CATEGORIES

Pembahasan seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali mencuat setelah viral video potongan artis dan pendakwah, Oki Setiana Dewi di...

Normalisasi KDRT?

normalisasi KDRT


Pembahasan seputar Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kembali mencuat setelah viral video potongan artis dan pendakwah, Oki Setiana Dewi di media sosial. Dalam videonya, ia mengisahkan perilaku kekerasan suami terhadap istri di Jedah yang lebih memilih diam (menyembunyikan aib suami) kepada mertua. Narasi yang disampaikan tentu dalam sudut pandang agama dan keharmonisan rumah tangga agar tetap langgeng tanpa dalih KDRT.

Kisah yang disampaikan kakak YouTuber Ria Ricis ini tentu bersebrangan dengan aturan hukum dalam negeri. UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang disahkan tanggal 22 September 2004 digunakan untuk payung hukum penyelesaian kasus-kasus KDRT. Sedangkan video tersebut seolah menormalisasikan KDRT dengan balutan nuansa agama dan cinta.

UU PKDRT mengakomodir bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi atau penelantaran keluarga. Dalam kasus hukum domestik, tentu kisah yang disampaikan Oki sudah masuk dalam ranah pidana yang memungkinkan pelaku didenda atau bahkan dipenjara.

Problem KDRT di Indonesia masih cukup banyak. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, sepanjang 2004-2021 ada 544.452 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Belum lagi kasus KDRT yang sengaja disembunyikan (tidak dilaporkan) sebab intimidasi, trauma, dan kurangnya informasi perlindungan korban.

KDRT memang secara spesifik ditujukan untuk perempuan (istri) yang diposisikan lemah di keluarga. Sedangkan UU PKDRT mencoba memenuhi hak perempuan agar setara di mata hukum. Masalahnya adalah paradigma patriarki dan faktor agama menempatkan perempuan pada kelas bawah. Sehingga ketika video itu viral, banyak kalangan feminisme dan pejuan kesetaraan gender mengecam normalisasi KDRT atas nama agama.

Agama bukan alat untuk melegalkan segala bentuk kekerasan, termasuk KDRT. Kajian tersebut bisa menjadi dalih suami untuk bebas melakukan kekerasan dan perempuan dipaksa menerima perilaku kekerasan sebagai konsekuensi berumah tangga secara syariah. Dampak luasnya, seolah agama (Islam) membolehkan perilaku kekerasan terhadap istri.

 

Baca Juga : Pendidikan Kekerasan Pada Anak

Dilema KDRT

Dilihat secara kontekstual, cerita Oki menimbulkan dua sudut pandang yang menarik. Bukan hanya seputar agama, namun lebih kepada realita kehidupan rumah tangga di masyarakat. Ketika konflik dianggap keniscayaan ketika memutuskan menikah, aktualisasi dengan KDRT masih kerap terjadi karena tidak sulitnya mencari titik temu permasalahan.

Selain itu, KDRT merupakan masalah ranah domestik yang dianggap aib untuk dipublikasikan dalam usaha memperoleh perlindungan hukum. Apalagi keterikan pelaku (suami) yang ketika menanggung risiko hukum secara otomatis akan melibatkan dirinya (pihak istri). Menikah adalah menyatukan, jika salah satu di antaranya tersandung masalah akan ikut menanggung akibatnya (denda dan kurungan).

Sehingga PKDRT masih dianggap sebagai aturan yang menghendaki perceraian sebab keingannya “menghukum” pelaku (suami) sendiri. Pemerintah juga tidak berhak mengintervensi setiap permasalah rumah tangga. Namun dampak dari permasalah tersebut yang berpotensi pada pelanggaran hukum negara. Sehingga pelaporan kasus KDRT tidak semudah menyelesaikan masalah secara hukum. Ada banyak faktor yang akan dipertimbangkan korban seperti pengasuhan anak, nasib di masa depan, pengorbanan cinta, dan pandangan negatif di masyarakat.

KDRT bisa dihindari atau dicegah jika masyarakat bisa berpikir terbuka tentang hak dan kewajiban serta kualitas komunikasi pasangan. Demikian yang menginisasi pemerintah mendorong program sertifikasi pranikah. Meskipun sifatnya tidak wajib, namun langkah yang diambil patut diapresiasi sebagai bekal menjalani kehidupan berumah tangga yang bebas dari KDRT. Meskipun pada hakikatnya tetap akan dikembalikan kepada masing-masing individu pasangan.

Dalam materinya, Kementerian Agama dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memaparkan beberapa poin sebelum menikah seperti  usia ideal perkawinan; kesiapan finansial; kesiapan fisik, mental, dan emosi; kesiapan sosial; kesiapan moral; kesiapan interpersonal; kesiapan life skill, dan kesiapan intelektual.

Namun gagasan pemerintah tersebut banyak ditentang sebab pernikahan adalah ranah domestik tiap masyarakat. Apalagi dibenturkan dengan nilai-nilai agama yang menghendaki pernikahan dini, poligami, dan sikap pasrah menggantungkan rezeki kepada Tuhan. Padahal alternatif pencegahan KDRT yang berimplikasi kepada perceraian adalah dengan pembekalan materi pernikahan sejak dini.

Sekali lagi, agama tidak mengajarkan kekerasan atas nama apapun. Sedangkan pertimbangan cinta tidak akan sampai hati untuk melakukan kekerasan. Keputusan menikah adalah mencita-citakan kebahagiaan yang kemudian dihancurkan oleh perilaku KDRT. Suami sebagai imam keluarga seharusnya memberikan contoh perilaku yang bijaksana dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Semua pihak harus intorspeksi diri. Bukan malah menormalisasikan KDRT atas nama cinta dan agama.

 

Pernah dimuat Dunia Santri

https://www.duniasantri.co/normalisasi-kdrt/ 

0 comments: