CATEGORIES

Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, m...

Nahdliyin yang Maiyah

Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, melainkan karena isu politik sejak kehadiran Prabowo di Ponpes Segoro Agung Mojokerto hingga potongan video Jokowi Fir'aun.

Padahal beberapa bulan lalu saya sempat mbrebes mili saat mendengar Mbah Nun bilang bahwa suatu saat ia pasti akan mati dan meminta anak-anak maiyah melanjutkan perjuangannya. Entah kenapa saat itu belum siap -dan mungkin tidak akan pernah siap- ditinggal beliau.

Di usianya yang sudah senja, ia banyak mengajarkan filosofi dan konsep hidup yang selaras dengan alam dan sosial. Slogan yang kerap dikampanyekan nahdliyin tentang memanusiakan manusia juga saya dapat dari Mbah Nun. Meski berulang kali beliau bilang untuk jangan mengikutinya sebab ada kemungkinan salah dari apa yang diucapkan, dilakukan, dan diajarkan.

Saya mengikuti Mbah Nun sejak awal kuliah sekira tahun 2010. Membaca kisah hidup beliau dan mulai mengumpulkan buku-buku karyanya. Semakin cinta ketika banyak ajaran kenahdliyian yang ditawarkan meski beliau lebih suka menyebutnya MuhammadiNU.

Kedekatan dengan idola saya berikutnya seperti Cak Nur, Gus Dur, dan Gus Mus semakin membuat saya semakin kagum dengan beliau. Hampir setiap kajiannya saya ikuti meski kebanyakan via YouTube. Seperti halnya Gus Dur, saya sering terkecoh menilai setiap ucapannya yang kadang bertentangan dengan keyakinan saya.

Dulu Gus Dur banyak dihina dan dimaki akibat perkataan dan kebijakannya kala menjabat sebagai presiden. Waton ngomong. Setelah meninggal, banyak yang terkejut kalau omongannya banyak yang terjadi seperti kasus korupsi, perilaku DPR, langkah diplomasi, dan lain sebagainya.

Dalam tradisi pesantren, kiai yang levelnya sudah makrifat itu punya ilmu weruh sakdurunge winarah. Namun tentu Mbah Nun akan tegas menolak puja-puji yang saya lontarkan. Beliau ingin dianggap manusia biasa yang kadang salah, kadang benar. Meskipun jamaah maiyah mungkin banyak yang setuju dengan pendapat saya.

Kurangcakapnya pengetahuan saya mengenai dunia politik dan kegaiban menyandarkan pemahaman saya kepada orang yang saya anggap lebih paham dan mengetahui. Tentu bukan kapasitas saya mengetahui maksud dibalik pernyataan Mbah Nun yang berdampak pada kemarahan mayoritas nahdliyin tulen di luaran sana.


Baca Juga : Skeptisisme Pondok Pesantren


Tokoh-tokoh NU berbondong memberikan pernyataan yang menyudutkan Mbah Nun yang kemudian dibarengi dengan ribuan caci maki di kolom komentar. Sebagian besar merasa menyesal pernah mengidolai Mbah Nun hanya karena potongan video (dalam beberapa kata).

Patut dimaklumi, selain memanasnya situasi politik, pihak pemerintah sekarang seolah menjadi representasi NU. Wakil presiden dan jajaran kabinet banyak dihuni tokoh NU yang membuat ribuan, bahkan jutaan warga NU ngamuk ke Mbah Nun. Seolah melupakan pengaruh dan perjuangan Mbah Nun mengayomi nahdliyin di kampung-kampung yang kerap mengundang beliau.

Itulah kenapa sejak dulu saya tidak pernah setuju NU dibawa ke ranah politik. Selain efek buruk fanatisme, NU kerap mengabaikan nilai dakwah yang mungkin saat ini masih diampu kiai-kiai kampung tanpa butuh eksistensi, popularitas, apalagi jabatan di pemerintahan. Mereka yang malah berjasa membesarkan NU dari akar rumput, seperti halnya yang dilakukan Mbah Nun saat melakukan kunjungan ke kampung-kampung.

Sementara tokoh NU milenial yang hanya sibuk menghibahkan diri di media sosial enteng saja mengatai Mbah Nun dengan sumpah serapah. Mengajak pengikutnya untuk andil membenci beliau dengan memviralkan kembali potongan narasi di media sosial.

Analogi goblok saya mungkin akan membantah klaim mereka ketika dulu yang jadi presiden Prabowo kemudian dikatai Mbah Nun sebagai Firaun. Respon tokoh-tokoh NU tentu akan mendukung dan memberikan puja-puji. Sekali lagi, faktor fanatisme dan kedekatan mengubah nalar keilmuan seseorang.

Tahun 2018 saya menggagas komunitas Seniman NU dengan mencuplik kutipan Mbah Nun, “Kebenaran adalah bekal yang kamu ekspresikan menjadi kebaikan untuk mencapai keindahan.” Tujuannya untuk membuka wawasan berpikir dan melonggarkan kebijaksanaan dari spektrum pengetahuan yang sempit. Menyadari banyak hal yang tidak kita ketahui, termasuk saat menjadi nahdliyin.

Saya adalah salah satu dari ratusan atau bahkan ribuan nahdliyin yang juga maiyahan. Dari Mbah Nun saya belajar menulis buku dan opini yang kebetulan dimuat ratusan media massa. Mengampanyekan toleransi beragama yang sebagian besar terinspirasi dari Mbah Nun. Namun usaha saya menyebarkan ajaran nahdliyin kalah telak dengan tokoh NU yang kadung taklid dengan pemerintah tanpa punya peran menyebarkan ajaran-ajaran ke-NU-an.

Membenturkan NU dan Maiyah akan disambut sorak sorai muslim puritan yang anti tahlilan, selawatan dengan gamelan, dan dakwah guyonan. Gegara politik praktis, saya menjadi khawatir usaha NU merangkul semua golongan terpecah belah dengan gegabahnya tokoh-tokoh NU mengangkat isu yang menambah keruh suasana jelang pemilu 2024.

Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan p...

Hilangnya Budaya Islam Nusantara

Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan praktek belajar agama di langgar atau musala sepanjang sore hingga malam hari. Tanpa televisi dan gawai, pergi ke musala untuk nderes (tadarus) atau ngaji menjadi kebiasaan.

Banyak anak remaja yang berkompetisi untuk jumlah hafalan surat dengan makhraj dan tajwid yang benar. Saling berebut mikrofon untuk azan dan ikamah. Komparasi budaya beragama cukup jelas saat melihat perilaku anak-anak sekarang yang dimanjakan tontonan televisi dan gawai di waktu prime time.

Berbagai acara favorit televisi sengaja ditempatkan di waktu anak-anak dulu ngaji di musala. Appraisal dan valuasi penonton juga mendorong pengiklan menyuplai anggaran di waktu prime time. Pergeseran budaya rupanya tidak menggelisahkan sebagian atau mungkin banyak orang melihat keturunannya tidak lagi mahir beragama. Minimal bisa baca-tulis Alquran.

Terlalu jauh menyimpulkan adanya konspirasi mereduksi kualitas kemusliman seseorang akibat dominasi industri media. Sementara memaklumi situasi akan membenarkan klaim bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam hanya karena faktor keturunan (Islam KTP).

Pendidikan keagamaan juga mulai kurang diminati ketika realitas di masyarakat tidak memberikan kesejahteraan hidup di dunia ketika bergelut di bidang keagamaan. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di kejuruan dan negeri yang dianggap lebih menjamin pekerjaan. Sedangkan waktu di luar jam sekolah malah disibukan dengan bermain gadget.

Hilangnya budaya belajar agama di Indonesia menciptakan pola pikir pragmatis. Mempelajari agama secara instan dan tekstualis yang berdampak pada konflik sosial. Perbedaan pandangan tentang nilai dan sikap saling merendahkan satu sama lain. Perdebatan sesama muslim menjadi konsumsi wajib di media sosial. Agama tidak lagi mengajarkan kebaikan selain egois mempertahankan ideologi.

Kemalasan ngaji namun rajin berdebat perihal hukum syariat menjadi hal yang kontradiktif. Industri media mendorong pertentangan agama yang dulu merupakan praktek persaudaraan dan kebersamaan. Efek dari ketiadaan budaya ngaji sore hingga malam yang digantikan dengan kebiasaan bermedia sosial adalah sikap fanatisme.

 

Baca Juga : Pesulap Merah dan Benturan Budaya

Ideologi Transnasional

Citra Islam Nusantara dipandang sinis muslim kontemporer yang mengampanyekan ideologi puritanisme. Budaya muslim bangsa bergeser menuju gaya hidup Timur Tengah. Cara bersosialisasi, berpakaian, hingga bersikap terhadap sebuah masalah keagamaan. Tidak lagi mementingkan nilai nasab dan sanad beragama, apalagi nilai kebangsaan.

Tawaran ideologi transnasional semakin masif tersebar di media. Banyak yang lebih tertarik ngaji daring daripada bermukim di pondok pesantren atau meluangkan waktu untuk ngaji di langgar dan musola. Padahal dengan interaksi langsung saat ngaji dapat mencegah sikap manipulatif ulama serta mengkritisi materi dakwah yang diajarkan.

Interaksi satu arah yang ditawarkan kajian daring memungkinkan setiap orang tanpa kapabilitas keagamaan bisa mengubah diri menjadi pendakwah. Memanfaatkan kecanggihan algoritma media sosial yang dirancang untuk meningkatkan popularitas seseorang. Ketergantungan terhadap media sosial juga menjadi peluang gesernya budaya bangsa dalam beragama.

Ideologi transnasional menawarkan kajian instan tanpa mengembangkan pembahasan dari sisi konteks dan esensi. Kompleksitas beragama seiring kemajuan zaman memaksa muslim menghadapi banyak masalah seputar akidah dan amaliah. Mengutamakan logika untuk menemukan jawaban dengan menghendaki kesamaan persepsi.

Kekhawatiran penjajahan ideologi mengikis budaya beragama di Nusantara. Tidak lagi berminat pada kajian yang betele-tele, seperti belajar Iqra’ atau kitab-kitab klasik. Selain dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, khasanah keilmuan agama di Nusantara juga dianggap kuno. Anak-anak memilih belajar agama di rumah via media sosial daripada menghabiskan waktu pergi ke langgar atau musala.

Permasalahan berikutnya ada pada sisi pengajar yang memilih bekerja di perusahaan swasta daripada menghibahkan diri sebagai kiai (ulama) kampung. Kondisi tersebut disebabkan karena manusia saat ini lebih berpikir realistis tentang pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhi ketika menjadi pengajar di langgar.

Cara beragama dengan budaya Nusantara akan dirindukan bagi sebagai besar orang yang terlibat pada masa itu. Memiliki ketekunan belajar agama yang dijadikan hiburan bersama teman-teman. Sementara industri media mencetak generasi individualistik yang tidak lagi mementikan aspek spiritual dan sosial. Penjajahan budaya yang dibalut dengan agama menjelma menjadi konflik sosial yang dikomersilkan oleh media.***

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia d...

Potensi Pariwisata Islam

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia destinasi wisata halal kelas dunia. Data Global Muslim Travel Index (2019) menunjukkan wisatawan Muslim hingga tahun 2030 diproyeksikan akan menembus 230 juta di dunia.

Untuk mengimplementasikan program tersebut, pemerintah menyusun strategi seperti fasilitas dan pelayanan yang memadai, konektivitas destinasi wisata halal, mengembangkan promosi dan marketing komunikasi, mengembangkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, dan meningkatkan kompetensi industri yang ramah wisatawan.

Potensi pariwisata halal cukup menjanjikan bagi Indonesia sebagai basis negara muslim terbesar di dunia. Gairah praktek beragama juga berkembang pesat melalui simbol dan pemanfaatan media sosial. Berbagai kajian keislaman menjadi objek menciptakan identitas yang beberapa di antaranya di bungkus nuansa politis.

Mengingat sebaran destinasi wisata di Indonesia, tentu mudah mengaplikasikan program wisata halal. Tantangannya, capaian wisata nonmuslim yang punya proyeksi ekonomi saat ini. Simbol Islam masih punya paradigma negatif terkait perilaku terorisme, perang saudara di Timur Tengah, dan intoleransi. Indonesia punya tugas membersihkan nama Islam yang banyak dicederai oleh umatnya sendiri.

 

Baca Juga : Habituasi Dogma Kebudayaan

Islam dan Halal

Penggunaan diksi halal yang punya asumsi produk makanan/ minuman kurang relevan digunakan sebagai istilah pelengkap pariwisata. Meski Majelis Ulama Indonesia mulai mengabaikan esensi kehalalan produk menjadi simbol Islam dalam berbagai bentuk barang atau benda. Sebab wisata tidak hanya berfokus pada penyajian makanan dan minuman halal, melainkan pada nilai yang diterapkan.

Pariwisata Islam tampaknya lebih lugas mencitrakan nilai-nilai keagamaan melalui sarana pariwisata. Meskipun berbicara nilai Islam banyak yang sejalan dengan budaya di Indonesia. Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut kebersihan, keramahan, kedisiplinan, dan gotong royong. Maksudnya, tanpa identitas Islam pun, manusia bisa mengamalkan nilai-nilai Islam sebagai hakekat budaya dan kemanusiaan.

Pemerintah harus bisa mengembangkan esensi daripada hanya berkutat pada eksistensi Islam. Penggunaan simbol dan istilah-istilah Islam kurang begitu punya pengaruh menciptakan nuansa islami jika perilaku wisatawan dan pelaku di dalamnya jauh dari cerminan nilai-nilai Islam. Fokus nilai Islam tidak tercermin dari penamaan wisata halal dan lebih layak menggunakan nama Pariwisata Islam.

Wisatawan tidak dibatasi oleh muslim, semua pemeluk agama bisa berkunjung ke Indonesia dan melihat praktek nilai-nilai Islam yang indah dan menarik. Misalnya tingkat kebersihan dilihat dari penyediaan fasilitas MCK, tidak adanya sampah, perawatan lingkungan hidup, dan kerapian penataan lokasi wisata. Dalam sisi keramahan bisa diwujudkan dengan intensitas interaksi dengan wajah murah senyum seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad.

Halal hanya identik dengan Islam namun tidak mewakili nilai secara keseluruhan. Namun butuh kesiapan yang matang menyiapkan pelaku industri pariwisata dalam mengamalkan nilai Islam. Memberikan teladan kepada wisatawan bahwa Islam adalah agama yang damai, menyenangkan, dan selalu memanusiakan manusia. Islam tidak boleh dimonopoli oleh salah satu paham atau ideologi yang tercermin dari sikap menerima kehadiran wisatawan nonmuslim.

 

Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Pluralistik

Perlu diakui bahwa Indonesia merupakan negara plural dengan beragam suku, budaya, dan agama. Sejarah bangsa juga diilhami oleh para pemuka agama nonmuslim dan sudah hidup rukun puluhan tahun di Indonesia. Kesadaran negara multidimensi menghendaki kebijakan pemerintah yang adil pada semua aspek agama.

Penyediaan produk (barang) halal sebagai penguatan unsur religius terlihat tidak begitu berpengaruh pada motif pembentukan wisata islami. Kita kerap dininabobokan simbol-simbol agama namun tidak pernah menganalisis esensi dan manfaat dari keberadaannya. Agama hanya dijadikan transaksi dagang secara politik dan ekonomi.

Kegigihan pemerintah merencanakan program wisata halal banyak berorientasi pada data State of the Global Islamic Economy yang di tahun 2020 mencatat total perjalanan wisatawan muslim dunia senilai 194 Miliar US Dolar. Diprediksi pada tahun 2023 mengalami peningkatan sekira 274 Miliar US Dolar. Kondisi tersebut yang mengaburkan aspek religius dan mementingkan aspek ekonomi dengan menjual nama Islam.

Konsep pariwisata Islam harus digagas tidak hanya mengenalkan keindahan alam Indonesia. Melainkan juga sebagai komitmen mengembalikan citra Islam yang bisa diterima oleh berbagai agama di dunia. Menunjukan bahwa Indonesia bisa berdiri dan tumbuh dari kondisi yang plural dan majemuk. Islam sebagai negara mayoritas punya tanggung jawab melindungi kehadiran agama minoritas dari segala bentuk ancaman.***

Dalam tradisi Islam ada istilah habib yang ditujukan bagi seseorang keturunan Nabi Muhammad. Habib diambil dari kata habba-yuhibbu  yang ber...

sikap terhadap habaib

Dalam tradisi Islam ada istilah habib yang ditujukan bagi seseorang keturunan Nabi Muhammad. Habib diambil dari kata habba-yuhibbu yang berarti kesayangan atau orang yang dikasihi. Sementara habaib merupakan kata jamak dari habib. Di Indonesia, ada lembaga khusus yang mencatat silsilah keturunan Nabi Muhammad, yakni Rabithah Alawiyah yang berdiri tahun 1928.

Budaya patriarki menentukan posisi habib yang resmi harus berasal dari nasab (garis keturunan) laki-laki. Meski mendapat pertentangan ketika keturunan Nabi Muhammad sempat terputus pada anaknya Fatimah Az-zahra. Nabi Muhammad memiliki 3 anak laki-laki (Al-Qasim, Abdullah, Ibrahim) dan 4 anak perempuan (Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az-Zahra).

Fatimah merupakan satu-satunya ahlul bait (keluarga Rasulullah) yang meneruskan nasab Nabi Muhammad hingga sekarang. Ada sekira 20 juta penduduk di dunia yang menyandang gelar habib dari 114 marga. Di sisi lain, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menyampaikan bahwa esensi habib adalah orang yang mampu mencintai dan dicintai orang lain.

Mengingat beratnya mengemban gelar habib sebagai suri teladan bagi umat, banyak juga keturunan Nabi Muhammad yang “menyembunyikan identitasnya” seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Said Aqil Siradj, hingga Prof. Quraish Shihab. Dalam tradisi pesantren, santri diajarkan untuk menghormati dan memuliakan habaib sebagai sikap mencintai keturunan Nabi Muhammad.

“Aku tinggalkan dua perkara yang sangat berharga pada kalian. Yang pertama adalah Kitab Allah, yang kedua adalah Ahlul Bait-ku,”

 
Baca Juga : Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Politik

Motif politis menjadikan intensitas kecintaan kepada habaib mengalami penurunan. Kasus Front Pembela Islam yang resmi dibubarkan tanggal 21 Juni 2019 menjadi puncak perselisihan antara habaib dan pribumi yang tidak cocok secara pilihan politik. Dimulai dari kemunculan politik identitas sejak pilkada di DKI Jakarta tahun 2017 dan membesar dalam kontestasi pilpres 2019.

Habib Rizieq Shihab menjadi tokoh utama yang getol menyuarakan pandangan politik-religius. Berbagai aksi digalang seperti agenda 212, 1410, dan 411 untuk memuluskan cita-cita politik. Semangat politik yang kemudian menular ke daerah-daerah dan memunculkan tokoh-tokoh lain seperti Habib Bahar bin Smith dan Habib Abubakar Assegaf.

Perkara perbedaan pandangan politik, banyak santri yang semula diajarkan untuk mencintai habaib berubah sikap menjadi pembenci habaib yang kontra pemerintah. Hal itu disebabkan karena pesantren merupakan basis organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama yang menjadikan KH. Ma’ruf Amin (mantan Rais Am Syuriah) wakil presiden. Serentak dukungan mayoritas nahdliyin masuk kantong suara Jokowi.

Benturan politik yang melibatkan pengaruh kiai dan habaib menjadi dilema santri yang terlibat dalam perdebatan politik. Bahkan tak sedikit yang berani menghina dan melecehkan habaib di media sosial. Di sisi lain, banyak habaib yang rupanya terang-terangan mendukung Jokowi di pilpres 2019. Perbedaan pandangan ini yang mereduksi gelar habib yang semestinya mampu mencintai dan dicintai umatnya.

Harapan meredanya politik identitas menggunakan agama sebagai alat merebut kekuasaan akan mengembalikan citra habib yang bisa lebih fokus pada pendidikan agama. Mengembalikan marwah habaib sebagai tokoh yang patut dihormati dan dicintai umat Islam. Tanggung jawab moral sebagai keniscayaan gelar yang didapat sebab keturanan Nabi Muhammad.

 

Baca Juga : Habib Kribo dan Krisis Beragama

Ulama

Bekas konflik politik juga merambah pada gelar ulama sebagai penuntun umat dalam bidang keagamaan. Narasi kriminalisasi ulama digaungkan kepada mereka yang segerbong pandangan politik. Gelar keulamaan juga hilang hanya karena mendukung kebijakan pemerintah yang pernah membubarkan HTI dan FPI.

Habaib secara kesadaran diri dan disepakati masyarakat patut mendapat gelar ulama. Ancaman sesat pada mereka yang membenci ulama kerap muncul dalam dialog dan perdebatan secara daring. Sayangnya, penyematan gelar ulama yang inkonsisten membuat warganet sering mengingkari pernyataannya sendiri.

Bahkan banyak habib yang berbeda pandangan politik dan ditengarai berafilisasi pada salah satu organisasi berani difitnah dan dihakimi secara masal di media sosial. Paling mutakhir kasus Habib Husein Ja’far yang dituduh syiah oleh Muhammad Assaewad dan mendapat dukungan dari followernya di Twitter.

Namun belum ada kejelasan tentang sikap kita sebagai santri yang diwajibkan mencintai habaib kepada mereka yang dianggap atau dituduh sesat. Apakah hanya dibolehkan untuk mencintai habaib yang sesuai dengan pandangan politiknya? Lalu bagaimana dengan habaib yang punya pandangan berbeda tentang politik?

Belum selesai pada gelar habib dalam pandangan politik, apakah gelar ulama hanya disandang bagi mereka yang kontra dengan pemerintah? Apakah gelar ulama otomatis hilang ketika masuk dalam pemerintahan seperti KH. Ma’ruf Amin?

Hanya karena politik, gelar ulama seolah tidak lagi ditentukan dari kualitas keilmuan di bidang agama, melainkan dari sikap oposisi terhadap pemerintahan. Demikian yang kemudian memunculkan transaksi gelar keulamaan yang tidak lagi fokus berdakwah tentang Islam, selain caci maki terhadap pemerintah.***

Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kem...

Inovasi Guru Daring

Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kemajuan teknologi menjadi inovasi baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Perlu diakui, pendidikan nasional banyak mendapat kritik karena tidak bisa memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Semantara banyak praktisi dan akademisi memprediksi potensi Indonesia bakal segera menjadi negara maju dalam beberapa tahun ke depan.

Aktualisasi kurikulum yang tidak relevan dengan tahap usia anak didik dan sistem pengajaran yang feodalistik menjadi faktor sulitnya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Terapan hafalan materi, budaya kompetisi, dan intervensi politik terhadap mekanisme birokrasi pendidikan menjadi masalah yang masih susah untuk diuraikan.

Sekolah belum mampu memfasilitasi anak didik untuk mencari ilmu, mengolah kreativitas, dan menata kepribadian. Dampaknya, banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan kesulitan mengembangkan potensi diri untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan beberapa di antaranya melihatkan sikap amoral di masyarakat. Anak didik masih kesulitan melihat peluang pasar dalam mengembangkan minat dan bakatnya, selain dituntut menjadi manusia yang patuh dan tunduk pada sistem.

Pendidikan nasional masih dibayangi mindset industrialisasi yang menghendaki anak didiknya menjadi pegawai atau karyawan di salah satu perusahaan daripada mencari peluang mengembangkan usaha sesuai minatnya. Sementara iklim kompetisi di dunia pendidikan mengajarkan sikap saling mengalahkan untuk mencapai keberhasilan, meski dengan risiko mengorbankan nilai-nilai sosial budaya.

Secara tidak sadar, pendidikan saat ini menempuh jalan penyeragaman pengetahuan, gaya hidup, dan kepatuhan yang sama. Kapasitas memori otak manusia dijejeli dengan pengetahuan dengan metode hapalan tanpa pelatihan dan kreativitas individu. Ketidakpedulian masyarakat terhadap mutu pendidikan mengakibatkan pembiaran kebodohan dan kebobrokan kualitas kecerdasan manusia. Mewajarkan sistem pendidikan hanya sebagai syarat formlitas menghibahkan diri pada industri dan kapitalisme.

Kesempatan memanfaatkan bonus demografi disia-siakan dengan sistem pendidikan yang kolot dan miskin inovasi mulai dari penerapan kurikulum, pembentukan aturan, hingga teknik ajar guru. Sementara reformasi pendidikan nasional butuh waktu dan metode yang sistematis agar bisa mengubah budaya pendidikan yang sudah mengakar di Indonesia.

 

Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan di Indonesia

Inovasi

Beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan menjadi pengajar di salah satu startup edutech. Melakukan pendidikan (bimbingan belajar) secara daring atau online. Kegiatan seperti ini populer sejak pandemi, bukan hanya keperluan pendidikan informal, melainkan juga dalam sistem kurikulum pengajaran pendidikan formal (sekolah).

Kesadaran penggunaan gawai dalam belajar dan adaptasi pendidikan tanpa “tatap muka” mengasah guru melakukan inovasi pengajaran. Menciptakan budaya pendidikan baru tanpa terikat aturan sekolah namun tetap fokus dan konsentrasi belajar. Guru dituntut berkreasi membuat inovasi pembelajaran yang tidak membosankan.

Sementara materi, bahkan soal dan jawaban sudah banyak tersedia di internet yang kalau peserta didik aktif belajar via daring bisa menemukan sendiri pengetahuannya. Materi buku bukan lagi menjadi barang mewah yang “wajib” dibeli ketika guru malas melakukan invosi pengajaran tanpa memberikan soal ujian dari hasil plagiat di internet.

Beberapa kali saya melakukan pembahasan soal ujian selama bimbingan belajar online, soal pilihan ganda pun banyak yang mencuplik dari internet. Sementara banyak anak didik yang kesulitan menjawab pertanyaan karena tidakcakapan menguasai hapalan materi yang dijejeli dari berbagai mata pelajaran. Sedangkan hanya sedikit di antaranya yang diajari memahami materi atau mengnalisis kasus.

Kebuntuan inovasi mengajar guru, kekakuan kurikulum pendidikan, dan kaburnya orientasi pembelajaran menciptakan kegagalan mengimplementasikan tujuan konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Peserta didik hanya dituntut mendapat nilai bagus tanpa ada tanggung jawab memikirkan masa depan anak mengenai hasil pengetahuan yang didapat di sekolah.

Di sisi lain, kesejahteraan guru yang masih sering mendapat sorotan memungkinkan prioritas mengajar di sekolah sedikit diabaikan dan memilih memfokuskan pada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Dampaknya tentu pada kualitas kecerdasaan siswa yang secara tidak langsung berimplikasi pada tindakan amoral hingga kriminalitas di masyarakat.

Pendidikan adalah pondasi utama negara bangkit dari ketertinggalan. Berpartisipasi pada produktivitas ekonomi dan pengembangan bisinis dengan memanfaatkan kecerdasan intelektual. Tantangan majunya teknologi informasi harus relevan dengan mutu kualitas pendidikan nasional. Agar masyarakat adaptif menghadapi goncangan ekonomi global dengan terus berkreasi dan berinovasi sesuai minat dan bakatnya.

Guru juga harus punya tanggung jawab memberikan pengajaran yang inovatif di media daring. Bagaimana menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan tanpa tekanan dan tuntutan yang berakibat pada tingkat stres anak didik. Selain juga memasukan nilai-nilai moralitas sebagai jalan merevolusi kebudayaan yang mulai banyak ditinggalkan.

Itulah yang sering saya terapkan dalam sistem mengajar secara daring. Meski bukan berasal dari lulusan keguruan, nyatanya siswa tertarik dengan metode pengajaran yang membuatnya antusias untuk bertemu dan belajar. Hasilnya adalah pencapaian nilai tinggi di kelas dan menguatnya nilai moralitas di lingkungan masyarakat.***

  Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membent...

pemimpin seniman

 

Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membentuk koalisi. Beberapa di antaranya sudah terang-terangan mendeklarasikan bakal calon presiden di media. Meski masih setahunan lebih, namun tidak ada yang terlambat dalam dunia politik.

Anies Baswedan yang diusung partai Nasional Demokrat (NasDem) misalnya, mulai melakukan mobilisasi dukungan kepada calon potensial koalisi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selain itu, aktif melakukan lobi politik ke basis Islam terbesar - Nahdlatul Ulama - dengan berbagai kunjungan ke pondok pesantren di Jawa Timur.

Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih berhati-hati menentukan calon presiden. Kader potensial Ganjar Pranowo dinilai pesaing ideal untuk bertarung dengan Anies di arena pilpres. Sementara Puan Maharani yang digadang menjadi penerus (akar rumput) Megawati masih jauh dari elektablitas yang memuaskan publik.

Masih ada juga calon presiden yang memiliki elektablitas dan popularitas tinggi seperti Prabowo Subianto, Erick Tohir, Agus Harimurti Yudhyono, hingga Muhaimin Iskandar. Apa pun itu, tembok presidential threshold membatasi masyarakat memilih pemimpin yang ideal tanpa harus melakukan lobi-lobi politik.

 
Baca Juga : Konduktor Politik 2024

Pemimpin Seiman

Sejak lama, pemikiran bahwa presiden Indonesia harus muslim masih menjadi pedoman bangsa yang punya basis masyarakat beragama Islam. Seolah tidak ada peluang bagi tokoh nonmuslim sekedar bersaing dalam pemilihan calon presiden. Kesadaran kaum minoritas mendorong pencalonan pemimpin muslim yang toleran terhadap kondisi pluralisme di Indonesia.

Puncak benturan politik agama terjadi ketika mulai terbentuknya politik identitas. Bukan perseteruan antar agama, melainkan simbolisasi konsep islamisme dan nasionalisme. Narasi pilihan pemimpin yang seiman dijadikan narasi memenangkan Anies Baswedan ketika mempecundangi Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam pilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017.

Mengetahui bahwa gubernur DKI Jakarta merupakan batu loncatan menjadi presiden Indonesia, isu agama dimainkan secara nasional yang kemudian merambat ke politik daerah. Agama menjadi alat berpolitik praktis. Memainkan isu sekulerisasi, komunisme, radikalisme, hingga terorisme. Akibat politik identitas, agama menjadi bahasan yang tabu (sensitif) dibicarakan di ruang publik.

Masyarakat minoritas yang mempunyai hak sama memilih dan dipilih menjadi pemimpin harus mengurungkan niat sampai doktrinasi politik agama tidak lagi mengatur dominasi pemilu di Indonesia. Bagi nonmuslim, tidak ada lagi pilihan untuk memilih pemimpin yang seiman, selain pemimpin muslim yang masih peduli terhadap agamanya.

 

Pemimpin Seniman

Misalkan pilihan pemimpin seiman masih membelenggu demokrasi di Indonesia, ada variabel lain menentukan pemimpin yang ideal di masa depan. Pemimpin yang punya jiwa seniman. Kreaktif dan inovatif mengatasi problematika nasional tanpa iming-iming janji politik dan pencitraan di ruang-ruang publik.

Melalui tangan seniman, tradisi menjadi sesuatu yang harus diubah, bukan disembah. Dari pikirannya yang imajinatif, lahir ide-ide baru mengenai tata kelola masyarakat, jalan hidup untuk kebebasan, pandangan tentang keadilan, dan kepekaan terhadap realita sosial. Seniman punya batin yang melintasi batas-batas agama, ras, golongan, dan budaya.

Seni memimpin tidak akan pernah mengucapkan ketidaktahuan tentang sesuatu. Mereka akan mengajak orang lain berdiskusi tentang apa yang penting untuk dilakukan dan kemudian mengimplementasikannya tanpa keragu-raguan. Menjadi seniman harus punya prinsip dan idealisme ketika memimpin. Tidak goyah dipengerahui koalisi, kepemilikan partai pengusung, dan para kolega.

Reformasi tidak mengubah secara fundamental tradisi berpolitik dan bernegara. Masih banyak kasus korupsi, sistem politik dinasti, pembatasan hak berpendapat, dan ancaman hukum dari kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan tidak mutlak didapat meski konstitusi menghendaki adanya sistem domokrasi bermasayarakat dan bernegara. Indonesia masih gagap berpolitik dan menggunakan praktek tradisi lama.

Belum muncul jiwa seniman yang selalu gelisah memunculkan ide-ide baru mengenai pembaruan kebijakan yang relevan dengan perkembangan zaman. Tidak terikat pada doktrin masa lalu dan terkekang pada idealisme kelompok pengusung. Dengan memilih pemimpin yang seniman, meminimalisir narasi politik identitas. Seni (keindahan) yang bersifat realtif akan mengaburkan konflik politik dan agama.

Seniman tidak menyandarkan keindahan karya pada politik dan agama. Indonesia adalah negara yang akan disulap menjadi panggung pertunjukan yang estetis. Dengan latar keindahan lingkungan dan melimpahnya sumber daya alam, seniman akan membawa Indonesia menjadi negara yang disegani dan bermartabat di mata dunia.

Kira-kira siapa calon presiden yang punya jiwa seni untuk menjadi pemimpin Indonesia? Ataukah akan kembali dipimpin oleh tokoh-tokoh lama yang kolot terhadap perubahan?

  Simbol-simbol kejawaan dalam beberapa logo peringatan hari besar dan konsep kenegaraan memicu adanya isu jawanisasi terhadap Indonesia. Do...

 

Tata Tentrem Karta Raharja

Simbol-simbol kejawaan dalam beberapa logo peringatan hari besar dan konsep kenegaraan memicu adanya isu jawanisasi terhadap Indonesia. Dominasi suku dan budaya Jawa yang direpresentasikan dalam berbagai bidang industri memantik konflik nasional tentang nilai kebinekaan atau kesatuan negara. Sementara realita multikulturalisme merupakan kekuatan Indonesia dalam menghadapi tatangan peradaban.

Pengaruh kejawaan juga masuk dalam ranah politik ketika pemimpin partai dan presiden didominasi orang berasal dari suku Jawa. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia merupakan orang Jawa. Kemudian diimplementasikan dalam kebijakan yang difokuskan di Pulau Jawa dan menyebabkan kesenjangan pembangunan sumber daya.

Motif politis yang berkaitan dengan hak suara dalam pilihan pemimpin membuat daerah di luar Jawa kurang mendapat atensi dari pemerintah. Meskipun Jokowi mencoba mengubah persepsi jawanisasi dengan program kebijakan pembangunan yang mulai banyak di luar Pulau Jawa, nyatanya masih banyak ketertinggalan infrastruktur dari segi teknologi dan informasi.

Iklan dan promosi Jawa bukan berarti mendukung sistem jawanisasi di Indonesia, melainkan untuk mengenalkan Jawa sebagai pandangan hidup yang menarik untuk diajarkan sebagai kebudayaan. Tidak menutup kemungkinan juga bagi suku lain di Indonesia untuk melakukan promosi serupa untuk menambah khasanah kebudayaan nusantara.

Tujuannya untuk mengimplementasikan kebudayaan domestik agar tidak gampang diintervensi kebudayaan asing. Kemajuan teknologi digital dan keterbukaan informasi berpotensi menghilangkan kebudayaan Indonesia yang mulai masuk dalam ruang industri hiburan, sistem politik, dan nilai-nilai keagamaan. Semangat mencintai kebudayaan asal akan memberikan motivasi melindungi negara dari ancaman penjajahan kebudayaan asing.


Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Kosmologi Jawa

Kosmologi Jawa merupakan konsep mengenai kehidupan mistis masyarakat Jawa yang dipadukan dengan kepercayaan terhadap kekuatan supranatural di luar dirinya, kekuatan alam maupun Tuhan (Pitana, 2007). Alam semesta disebut jagad gedhe (makrokosmos), sedangkan jagad cilik (mikrokosmos) merupakan representasi dari manusia.

Orang Jawa melihat tidak adanya perbedaan antara sikap religius, sikap terhadap alam, dan interaksi sosial di masyarakat yang tujuannya untuk menciptakan keadaan sejahtera, tentram, selaras dengan alam dan masyarakat. Harmonisasi terhadap keberadaan manusia, alam, dan Tuhan membuat orang Jawa mudah diterima dalam konsep ideologi sosial di suku-suku lain di Indonesia.

Harapan terhadap kedamaian dan keadilan membuat orang Jawa mudah menerima perbedaan. Tidak suka konflik dan perpecahan dengan tetap mengutamakan sikap paseduluran. Di sisi lainnya, orang Jawa bisa memposisikan diri untuk selalu menerima keadaan dengan kesederhanaan dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Ketertataan sosial dan lingkungan menjadi cita-cita masyarakat Jawa.

Sementara dalam pandangan personal, orang Jawa berpijak pada cipta, rasa, karsa, dan karya. Cipta yang berorientasi pada pikiran dan pengetahuan. Rasa berpijak pada hari dan moral. Karsa berpijak pada niat dan kehendak. Sedangkan karya hasil dari pikiran dan perilaku yang dilandaskan pada kemanfaatan personal dan sosial. Pikiran, hati, dan tekad merupakan falsafah hidup leluhur masayarakat Jawa.

 

Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Tata Tentrem Karta Raharja

Suasana tata titi tentrem kerta raharja merupakan salah satu dari banyak falsafah Jawa dalam melihat fenomena sosial dan kemasyarakatan. Tata mempunyai makna keteraturan, tentrem mempunyai arti ketenangan, kerta mempunyai arti kesejahteraan, dan raharja mempunyai arti keselamatan. Secara umum, orang Jawa mengharapkan agar manusia bisa menjalani hidup dengan tenang, tentram, dan bahagia.

Falsafah ini relevan dengan kondisi sosial Indonesia ketika ketergantungan terhadap dunia digital memicu banyak konflik. Permainan narasi informasi membawa kehidupan sosial yang jauh dari ketenangan. Politik yang konsisten menciptakan ketegangan dan ketidakaturan bermasyarakat. Belum lagi perilaku terhadap lingkungan alam yang menjadi ancaman generasi mendatang dengan berbagai polusi dan bencana alam.

Tata tentrem karta raharja merupakan falsafah luhur tentang kesediaan manusia menghormati alam yang kemudian berimplikasi pada nilai-nilai spiritualitas. Ancaman global dari sisi budaya dan politik-ekonomi perlu diantisipasi dengan menguatkan pola kebudayaan yang masih relevan dengan perkembangan zaman.

Lunturnya moralitas merupakan keprihatinan pada kesatuan kosmos dalam ajaran kemanunggalan masyarakat Jawa. Mulai menghilangnya norma sopan santun dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang membuat perilaku hukum terkesan dominan. Manusia modern dalam bayang-bayang ketidaktahuan jati diri yang kemudian hobi mereplika gaya hidup dan perilaku orang atau kebudayaan lain.

Sementara pemerintah merupakan variabel utama dalam mewujudkan cita-cita tata tentrem karta raharja. Punya otorisasi mengatur dan membatasi pola perilaku masyarakat yang menyimpang dari ajaran kebudayaan bangsa. Mengutamakan keadilan dalam bidang pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia. Sementara saat ini, ekonomi masih menjadi parameter kesuksesan negara dengan risiko penghancuran alam, konflik antar-golongan, dan hegemoni politik praktis.

Pendidikan yang seharusnya mengajarkan banyak ajaran falsafah bangsa terkikis oleh sistem modernisasi yang berfokus pada peniruan, hafalan, dan kepatuhan. Pelajar dimatikan daya cipta, rasa, karsa, dan karyanya. Sementara agama yang mengatur moralitas umat malah menjadi sarana legalisasi kekerasan, perdebatan, dan peperangan.***

  Dalam agama Islam, manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Sementara ego manusia kerap memaksakan k...

 

Habituasi Dogma Kebudayaan

Dalam agama Islam, manusia dianjurkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, bukan dalam kebenaran. Sementara ego manusia kerap memaksakan keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap benar kepada orang lain. Budaya tersebut berpengaruh terhadap kondisi sosial masyarakat yang mudah berkonflik untuk saling menyalahkan atau merendahkan yang lain.

Pembiasaan terhadap pemaksaan kehendak mengabaikan nilai moralitas. Budaya bangsa tidak lagi dibangun atas aspek kemanusiaan tentang makna kebermanfaatan selain keuntungan pada diri dan kelompok sendiri. Degradasi moralitas kemudian difasilitasi media sosial yang berpotensi pada sikap ketersinggungan dari orang lain.

Kasus sara, penyebaran hoaks, dan perundungan digital menjadi bahan utama manusia berlomba untuk mengalahkan satu sama lain. Perkawanan (persaudaraan) dikontradiksikan dengan perlawanan. Berbeda pandangan atau ideologi kelompoknya, berarti musuh. Sementara keyakinan terhadap keyakinan dilandaskan pada dogma yang dipengaruhi oleh sikap tokoh idola, lingkungan, dan referensi informasi.

Dogma tentang keyakinan akan kebenaran dipupuk dari proposisi informasi dari orang lain yang dianggap standarisasi kebenaran. Keyakinan tersebut kemudian menjadikan kebiasaan yang ketika disalahkan akan melawan. Sehingga konflik bukan didasari atas perebutan kebenaran, melainkan mempertentangkan keyakinan.

Keyakinan itu muncul dari budaya di lingkungan yang menyepakati kebenaran. Bahkan tanpa mengetahui esensi dari habituasi budaya yang diyakini. Keyakinan terhadap kebenaran yang tidak dilandasi pada argumentasi yang kuat. Selain itu, keyakinan juga ditemukan atas dasar otoritas tokoh, kelompok, atau ideologi. Ada juga keyakinan akan kebenaran yang berasal dari pengalaman diri. Pencarian kebenaran dari jalur intuisi. Terakhir pencarian kebenaran melalui jalur sains yang diteliti berdasarkan metode ilmiah.

Kasus amoral di media sosial yang melibatkan ibu negara menjadi tamparan nilai kebudayaan yang diusung bangsa. Sebelumnya, pelecehan dan penghinaan terhadap presiden, politikus, ulama, dan artis cukup berpengaruh terhadap persepsi keyakinan terhadap nilai yang dipegang. Guncangan asosial untuk berlindung di balik tirai demokrasi (kebebasan).

Selanjutnya berbagai kasus viral tentang perundungan yang melibatkan pelajar. Dilematis hukum tentang perilaku kriminal anak di bawah umur menyadarkan masalah fundamental habituasi kebudayaan sejak kecil. Dogma tentang parameter moralitas dan keyakinan yang dipengaruhi oleh lingkungan melecut mental amoral masyarakat.

Nilai-nilai luhur budaya dikikis oleh pengaruh budaya asing dan konsep liberalisme yang menghendaki kebebasan manusia tanpa hukum dan aturan yang mengikat. Dorongan informasi di media digital juga menguatkan dogma terhadap argumentasi kebenaran yang diyakini. Konflik dijadikan strategi membuktikan kebenaran yang di antaranya diaktualisasikan melalui perilaku kekerasan.

Namun banyak masyarakat yang tidak menyadari kebenaran yang sedang diyakininya. Menghibahkan permasalahan kepada orang lain tanpa sudi disalahkan atau dituduh keliru. Persaudaraan hanya terjadi di lingkup kelompok yang sesuai dengan proposisi kebenaran yang diyakini. Sementara orang atau kelompok yang berseberangan akan dimusuhi dan dilawan dengan menghalalkan berbagai cara.

Dogma tentang kebenaran mudah diciptakan ketika keresahan dan cita-cita yang dituju sama. Atas dasar persaudaraan, dogma menular lebih luas di ruang publik dan membangun kebiasaan dalam meyakini sesuatu. Dogma tersebut kemudian diaktualisasikan dengan sikap amoral di media maya maupun nyata. Membudaya dan menciptakan konflik permanen.

Manusia post-modern susah menemukan sumber kebenaran dari pengalaman selain menyandarkan pada dogma orang lain. Mudah terepngaruh dan mengikuti arus kebenaran yang lain. Padahal setiap orang punya kualitas dan parameter kebenaran sendiri. Namun seringkali malas menemukan kebenaran dan memilih meyakini kebenaran dari persepsi lain di luar dirinya.

Kebudayaan dibangun atas dasar kebiasaan masyarakat dalam meyakini sebuah nilai. Sementara media sosial berperan menciptakan kebudayaan baru menularkan dogma yang kadang tidak relevan dengan moralitas budaya sebelumnya. Implikasinya adalah menurunya nilai moral dan lunturnya norma sosial. Konflik sengaja diciptakan untuk menambah gairah masyarakat dalam menilai sesuatu.

Pemerintah yang punya peran menciptakan suasana kondusif di masyarakat malah sering terlibat dalam narasi konflik dengan perkataan, sikap, dan kebijakan yang berpotensi mengarah pada ketidakadilan. Sementara media berperan mengembangkan isu dan menyebarluaskan sebagai kesatuan dari pembangunan perubahan kebudayaan yang amoral.

Bukan hanya perkara politik, agama juga punya sumbangsih dalam pembangunan kebudayaan. Perbedaan tidak dipandang sebagai khasanah keilmuan, namun menjadi sumber konflik mencederai yang lain. Tidak menerima dan memaksakan keyakinan akan kebenaran kepada orang atau kelompok yang lain. Sehingga agama terkesan sebagai alat untuk melegalkan konflik dan kekerasan.

Sedangkan ulama yang punya peran sentral mengajarkan dogma kebaikan, beberapa di antaranya malah mengajarkan fanatisme untuk menyalahkan yang lain. Budaya purifikasi agama yang coba diterapkan memicu pertentangan ideologi yang bermuara pada permusuhan. Tidak ada lagi nasihat berlomba-lomba dalam kebaikan, selain berlomba-lomba saling mengalahkan.

Menjadi pekerjaan rumah yang besar mengikis sikap amoral masyarakat yang sudah terjadi sejak dini. Pelajar yang semestinya mendapatkan pendidikan moral malah melakukan tindakan amoral berupa perundungan dan kriminalitas. Menyalahkan media sosial sebagai sarana penyebaran informasi hanyalah dalih ketidakmampuan negara mengontrol budaya masyarakat.***

Degradasi kualitas kesenian saya rasakan sebagai pelaku seni, khususnya teater. Di banyak pertunjukan di Surakarta dan Yogyakarta, ada penur...

Kesenian Ngawur

Degradasi kualitas kesenian saya rasakan sebagai pelaku seni, khususnya teater. Di banyak pertunjukan di Surakarta dan Yogyakarta, ada penurunan standar pementasan dari waktu ke waktu. Padahal, seharusnya semakin banyak pertunjukan seni akan meningkatkan daya kreativitas pelaku seni dalam segi keaktoran dan penggarapan. Bahkan beberapa update pertunjukan teater di YouTube juga mengalami masalah serupa.

Namun penilaian saya bisa dibilang subjektif ketika penikmat awam teater menganggap keren pada salah satu pertunjukan yang saya anggap jelek. Bahwa standar penilaian kesenian bisa saja mengalami peningkatan seiringi kuantitas pertunjukan yang pernah disaksikan. Itulah yang kerap dijadikan dalih berkesenian dengan ngawur.

Namun alasan saya selaras dengan sepinya kehadiran tokoh teaterawan nasional. Pertunjukan masih didominasi dengan naskah-naskah lawas seperti naskah karya Arifin C Noer, Putu Wijaya, N. Riantiarno, hingga WS Rendra. Sementara kegiatan sayembara penulisan naskah teater yang diinisiasi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) masih kurang populer dan minim publikasi.

Sikap sinis terhadap penulis muda bisa dimaklumi ketika produksi naskah cenderung ngawur dan miskin kreativitas. Naskah hanya menojolkan dialog komedi tanpa alur dan pesan yang jelas. Berbeda dengan penulis naskah lama yang memasukan unsur situasi komedi dengan mengajak penonton berpikir bahwa secara kontekstual adegan yang disajikan begitu lucu dan menarik.

Beberapa naskah baru yang saya baca tidak menyajikan dramatugi yang kerap diabaikan demi euforia pertunjukan yang ngawur. Seni bukan perkara kebebasan, tapi tentang kepekaan dan kreaktivitas menyampaikan pesan kepada penonton. Pelaku seni harus punya tanggung jawab menghargai penonton yang sudah mengorbankan waktu dan uang untuk melihat sebuah pertunjukan.

Ketika saya mengikuti kelas pelatihan menulis drama dengan Garin Nugroho tiga tahun lalu, naskah harus bisa memuat nilai-nilai moral dan sosial yang relevan dengan penonton (masyarakat). Kebiasaan menggarap naskah lama tentu menghadirkan interpretasi yang sumbang dengan keadaan saat ini seperti naskah Marsinah Menggugat, Pedati dalam Kubangan, Orde Tabung, hingga Rumah Sakit Jiwa.


Baca Juga : Inovasi Pandemi Pentas Teater

Estetika

Kegagapan mengejawantahkan nilai estetik pada karya seni mereduksi esensi kesenian. Tidak ada indikator menilai sebuah karya seni. Kesenian ngawur tetap bisa dinilai keindahannya berdasarkan sudut pandang masing-masing orang. Takutnya, menurunnya kualitas kesenian berdampak pada apresiasi penikmat seni yang lebih memilih karya seni asing (luar negeri).

Pelaku seni melupakan aspek karya seni harus konsisten memuat nilai logika (benar dan salah), etika (baik dan buruk), estetika (indah dan jelek). Saat ini, berkesenian sering melompat ke nilai estetika dan meninggalkan aspek logika dan etika pertunjukan. Plagiat ide dan potongan konsep pertunjukan dilakukan pelaku seni saat buntu dalam proses penggarapan.

Kesenian hanya dijadikan wadah bersenang-senang mengekspresikan diri. Tidak ada lagi tanggung jawab moral, apalagi usaha melampaui kualitas karya seni sebelumnya. Kelompok teater juga hanya mementingkan eksistensi (rutinitas pertunjukan) dengan proses yang seadanya. Ada kesenjangan antara pemikiran konsepsional dalam lingkup akademik dengan pemikiran seni yang hidup di dalam diri para seniman tradisional.

Pertunjukan seni tidak lagi ideal ketika idealis praktisi seni berbenturan dengan parameter seniman dari kalangan akademisi. Minimnya ruang kritik seni menjadikan kesenian ngawur masih menjamur di panggung-panggung. Menurut Abrahams (1953) ada empat komponen dasar berpikir melakukan kritik seni, yaitu universe (kesemestaan), works (karya-karya seni), artist (seniman), dan audience (penikmat/ penonton).

Perlu kesadaran dari pelaku seni bahwa setiap hasil karya seni harus siap dengan kritik. Bukan berdalih atas nama kebebasan berkekspresi. Seni punya relasi dengan ruang dan penonton sebagai kesatuan pertunjukan. Estetika tidak bisa diukur dari intensitas guyonan saat berdialog dan beradegan. Setiap pertunjukan seni harus mampu menawarkan sesuatu yang baru dan memuat pesan logis.

Dari teater bisa menggambarkan fenomena kesenian lain seperti tari, musik, hingga lukis. Realitanya, Indonesia krisis pelaku dan kritikus seni yang kredibel. Kesenian domestik diambang keruntuhan ketika acuan berkarya masih dibayang-bayangi kejayaan seni periode kebangkitan hingga teater mutakhir (1940-an hingga 1980-an).

Pada masa transisi, kesenian di Indonesia mengalami problem pelik meninggalkan kesenian tradisi dan memilih teater modern dengan warna pertunjukan yang baru. Sejak saat itu teater tradisi yang memuat nilai dan norma bangsa jarang mendapatkan panggung. Namun ketika sebaran kesenian kontemporer yang banyak dipengaruhi kesenian barat malah menyebabkan pelaku seni malas memasukan amanat pertunjukan.

Penikmat seni kerap kecewa dengan sajian kesenian ngawur. Niat belajar kesenian dari pengalaman menonton pertunjukan malah diberikan referensi pertunjukan yang asal-asalan. Estetika bukan hanya tentang nilai keindahan dari satu pihak (pelaku teater), melainkan harus bisa memberikan kesan yang sama secara komunal.***