Muktamar ke-34 Nahdatul Ulama (NU) sedianya akan dilangsungkan di Provinsi Lampung pada tanggal 23-25 Desember 2021. Sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, wajar jika agenda muktamar menjadi isu nasional yang punya tendensi politik. Bahkan setiap edisinya, muktamar NU selalu menyuguhkan pertarungan ideologi dan visi-misi politik yang menarik antarcalon ketua umum PBNU.
Menjelang muktamar, NU diguncang dengan tuduhan adanya intervensi dana asing, dukungan Yahudi, sabotase dari Kementerian Agama dengan memesan banyak kamar hotel, serta adanya campur tangan pemerintah. Hal tersebut ditengarai kemunculan KH. Yahya Cholil Staquf (kakak Yaqut Cholil Qoumas) sebagai calon kuat ketua umum PBNU. Pemerintah melalui kementerian agama dianggap tidak lagi menerapkan sikap netralitas pada pelaksanaan Muktamar NU di Lampung.
Bagaimanapun juga NU merupakan biduan menarik di dunia politik domestik. Tak mengherankan jika banyak tokoh politik yang konsisten menyambangi NU dan melakukan lobi-lobi politik. Meskipun pada kenyataannya NU menjaga jarak dengan politik praktis, namun sikap ketua umum PBNU akan memberikan dampak besar pada kantong pemilihan kepala daerah atau kepala negara.
Sebab begitu banyaknya badan otonom (banom) dan organisasi sayap NU membuat pemilihan ketua PBNU menjadi panas dan penuh intrik. Sosok ketua umum PBNU yang akan membawa bahtera nahdliyin di Indonesia menentukan arah politik. Jika tepat akan mengangkat citra NU, jika sebaliknya akan menjatuhkan nama NU.
Namun kedekatan PBNU dengan pemerintah selama periode kepemimpinan Jokowi membuat netralitas NU banyak dipertanyakan. Apalagi ada “jatah politik” bagi kader NU yang turut andil memenangkan Jokowi. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Abdul Halim Iskandar, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto. Meskipun ketiganya merupakan representasi dari PKB, namun ada keterikatan antara NU dengan PKB sebagai partai politiknya orang NU. Belum lagi Mahfud MD (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan) yang dianggap NU kultural dan terakhir Yaqut Cholil Qoumas (Menteri Agama) yang merupakan ketua umum GP Ansor.
NU dianggap sudah keluar dari khittah yang menyebutkan bahwa NU sebagai Jam'iyyah secara organisatoris tidak akan terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan manapun. Menjelang muktamar, NU harus kembali ke khittah sering disuarakan tokoh-tokoh NU sturktural maupun kultural. Melepaskan diri dari hiruk pikuk perpolitikan nasional. NU sudah besar tanpa harus mengemis pada bantuan pemerintah pusat. Keterlibatan politik praktis membuat citra NU sebagai rumah bagi semua golongan menjadi terdestruksi.
Baca Juga : Risiko Menjadi Tokoh NU
Belum Waktunya
Tantangan peradaban modern menghendaki NU harus turun tangan menyelesaikan problem radikalisme dan terorisme di Indonesia. Ada tanggung jawab besar sebagai organisasi terbesar dengan tujuan menjaga NKRI dari berbagai bentuk ancaman ideologi. Jika tidak terlibat, kekuasaan akan dimanfaatkan organisasi tandingan untuk merusak tatanan sosial keagamaan di Indonesia.
Berkaca sebelum era Jokowi, menjamurnya gerakan radikalisme dan paham konservatif menguasai berbagai platform digital. Kemudian masuk ke instansi pendidikan untuk terlibat dalam perang ideologi di media sosial. Dampaknya, banyak masyarakat yang terdoktrin dan berafiliasi dengan budaya asing. Menentang budaya sendiri dan mengumpulkan kekuatan mendirikan dasar negara yang baru.
Ancaman radikalisme mulai surut ketika Jokowi menerapkan kebijakan ganda, mengisi pos menteri dan kepala lembaga dengan tokoh-tokoh moderat dan membuat sistem antiradikalisme dalam upaya membendung motif politik masyarakat yang ingin mengubah haluan negara. Radikalisme dan terorisme bisa ditekan meski masih lumayan aktif di media sosial.
Bukan hanya tantangan radikalisme, NU juga punya amanah menyelamatkan dunia dari krisis ekologi, melindung Hak Asasi Manusia, hingga turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa. Saat ini NU butuh berpolitik dan dekat dengan penguasa. Setidaknya hingga gelombang intoleran mulai menghilang di tengah pusaran alogaritma teknologi politik identitas.
Pemerintah masih butuh NU menjaga kebhinnekaan, sedangkan NU juga butuh pemerintah membendung oknum pemecah belah bangsa. Fokus pada dunia pendidikan pesantren yang selama ini dianggap tertinggal. Jokowi cukup dekat dengan NU, bukan hanya Jokowi, semua presiden pasti akan mendekat ke NU. Hanya saja kedekatan tersebut bertujuan sebagai motif politik (pencitraan) atau benar-benar berdasarkan kepentingan yang sama.
Jika NU memutuskan kembali ke khittah, maka Indonesia harus bersiap kembali menghadapi ancaman peperangan saudara sebab kran antiradikalisme (NU) di pemerintahan menjauhkan diri dari politik. Politik identik dengan kekuasaan. Jika tidak berpolitik jangan harap bisa berkuasa. Bahkan dengan basis massa terbanyak, suatu saat NU bisa dikuasai jika memilih untuk apatis pada politik domestik.
Pernah dimuat Dunia Santri
0 comments: