Indonesia, bahkan dunia sedang dalam kungkungan kemiskinan absolut. Pandemi mengubah struktur sosial ekonomi suatu negara dan dunia pada umumnya. Masyarakat banyak yang tidak mampu untuk memenuhi standar minimum kebutuhan dasar. Hal ini tidak lepas dari banyaknya karyawan yang di PHK, berhentinya UMKM karena pembatasan mobilisasi warga, dan faktor lainnya.
Pemerintah yang menjadi penanggungjawab mencukupi kebutuhan dasar warga negara juga sering terkendala masalah anggaran dan ketidakvalidan data masyarakat miskin. Dana bantuan sosial yang kerap salah sasaran sudah dijadikan maklum oleh masyarakat. Belum lagi perilaku korupsi pejabat terhadap bantuan sosial yang mungkin saja masih banyak terjadi di Indonesia.
Pandemi tidak hanya berdampak pada indikator ekonomi nasional, dari kondisi kalangan masyarakat menengah ke bawah juga begitu memprihatinkan. Banyak yang banting setir menjadi pedagang, penjual online (daring), hingga menjadi pengemis. Bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan mudah beradaptasi terhadap dunia digital mungkin masih bisa bernafas lega ketika melihat peluang pasar daring di Indonesia cukup besar. Namun tidak berpengaruh signifikan terhadap masyarakat yang berpendidikan rendah dan kurang paham akan kemajuan teknologi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada bulan Maret 2021, angka kemiskinan Indonesia mencapai 10,14% dengan jumlah total penduduk miskin 27,54 juta orang. Angka kemiskinan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan seiring tidak pastinya penyelesaian masalah pandemi. Menariknya, peningkatan tingkat kemiskinan masyarakat Indonesia berbanding terbalik dengan mayoritas pejabat pemerintah yang berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setidaknya 70,3 persen penyelenggara negara mengalami kenaikan harta kekayaan selama pandemi.
Apapun alasannya, pemerintah harus konsisten bertanggungjawab menyelamatkan masyarakat dari jerat kemiskinan. Mengurangi kesenjangan sosial antara penduduk kaya dan miskin. Minimal pemerintah mulai fokus pada amanah undang-undang dasar pasal 34 ayat 1 tentang fakir miskin dan anakanak terlantar yang harus dipelihara oleh negara.
Untuk mengurangi kesenjangan sosial akibat meningkatnya jumlah penduduk miskin, pemerintah perlu mengendalikan harga, memberikan perlindungan sosial bagi orang yang rentan miskin, dan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui berbagai stimulus.
Baca Juga : Mencari Sosiawan yang Tidak Sosiopat
Marak Manusia Silver
Akhir ini, mulai banyak manusia silver mengemis di sepanjang jalan raya. Manusia-manusia silver identik dengan orang-orang dengan tubuh berwarna cat silver yang bergerak seperti robot dengan membawa kardus untuk menampung uang donasi atau sumbangan dari para pengguna jalan. Pada masa pandemi, kehadiran manusia silver patut dimaklumi ketika masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Tidak mempunyai modal dan keahlian yang memaksanya untuk menjadi manusia silver (mengemis) di jalan raya.
Di sisi lain, Undang-Undang Lalu Lintas dan UU Nomor 9 Tahun 1061 tentang Pengumpulan Uang atau Barang melarang aksi manusia silver atau pengemis di jalan raya dengan dalih mengganggu ketertiban umum. Dalam Pasal 504 KUHP, (1) barang siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu, (2) pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur di atas enam belas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.
Menjadi paradoks ketika pemerintah yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap fakir miskin malah memberikan denda kepada pengemis dan manusia silver di jalan raya. Apalagi kemiskinan yang mereka alami kebanyakan karena faktor pandemi dan kebijakan pemerintah tentang bantuan sosial yang tidak tepat sasaran. Potret ramainya manusia silver seharusnya dijadikan evaluasi tentang kegagalan pemerintah dalam membuat kebijakan pengembangaan sistem jaminan sosial. Pemerintah tidak boleh lepas tangan terhadap risiko kebijakan yang sudah diambil dan berdampak terhadap peningkatan kemiskinan nasional.
Beredarnya foto bayi manusia silver di Tangerang Selatan menghebohkan dunia maya. Menariknya aksi tersebut merupakan strategi manusia silver untuk menarik rasa iba pengguna jalan. Bayi yang dibawa bukan anak kandungnya, melainkan hasil “menyewa” dari orang lain (ibu kandung). Selanjutnya ada kisah pensiunan polisi di Semarang yang nekat menjadi manusia silver karena tuntutan utang dan biaya hidup.
Mungkin masih banyak lagi kisah di balik manusia silver. Masyarakat Indonesia yang gampang tersentuh (iba) melihat pengemis jalanan dimanfaatkan untuk mendapatkan uang sesegera mungkin tanpa memperhatikan tingkat pendidikan dan status sosial di masyarakat. Maraknya kemunculan manusia silver di jalan raya karena memang mengemis adalah “pekerjaan” paling gampang untuk mendapatkan uang.
Manusia silver adalah simbol perlawanan terhadap manusia emas (pejabat). Ketika kemiskinan menjerat rakyat, pejabat malah konsisten menambah kekayaan. Belum ada aksi nyata pejabat menunjukan empati terhadap fenomena manusia silver di banyak daerah. Malah beberapa media mendiskreditkan kehidupan manusia silver dengan narasi penipuan, pengganggu ketertiban, dan pemalas. Tidak ada yang berharap menjadi manusia silver kecuali kondisi sosial ekonomi yang memaksanya melakukan kegiatan tersebut.
Pernah dimuat Giwangkara
https://www.giwangkara.com/opini/pr-851620205/manusia-silver-dan-manusia-emas?page=all
0 comments: