Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih konsisten diperpanjang oleh pemerintah. Meskipun beberapa daerah menunjukan perkembangan positif (menekan laju penyebaran Covid-19), namun di sisi lain, banyak warga yang mulai berputus asa terhadap penanganan pandemi. Di antaranya mulai nekat membuka warung-warung melewati batas aturan jumlah pengunjung dan jam buka-tutup yang ditetapkan pemerintah.
Program cicialan tiap seminggu sekali untuk penyampaian perpanjangan PPKM sudah menghancurkan ekspektasi masyarakat yang sudah bersatu berjuang melawan Covid-19. Merelakan hilangnya pendapatan harian, mengorbankan nilai edukasi dan rekreasi dunia luar, dan hancurnya peluang kesuksesan karena sifat aturan yang mengikat.
Ketika variabel kesehatan dijadikan tajuk utama kepentingan konstitusi, maka negara harus siap konsekuensi ekonomi, pendidikan, budaya, dan lain sebagainya. Dalam segi ekonomi misalnya, negara harus siap menghadapi tantangan jatuhnya investasi dan perubahan ekonomi skala nasional. PPKM berkepanjangan akan menyebabkan trust konsumen untuk mengeluarkan uang atau spending sangat rendah. Daya beli yang lesu akan berimbas pada jumlah kelas menengah rentan yang akan turun menjadi orang miskin baru.
Meskipun PPKM merupakan upaya pemerintah untuk mencapai titik ekuilibrium antara kesehatan dan ekonomi, nyatanya faktor ekonomi semakin sulit diselamatkan dari jurang resesi. Sedangkan dari sisi kesehatan, penurunan kasus aktif Covid-19 ternyata tidak dibarengi dengan laju percepatan vaksinasi yang masih mengalami masalah di lapangan seperti distribusi, sumber daya, dan lain sebagainya.
Selain bertambah lebarnya jurang kesenjangan sosial, pandemi sedikit-banyak turut mengubah budaya masyarakat. Menaati protokol kesehatan bisa mengurangi risiko tertular Covid-19, namun menaati kebijakan pemerintah (di ruma saja) akan sulit menghidari risiko ketergantungan terhadap gadget dan budaya hedonisme.
Baca Juga : E-Commerce, Menghidupkan atau Mematikan UMKM?
Hedonisme
Peluang e-commerce atau pasar daring menjadi kebutuhan pokok di masa pandemi begitu terasa ketika pemerintah berulangkali menghimbau masyarakat untuk di rumah saja. Kebosanan aktivitas di dalam rumah yang memaksa masyarakat menjadi hedonisme. Selain mengisi waktu luang dengan menonton video, nge-game, dan bermedia sosial, masyarakat juga aktif menelurusuri kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup di marketplace.
Dengan menyediakan berbagai jenis barang, e-commerce juga memberikan pelayanan mudah bagi pengguna. Mempertemukan penjual dan pembeli dalam pasar daring meningkatkan risiko konsumtif masyarakat. Apalagi beberapa kali menawarkan diskon, cashback, dan bonus pembelian yang menggiurkan di mata konsumen.
Pola hidup yang konsumtif sangat terlihat dari perilaku pembelian masyarakat. Konsumen membeli barang-barang ataupun jasa yang kurang atau tidak diperlukan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Artinya, seseorang menjadi lebih mementingkan faktor keinginan daripada kebutuhan dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata.
Robbers dan Jones (Naomi dan Mayasari, 2008) berpendapat bahwa perilaku konsumtif yang ditunjukkan dengan perilaku berbelanja yang berlebihan telah membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pertama, dari segi input dalam memproduksi suatu produk dengan penggunaan sumber daya yang boros, karena melebihi takaran yang seharusnya diperlukan. Dampak kedua adalah tingginya aktivitas terakhir perilaku konsumsi yaitu disposisi sebuah produk. Artinya pembuangan produk yang dilakukan oleh konsumen telah berlebihan sehingga lingkungan harus menerima buangan pemakaian produk yang cukup tinggi.
Implikasi perilaku hedonis pada pembentukan kehidupan masyarakat yang etis yakni seorang yang berperilaku konsumtif merasa tidak cukup dengan apa yang sudah dimilikinya. Hal ini mendorong masyarakat berusaha memenuhi standar kebutuhan yang lebih tinggi dari kebutuhan fungsional. Hal ini membuat individu sibuk mementingkan kepentingan pribadi dan tidak memikirkan kepentingan orang lain. Dampak lainnya, individu akan memenuhi kebutuhannya dengan segala cara, termasuk dengan melakukan tindakan kriminal seperti pencurian, korupsi, dan lain-lain.
Gaya hidup merupakan pendorong dasar yang mempengaruhi kebutuhan dan sikap individu, juga mempengaruhi aktivitas pembelian dan penggunaan produk. Karakteristik perilaku konsumtif dari kelas sosial menengah yaitu cenderung membeli barang untuk menunjukkan kekayaannya, membeli barang dengan jumlah yang banyak dan kualitasnya yang baik.
Pandemi secara tidak langsung mempengaruhi perilaku masyarakat menjadi lebih hedonis atau konsumtif. Budaya hedonisme akan sangat berbahaya bagi masyarakat yang pendapatannya berkurang akibat kebijakan PPKM. Akhirnya untuk menyalurkan hasrat hedonisme terhadap barang-barang di e-commerce dengan cara berhutang atau kredit.
Bahkan, mungkin Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam berbagai bentuk yang diberikan pemerintah lebih banyak digunakan untuk membelanjakan barang-barang bukan kebutuhan pokok. Tergiur dengan model promosi atau iklan yang ditawarkan e-commerce untuk konsisten membentuk budaya hedonisme masyarakat di masa pandemi.
0 comments: