khilafah
Ramai diperbincangkan mengenai film JEJAK KHILAFAH DI NUSANTARA. Bagi yang mendukung gerakan khilafah, maka mereka akan mencarikan dalil pembenaran mengenai konsep dan sistem khilafah tersebut. Kemudian menghimpun berbagai sejarah kejayaan khilafah dan titah dari agama yang wajib dilaksanakan. Sedangkan bagi yang kontra, maka meraka akan mencemooh dan melawan dengan argumen yang berseberangan. Perdebatan dan pergunjingan akhirnya menjadi bahasan pokok sehari-hari.
Khilafah adalah sistem kepemimpinan bagi seluruh kaum Muslim di seluruh dunia untuk menerapkan hukum-hukum (syariah) Islam. Orang yang memimpinnya disebut khalifah atau Imam atau Amirul Mukminin. Paling mencolok memperjuangkan khilafah adalah Hizbut Tahrir yang sudah banyak ditolak di beberapa negara karena dianggap menyalahi ideologi negara.
Jika kata khilafah adalah preposisi dari kata khalifah, maka hukumnya wajib bagi setiap umat muslim. Menjadi rancu kalau mengaku Islam tapi menolak ajaran khilafah yang tegas diperintahkan dalam Alquran. Perlawanan itu sebenarnya bukan pada diksi katanya, tapi tentang konsep pemahamannya. Sehingga yang terjadi adalah perang gagasan dalam memaknai khilafah. Karena semua orang pasti berusaha menerapkan konsep kekhilafahannya (pemimpin di bumi) masing-masing. NU, Muhammadiyah, Persis, HTI, PKS mungkin mempunyai konsep khilafah masing-masing. Seperti halnya sikap tawasuth (moderat), tawazun (simbang), i'tidal (adil) dan tasamuh (toleran) adalah juga bagian dari menjalankan metode khilafah itu sendiri.
Pemahaman yang tidak lengkap disertai sikap fanatik (taklid buta), membuat beberapa istilah menjadi kabur maknanya. Dampaknya adalah sering menyalahkan yang lain, padahal tidak cakap ilmu menguraikan sebuah perbedaan.
Baca Juga : Degradasi Iman Melalui Simbol Agama
Toleransi
Gerakan atas nama toleransi sudah begitu menyebar di berbagai media daring. Menegakkan prinsip kebhinekaan dan pluralitas sebagai dasarnya. Sebaliknya, bagi yang tidak memegang prinsip toleransi, maka disebutnya intoleran.
Toleransi atau Toleran secara bahasa kata ini berasal dari bahasa latin “tolerare” yang berarti sabar dan menahan diri. Toleransi adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau antarindividu (perseorangan). Sikap toleransi dapat menghindari terjadinya diskriminasi, walaupun banyak terdapat kelompok atau golongan yang berbeda dalam suatu kelompok masyarakat.
Mirisnya, toleransi dianggap sebagai sebuah aliran kelompok tertentu. Sehingga dengan gampang menuduh yang berbeda dengan istilah intoleran. Sehingga yang terjadi adalah sikap intoleran dari kelompok yang mengaku toleran. Dalam memahami konsep toleransi, seharusnya sudah siap menerima perbedaan. Kebanyakan malah memperumit konflik dengan dalih atas nama toleransi.
Toleransi tidak mengenal sekat negara, agama, ras, suku, golongan, bahkan pandangan individu manusia. Jika masih ada sikap kurang menghargai atau bahkan melawan mereka yang berbeda pandangan, berarti masih belum pantas disebut toleran. Jangan sampai memusuhi intoleran, sedang kita sendiri adalah penganut paham intoleran itu sendiri.
Kecenderungan setiap manusia mempunyai sifat egoisme (merasa paling benar), sehingga menghiraukan opini atas kebenaran yang lain. Semua punya hak meyakini kebenarannya, asalkan tidak memaksakan semua yang dianggapnya benar kepada orang lain.
Sebagai manusia yang diberi otak untuk berpikir dan dianjurkan untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya, hendaknya lebih melonggarkan waktu untuk giat belajar dan berpikir. Minimal tidak salah kaprah dalam memaknai sesuatu. Aktualisasinya adalah tidak gampang menyalahkan mereka yang berbeda pandangan dengan kita. Semua orang punya prinsip, punya keterbatasan informasi, dan punya waktu untuk menyesali kesalahan yang sebelumnya diyakini kebenarannya.
Pernah dimuat di Geotimes
https://geotimes.co.id/opini/salah-kaprah-memperjuangkan-identitas-agama/
0 comments: