Kunci hidup adalah identifikasi diri “siapa aku?!”. Dengan memahami dirinya sendiri, ia bisa mengaktualisasikan diri untuk tetap tenang dan bahagia. Sibukan diri untuk menilai diri sendiri daripada sibuk menilai orang lain. Harus introspeksi agar ketika berlaku salah tidak terbiasa merasa benar. Tidak mau disalahkan.
Ada kondisi jiwa manusia yang perlu dinilai setiap orang saat bermuhasabah. (1) ammarah, ketika melakukan kesalahan tapi merasa nyaman dan bahagia. Mereka mengetahui tentang perbuatan dosa, tapi merasa senang melakukan dan melihat kemaksiatan atau perbuatan dosa. (2) Lawwamah, mengetahui perbuatan dosa tapi sering terjerumus di dalamnya. Susah menghindari kesalahan. Namun ada penyesalan di akhir perbuatan. Selalu ada pertentangan baik dan buruk, tapi keburukan selalu menang.
(3) Mulhamah, seperti lawwamah yang sering terlibat pertentangan baik dan buruk. Namun kemenangan diraih oleh kebaikan. Meskipun kadang ada kerinduan terhadap nafsu kemaksiatan (dosa). (4) Mutmainnah, merupakan kondisi kejiwaan yang stabil dan tenang dalam kebaikan. Tidak ada lagi pertentangan selain kenyamanan perilaku kebaikan.
Manusia dibekali Tuhan status kehambaan dan kemanusiaan. Dalam menjalankan kehidupannya, manusia bergelut dengan ilmu pengetahuan untuk mendapatkan kemanfaatan dan berperilaku bijaksana. Harus bisa membedakan ilmu yang harus dijalani atau dihindari. Sebab sifat ilmu adalah untuk memilah, sedangkan iman untuk menyatukan. Menyadari diri tentang seberapa jauh ilmu yang sudah didapatkan. Apakah sudah layak untuk menilai sesuatu berdasarkan keterbatasan ilmu pengetahuan kita?!
Setelah upaya mendapatkan ilmu pengetahuan, manusia harus membekali kesadaran. Kesadaran dapat dicapai jika manusia sudah cukup punya pengetahuan. Memiliki kesadaran pemenuhan kebutuhan fisik, kemanusiaan, dan ketuhanan. Bentuk kesadaran manusia adalah kewajiban, kebutuhan, dan cinta. Ibadah yang disandarkan pada kewajiban akan ada beban dalam menjalaninya. Sedangkan jika ada pamrih berarti masih di level kebutuhan. Cinta adalah puncak bentuk kesadaran yang tulus dan ikhlas. Manifestasi dari kesadaran tersebut adalah niat dan perbuatan.
Aktualisasi dari pengetahuan dan kesadaran adalah kebaikan. Amal saleh hanya akan berarti jika unsur lahiriah dan batiniah mempunyai relasi. Kualitas batiniah akan terlihat dalam perilaku lahiriah. Keduanya seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan untuk menentukan kebaikan seseorang. Konsepsi amal kebaikan tercipta jika ucapan, perilaku, dan hatinya selaras.
Kebaikan ditentukan beberapa variabel seperti niat, kaifiyat (cara), akhlak (etika), adab (etiket), doa, istikamah, dan tawakal. Orientasinya terdiri dari variabel normatif, teologis, komunikatif, dramaturgik, dan ketulusan. Dalam bermuhasabah, kita harus mampu memprioritaskan hal-hal yang bersifat primer, sekunder, dan tersier.
Setelah berusaha mencapai kebaikan, kita harus konsisten melakukan perbaikan. Tidak boleh berpuas diri dengan kebaikan yang sudah dilakukan. Membiasakan melakukan kebaikan sampai ada perasaan cinta dan nyaman ketika melakukan kebaikan. Meminimalisir perbuatan dosa dan kemaksiatan dengan menghilangkan keterikatan duniawi. Tidak terikat jabatan, popularitas, harta, dan lainnya. Dalam melakukan kebaikan harus disertai dengan menghilangkan sifat kesombongan. Setelah mengalahkan ego, kesemuanya sirna kecuali cinta kepada Tuhan (ilahiah). Terus menumbuhkan kebaikan untuk dirinya sendiri dan orang lain.
Ada beberapa hal yang menjauhkan diri dari level spiritualitas yakni; menunda-nunda, terlalu percaya diri (sembrono), tidak percaya diri (putus asa), keraguan, kemalasan, kebosanan, keterikatan, pamrih keduniaan, kurang bersyukur, dan prasangka buruk. Sikap tersebut yang membuat manusia melupakan aspek kebaikan dalam hidup. Mengenyampingkan sisi kemanusiaan dan ketuhanan.
Pandemi yang tiada berkesudahan bisa dijadikan momentum manusia untuk fokus bermuhasabah di akhir tahun. Menatap tahun baru dengan menyebarkan kebaikan-kebaikan baru. Meninggalkan keburukan-keburukan masa lalu. Semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, dan semua kejadian adalah pelajaran. Ada banyak hal yang bisa dijadikan materi bermuhasabah selama pandemi. Memahami hakekat kehidupan dengan mengutamakan sikap kebermanfaatan.
Muhasabah akhir tahun sebagai medium bersyukur dan mengurangi sikap mengeluh sebab pandemi. Nasib kehidupan yang dianggap kurang memihak. Kekecewaan dan kebencian terhadap nasib yang menimpa diri adalah faktor yang menjadikan manusia jauh dari Tuhan. Budaya keburukan yang selama ini tidak disadari masing-masing orang harus segera diinstropeksi agar tidak dianggap sebagai kebenaran atau kebaikan.
Menerima segala nasib yang diterima untuk senantiasa dicari ilmu dan hikmahnya agar selalu rida dengan keputusan Tuhan. Selalu berikhtiar untuk bertahan dan berjuang menyebarkan optimisme dan kebaikan kepada sesama. Bukan malah mempengaruhi sesama dengan sikap kekhawatiran (psimisme) yang membuat manusia kehilangan kebahagiaan dalam hidup. Tahun baru adalah harapan baru untuk hidup yang lebih baik.
Pernah dimuat di Geotimes
https://geotimes.id/opini/muhasabah-akhir-tahun/
0 comments: