Kasus ujaran kebencian terhadap agama lain masih sering terjadi di Indonesia. Di media sosial, menghina agama lain sudah menjadi kebiasaan ketika ada konten atau berita yang mengandung unsur keyakinan. Tidak terlibat interaksi secara langsung (digital), memungkinkan seseorang untuk eksis menghina dan melecehkan agama lain tanpa rasa takut ancaman UU ITE. Biasanya hukum menjerat personal, bukan komunal yang serentak turut mendukung kasus penghinaan agama.
Fundamentalnya aspek keagamaan di Indonesia mampu mengubah struktur politik dan sosial. Kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok misalnya. Dianggap menista agama menjelang pilihan gubernur yang banyak berpengaruh terhadap kegagalannya memimpin DKI Jakarta. Masifnya gelombang aksi bela agama meruntuhkan “hak imunitas” pejabat di mata hukum. Dampaknya saling balas dendam untuk mencari konten penghinaan agama yang dirasa bisa dijerat secara hukum.
Ahmad Dhani yang dianggap golongan kelompok 212 menjadi “korban” pertama kasus penghinaan agama. Selanjutnya kasus penghinaan terhadap umat kristiani oleh Ustaz Abdul Somad yang sempat heboh, meski akhirnya lolos dari jeruji besi. Ketidakjelasan indikator penghinaan agama menjadikan celah para oknum tertentu untuk memperkeruh suasana atas nama penghinaan agama yang dianggap sebagai bahasan sensitif di negara plural seperti Indonesia.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia dibuat dilema dalam bersikap. Mengedepankan aspek moderasi, terkesan membela salah satu pihak akan berdampak buruk pada citra organisasi. Membela penghina Islam dikira sesat, membela penghina nonislam dikira tidak melindungi kaum minoritas. Sedangkan beberapa kasus malah menjadi bumerang karena dianggap menghina agama sendiri ketika kasus pembakaran bendera tauhid (HTI) tahun 2018 silam.
Sensitivitas pembahasan agama di ruang publik patut menjadi perhatian serius pemerintah. Forum internal agama memungkinkan untuk menghina agama lain dengan dalih meningkatkan keimanan seseorang. Sedangkan era digital memungkinkan bahasan internal bisa dikonsumsi bebas di ruang publik. Dampaknya pendakwah bisa mudah terjerat kasus penghinaan agama yang konteksnya adalah menjabarkan isi kitab suci dalam forum internal.
Hukum bersifat mengikat tanpa alasan dan latar belakang masalah kasus. Adanya fakta dan bukti sudah menjadi variabel utama menghukum seseorang. Perlu batasan standar hal-hal yang boleh dan tidak boleh dalam menyampaikan ajaran-ajaran keagamaan, agar pendakwah tidak terpeleset pada kasus hukum karena dianggap menghina agama.
Baca Juga : Islam Agama Arogan
Nasib Kaum Minoritas
Kasus pembongkaran gereja di Aceh Singkil, penolakan pemakaman jenazah nonmuslim di Mojokerto, hingga sikap anarkisme sekolompok berlabel Islam terhadap kaum minoritas menjadi kegelisahan tentang konsep keadilan bernegara. Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim (terbesar di dunia), menjadi alasan begitu beraninya “menganiaya” mereka yang bukan beragama Islam.
Berdasarkan data dari direktori putusan Mahkamah Agung (MA), ada 60 salinan putusan kasus penistaan agama sepanjang tahun 2011 hingga Mei 2021. Kasus penistaan agama terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2020 sudah ada 20 kasus yang diproses hukum. Data berikutnya diperoleh bahwa agama Islam merupakan agama yang paling sering dihina. Ada 51 kasus penistaan agama Islam dalam 10 tahun terakhir dan selanjutnya 6 kasus penistaan terhadap agama Katolik.
Menariknya, mayoritas pelaku merupakan seorang muslim (56,7 persen). Kemudian pelaku beragama Protestan (23,3 persen). Agama Buddha, Hindu, bahkan ateis masing-masing hanya 1,7 persen. Jadi banyak umat muslim yang justru menghina agamanya sendiri seperti, penghinaan terhadap nabi, Allah, hingga berjoget saat salat.
Namun perlu dianalisis labih mendalam tentang faktor pelaporan kasus penghinaan terhadap agama. Seorang muslim mungkin lebih mudah mendapat dukungan untuk melaporkan kasus penghinaan agama dibanding nonmuslim yang menyadari tinggal di negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Apalagi citra Islam anarkisme di media sosial yang membuat nonmuslim enggan memperpanjang masalah hukum terhadap penghina agamanya.
Banyak ustaz yang berpotensi melakukan penghinaan agama namun lolos dari hukum. Bukan karena lemahnya aturan, melainkan dampak terhadap gejolak sosial di masyarakat jika ustaz atau ulama dipenjara. Konflik bukan saja terjadi antara muslim dan nonmuslim, melainkan juga dengan pemerintah sebagai pengambil keputusan. Unsur kebijakan cukup dipengaruhi oleh basis agama di sebuah negara agar tidak dicap pemerintahan antiislam. Keadilan tidak pernah dirasakan oleh mereka yang berada di posisi minoritas.
Euforia masyarakat terhadap penganiayaan Napoleon Bonaparte terhadap Muhammad Kece menjadi simbol bahwa penghinaan terhadap agama Islam akan berdampak pada hukum dan penganiayaan. Berbeda perlakuan dengan Yahya Waloni yang menjadi tersangka kasus ujaran kebencian dan penodaan terhadap simbol agama kaum nasrani. Tidak ada penganiayaan. Hanya permintaan maaf yang kemudian dibalas dengan penerimaan maaf (memaafkan) oleh Persekutian Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Agama adalah konsep keyakinan dan kepercayaan untuk membentuk perilaku manusia menjadi semakin baik, bukan alat untuk merebut kekuasaan dan melegalkan kekerasan.
Pernah dimuat Geotimes
https://geotimes.id/opini/beda-nasib-penghina-agama/
0 comments: