CATEGORIES

Showing posts with label kolom. Show all posts

Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju da...

dunia filsafat

Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju dalam berpikir atau bertindak dikonotasikan sebagai aliran gerakan yang amat besar untuk menuntut perubahan. Kemudian disematkan pada ajaran agama yang diafiliasikan dalam bentuk politik identitas untuk menyunat kantong suara di pemilu.

Dalam beberapa hal terkait nilai keagamaan, radikalisme kerap disematkan pada kelompok Islam puritan yang kemudian diarahkan dalam gerakan “kriminalitas” dan terorisme. Istilah wahabisme, hizbut tahrir, hingga salafi dijadikan dalih menyerang ideologi yang berseberangan. Nahdlatul Ulama tampak organisasi yang paling getol menarasikan ketidaksetujuannya dengan ajaran Islam konservatif yang tumbuh subur di media sosial.

Tak ayal, banyak santri dan ustaz dari kalangan nahdliyin “perang medsos” untuk memberikan argumentasi kontra-narasi ulama-ulama wahabi. Menyuguhkan dalil dan logika berpikir tentang konsep agama yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun dogma dan fanatisme mengenai keyakinan menyebabkan perbedaan terhadap penafsiran agama selalu dijadikan materi perdebatan.

Dengan bumbu politis, agama terlihat sebagai alat melegalkan kebencian dan kekerasan. Memanfaatkan tren islamisme modern untuk menggiring opini publik membenci individu atau kelompok lain. Kerentanan pemahaman agama secara komprehensif mengabaikan bahaya kebencian agama seperti perang saudara di Timur Tengah.

Bahkan saking meloyanya, pemerintah menyusun strategi khusus (dalam bentuk kebijakan) untuk menangani penyebaran paham radikalisme. Lembaga BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), hingga Densus 88 bergerak aktif melawan radikalisme agama. Pemerintah juga berafiliasi dengan lembaga negara, kepolisian, dan akademik untuk menahan laju persebaran ajaran radikalisme.

Bulan Juli 2022, BNPT menyebut ada 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia. Kemudian media memberikan framing tentang bahaya radikalisme dalam tatanan sosial, agama, dan kedaulatan. Mengidentifikasi ideologi agama tertentu terhadap gerakan radikalisme tentu dinilai tidak adil. Apalagi Indonesia kerap menggaungkan sistem demokrasi dan pancasila yang menghendaki adanya hak kebebasan beragama.

 

Baca Juga : Fahruddin Faiz, Menghilangkan Skeptisisme Filsafat

Kontemplasi

Kesalahan melihat perilaku kriminalitas atas nama agama hingga bom bunuh diri tidak bisa dilimpahkan pada keputusan seseorang meyakini prinsip beragama yang disediakan di lingkungan atau media digital. Semua punya hak untuk fanatik pada ulama dan ajaran yang dianggapnya baik. Dalam orientasi “perebutan umat”, seharusnya masing-masing ideologi atau aliran agama menyajikan platform atau konten yang menarik sebagai wadah mengajarkan ilmu, bukan dengan menghakimi kajian kelompok lain.

Kita perlu berkaca pada pernyataan Prof. Koentjaraningrat bahwa mental manusia Indonesia itu tidak suka berpikir logis, tidak suka berusaha gigih dan tekun, suka menerabas dan meremehkan mutu, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan suka mengabaikan tanggungjawab. Begitu juga dengan kritikan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia pada umumnya bermental munafik, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, boros, malas, suka mengeluh, mudah dengki, arogan, dan tukang tiru.

Itulah yang menjadi dasar Jokowi aktif menyuarakan revolusi mental. Bahwa karakter dan sifat manusia Indonesia -termasuk kita sendiri- jauh dari kata tercerahkan. Dari nilai budaya, perlu diakui bahwa kita adalah bangsa yang suka meniru gaya hidup negara lain. Sementara dalam ranah agama, ideologi transnasional mudah tersebar melalui media daring. Keterbelakangan mental bangsa diperparah dengan miskinnya nilai spiritualitas yang berdampak pada sikap anti kebijaksanaan.

Perlu banyak perubahan dari lembaga pendidikan untuk membiasakan masyarakat berpikir logis dan sistematis. Sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh dogma agama yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Kepatuhan berpikir dimuali dari penyediaan pelajaran filsafat untuk mengajari berpikir runtut. Masyarakat harus dibiasakan belajar filsafat untuk menghilangkan stigma negatif tentang pertentangan ajaran agama dan filsafat.

Agama harus bisa dipahami secara logis ketika ilmu pengetahuan tersebar di internet. Ketidakcakapan belajar agama tanpa dilandasi pikiran yang logis berimplikasi pada rendahnya kualitas keyakinan seseorang. Agama dianggap sebagai objek suci yang dilarang untuk dipertanyakan dan dikritisi. Perdebatan seputar dalil atau tafsir agama tidak akan pernah menemukan jalan keluar selain kepatuhan pada logika berpikir.

Sayangnya, kajian filsafat masih dianggap tabu bagi kalangan muslim. Bahwa belajar filsafat rentan pada pembentukan keyakinan atau idelogi liberalisme. Ketika menjelaskan masalah agama dengan dasar filsafat akan mudah dicap liberal, sementara pikiran konservatif akan dicap radikal. Demikian yang menjadi bahasan rutin dalam beragama di media sosial.

Padahal akar tumbuhnya paham radikalisme dan sifat kebencian dimulai dari kemalasan masyarakat -termasuk kita sendiri- untuk berpikir. Sementara landasan berpikir adalah filsafat. Sebuah hadis dari kitab al-Awsath, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Ciptaan Allah pertama adalah akal. Lalu, Allah memerintah kepada akal, 'Menghadaplah', akal itu pun menghadap. Lalu Allah memerintahkan, 'Renungkanlah', maka akal itu pun merenung,”***

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari sa...

Tantangan Seabad NU

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari saudara tuanya Muhammadiyah, NU punya basis masa yang cukup fanatik, khususnya di lingkup pondok pesantren. Bahkan sekarang aktif merambah dunia pendidikan formal dan kesehatan.

Peran politis NU sebagai jembatan pemerintah dan rakyat juga menjadi daya tawar pengurus mengembangkan sayap dominasi keagamaan di Indonesia. Konsep pribumisasi Islam relevan dengan budaya bangsa terkait praktek ibadah. Sementara Islam puritan yang mulai berkembang di media sosial kembali mendapat tantangan dari intelektual muda NU.

Berbagai sektor coba disasar NU untuk mempertahankan tujuan menjaga NKRI dan keberagaman. Tantangan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dijawab secara ilmiah oleh kemunculan ulama-ulama muda NU. Keanggunan NU dalam belantikan keagamaan dan kemasyarakatan Indonesia menarik minat generasi milenial di daerah urban dengan mendirikan berbagai organisasi atau komunitas yang berafilisasi dengan NU.

Bangunan konsep keaswajaan yang selaras dengan jati diri bangsa membawa seabad NU konsisten memfasilitasi kebutuhan spiritual masyarakat. Pesantren bukan lagi satu-satunya poros kekuatan NU, namun lebih berkembang ke berbagai lembaga pendidikan dan kajian ilmiah. Menawarkan kajian yang progresif dan mengikuti minat generasi milenial yang aktif bermedia sosial.

Perekrutan generasi muda dalam kepengurusan PBNU menjadi gagasan brilian menghadapi tantangan perubahan zaman. Menyiasati berbagai ancaman yang menyasar budaya masyarakat, doktrinasi melalui media digital, dan strategi “mengislamkan” Indonesia. Fitnah, penggiringan opini, dan sebaran informasi hoaks untuk menjatuhkan NU menambah kokoh organisasi sepanjang waktu.

Jelang seabad NU, pengurus punya tantangan menjadi stabilitator politik dan mewujudkan cita-cita bangsa. Menguatkan ideologi agar tidak mudah dipengaruhi iming-iming kekuasaan di pemerintah dan konsisten berada di belakang kelompok minoritas sebagai aktualiasi dari karakter tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.

 

Baca Juga : Nahdliyin yang Maiyah

Pondok Pesantren

Sebagai pilar organisasi, pondok pesantren memunculkan cendikiawan muslim yang bakal meneruskan perjuangan NU. Berdasarkan data dari Kemenag, per bulan April 2022, jumlah pesantren di Indonesia ada 26.975 unit. Meski tidak bisa diklaim seluruhnya berafiliasi dengan NU. Namun citra pesantren sebagai simbolisasi NU menegaskan tentang kekuatan organisasi dari nilai pendidikan, politik, dan sosial kemasyarakatan.

Tantangan berikutnya bagaimana NU bisa memberikan fasilitas bagi pondok pesantren agar tetap diminati masyarakat. Eksplorasi dunia digital tanpa meninggalkan pedoman dasar kepesantrenan. Menawarkan inovasi yang tidak bisa ditawarkan teknlogi dengan kecerdasan buatannya. Solusi mempertahankan pesantren dari gencaran sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan terbuka.

Diketahui bersama bahwa banyak pesantren yang menerapkan sistem kaku memperlakukan santrinya. Batasan akses informasi, sosialisasi di luar pesantren, dan aktualisasi keahlian menjadikan santri jenuh dan tidak betah. Tidak ada tawaran lain selain penguasaan ilmu keagamaan dan pembentukan karakter santri. Meski beberapa sudah berevolusi menuju pesantren modern, masih banyak pondok pesantren salaf yang mempertahankan nilai-nilai kepesantrenan generasi sebelumnya.

Tentu tidak bisa disimpulkan bahwa keterbukaan akses punya dampak positif bagi santri di pesantren. Perilaku amoral anak-anak sekarang disebabkan karena tidak adanya kontrol dari yang berkepentingan. Ketidaksiapan mental menerima kecangihan teknologi mengubah karakter anak. Pesantren seharusnya punya daya tawar mencetak generasi berkualitas yang bermoral. Apalagi Indonesia bersiap menghadapi periode generasi emas di tahun 2045.

Penataan pesantren juga harus menjadi fokus NU agar tidak menimbulkan citra buruk. Kasus asusila dan kekerasan di pondok pesantren yang dipotret media dan disebarluaskan akan mereduksi kualitas pesantren. Kekhawtiran orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren akan menurunkan sumber daya NU di masa depan.

Satu-dua kasus pesantren berdampak pada pandangan miring masyarakat yang ingin memasrahkan (santri mukim) anggota keluarganya (tanpa kontrol orang tua). Tidak adanya filterisasi pembangunan dan pengembangan pesantren di lingkungan masyarakat secara tidak langsung mencederai NU.

Semua punya hak mendirikan pondok pesantren meski bukan dari kalangan NU atau alumni santri. Konsep swadaya masyarakat yang kemudian berkembang dengan memanfaatkan internet sebagai media promosi. Labelisasi ulama atau kiai juga tidak jelas standarisasinya. Pondok pesantren berkembang, kualitasnya diperdebatkan. Belum lagi kepentingan ideologi di luar NU yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat menidentifikasi ajaran pondok pesantren.

Apa pun itu, seabad NU merupakan pijakan menuju perubahan yang lebih baik. Pondok pesantren perlu kesadaran tentang pentingnya citra dengan tetap berinovasi dari sistem pengelolaan pesantren dan cara pengajaran yang menarik bagi santri. Keberadaan pesantren dan NU masih menjadi benteng NKRI dari segala intrik perpecahan atau perang saudara, bukan hanya tentang perselisihan praktek keagamaan, namun juga faktor politik.***

  “ Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu ” Saya sering mengatakan bahwa saya adalah muslim yang jarang berdoa terkait kebu...

 

doa manusia muslim

Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu

Saya sering mengatakan bahwa saya adalah muslim yang jarang berdoa terkait kebutuhan dan keinginan dunia. Tentu akan bertolak belakang dengan firman Allah Swt dalam QS. Ghofir ayat 60 tentang kewajiban manusia untuk berdoa. Ketidakmauan berdoa menyimbolkan kesombongan yang diancam Neraka Jahanam dalam keadaan yang sehina-hinanya.

Alasan saya jarang berdoa bukan karena kesombongan, melainkan ketidakpantasan meminta kepada Tuhan sebab kesadaran akan belum patuhnya saya menjalankan perintah dan larangan-Nya. Analogi yang sering saya ceritakan adalah ketika orang tua menyuruh anaknya untuk membantu pekerjaan rumah atau memberikan larangan terkait aturan keluarga namun kerap dilanggar. Lantas sekonyong-konyong anak meminta dibelikan sesuatu.

Bagi orang tua yang kasihan kepada anaknya mungkin tetap akan dituruti keinginannya, namun dengan perasaan jengkel dan kecewa. Sementara bagi orang tua yang tegas akan menolak permintaan anak. Relasi pemberian dan permintaan ini yang menjadi landasan saya jarang berdoa terkait keinginan terhadap dunia. Saya belum benar-benar beriman dan bertakwa.

Daripada berdoa untuk diri sendiri, saya lebih senang mendoakan orang lain, khususnya orang tua dan guru ngaji. Saya meyakini doa adalah bumerang yang akan berbalik kepada diri sendiri. Doa baik akan menjadi baik, doa buruk akan menjadi buruk. Selain itu, saya lebih suka berdoa terkait pemenuhan kebutuhan akhirat seperti ampunan terhadap dosa, menjauhkan dari siksa api neraka, dan mengharap rida Allah.

Saya takut keterikatan pada dunia mengalihkan fokus beribadah kepada Tuhan. Lebih menuhankan kekayaan, popularitas, dan jabatan daripada menuhankan Tuhan itu sendiri. Kecewa ketika doa tidak dikabulkan dan lupa bersyukur ketika sudah dikabulkan. Doa hanya dijadikan sarana formalitas, sedangkan keberhasilan dianggap karena usahanya sendiri, tanpa melibatkan Tuhan.

 

Baca Juga : Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Model Berdoa

Esensi doa adalah meminta sesuatu kepada yang lebih tinggi derajatnya. Ada beberapa tipe doa yang dipraktekan manusia dengan gaya mengemis, gaya bersyair, dan gaya eksistensial. Gaya mengemis adalah metode berdoa yang selalu meminta dan selalu menuntut dikabulkan. Gaya bersyair lebih berfokus pada kondisi bersyukur terhadap apa yang sudah diberikan oleh Tuhan dengan ungkapan-ungkapan pemujian. Sementara gaya eksistensial adalah metode doa dengan menyatukan diri kepada Tuhan untuk mendapatkan rida.

Berdoa bagi saya meminta dan menuntut Tuhan atas terkabulnya keinginan. Etika pengabdian ini yang menjadi keresahan saya jarang berdoa, apalagi doa yang tidak diimbangi dengan rayuan (pujian). Secara tingkatan, sepantasnya Tuhan memerintah manusia, bukan sebaliknya. Namun ada juga strategi berdoa dengan munajat atau curhat dengan menginginkan sesuatu secara tersirat.

Tuhan adalah penguasa, bukan pembantu yang senak-enaknya diperintah mengabulkan permintaan kita. Tuhan punya segalanya dan mengetahui apa pun yang menjadi kebutuhan setiap manusia. Menuntut Tuhan dengan dalih kewajiban berdoa tidak menunjukan sikap etis seorang hamba. Apalagi berdoa terhadap sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungan untuk semakin mendekatkan kepada Tuhan.

 

Baca Juga : Fase Manusia Beragama

Doa Nabi

Doa adalah teka-teki Tuhan untuk manusia. Doa populer Nabi Adam misalnya, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” Menisbatkan doa pada sikap penyesalan tanpa tendensi mengharap sesuatu dari kebutuhan dunia.

Ada juga doa Nabi Yunus ketika ditelan Ikan Paus, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim,” Nabi Yunuh tidak secara tersirat meminta kepada Tuhan untuk dikeluarkan dari perut ikan, namun lebih kepada kesadaran diri akan kezalimannya.

Puncaknya adalah munajat Nabi Muhammad ketika tiba di Kota Thaif untuk menyebarkan agama Islam, “Ya Allah. Kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku? Atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.”

Banyak lagi doa para nabi yang tidak secara tersurat berdoa untuk kebutuhan dunia seperti pekerjaan mapan, jodoh yang rupawan, kekayaan harta, meraih jabatan, hingga populer di lingkungan. Nabi mencontohkan doa tentang kesadaran diri yang zalim dan mengharap ampunan Tuhan. Kemudian Tuhan memberikan berbagai macam kebahagiaan dan kemudahan terhadap urusan dunia.

Tuntutan atas nama doa kepada Tuhan membalikan posisi pemberi dan peminta. Takutnya, niat berdoa malah berdosa sebab tidak tercapainya segala keinginan yang dituntutkan kepada Tuhan. Sementara kita masih jauh dari istikamah ibadah dan hobi bermaksiat. Pantaskah kita berdoa?***

  Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui seba...

 

Eksploitasi Kesedihan

Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui sebagai remaja asal Gorontalo yang patah hati ditinggal pacarnya. Meski terkesan receh, konten kesedihan tersebut banyak diminati masyarakat Indonesia yang suka tertawa di atas kesedihan orang lain.

Selain Fajar Sadboy, musibah yang dialami artis Indra Bekti juga menjadi fenomena kesedihan yang mencoba dieksploitasi media. Upaya istrinya, Aldila Jelita yang menjual kesedihan dengan meminta sumbangan untuk pengobatan suaminya mendapat nyinyiran warganet. Setidaknya ada dua kasus kesedihan yang diperlakukan dengan sikap berbeda, meski keduanya minim mendapat empati masyarakat.

Kesedihan adalah aktivitas privasi yang seringkali dipublikasikan. Bahkan beberapa di antaranya butuh atensi untuk memerkan kesedihannya kepada orang lain. Dari kesedihan akan muncul penderitaan yang lahir dari pikiran, meski sifatnya sementara. Kita sulit menjadi pengamat yang netral melihat kesedihan orang lain karena ketidakmauan belajar dari penderitaan.

Kita harus membiasakan diri menerima kesedihan sebagai bagian dari hidup agar mudah berempati terhadap kesedihan orang lain. Bukan dengan cara mengolok-olok atau mengeksploitasi kesedihan seseorang dengan menjadikannya bahan konten. Kesedihan (duka) muncul akibat pikiran belum siap menerima perubahan besar yang tidak sesuai dengan ekspektasi (harapan).

Kesedihan bisa menimbulkan rasa kecewa, marah, dan perasaan tidak berdaya. Mereka yang tidak siap dengan kehadiran kesedihan akan mudah menyesal dan berdampak pada tindakan menyalahkan diri sendiri. Kesedihan seharusnya membutuhkan motivasi dari orang lain, bukan malah mempermalukannya di depan publik.

Semua orang memimpikan kebahagian sesuai pandangan (Rousseau, 1979) bahwa manusia punya modal berbahagia seperti halnya anak kecil sebelum diprogram oleh keluarga dan lingkungan sosialnya. Anak kecil menjalani hidup apa adanya, tanpa ada harapan dan ketakutan yang berlebihan pada hidup.

Manusia dikepung krisis penderitaan, kekecewaan, harapan, dan rasa bersalah. Muaranya adalah tindakan pelampiasan yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Kita jarang belajar memaafkan dan mengikhlaskan. Sementara budaya membentuk sikap individualistik yang berbahagia melihat kesedihan orang lain.


Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Trauma Sosial

Perilaku mengontenkan kesedihan orang lain cukup menarik dari sisi hiburan dan komersial. Banyak buku, film, dan lagu menjadi populer dengan tema kesedihan. Hal tersebut karena masyarakat banyak yang relate dengan emosi kesedihan. Seolah rasa sedih mendominasi perjalanan hidup manusia daripada rasa bahagia.

Kondisi mental yang akrab dengan kesedihan mendorong sikap traumatis. Ketika kesedihan dikonsumsi publik, perasaan tersebut akan menjadi duka kolektif karena belum rampungnya kesedihan diri sendiri. Kesedihan yang menghasilkan trauma menjadi distorsi yang membekukan sebuah peristiwa negatif.

Trauma adalah bekas luka dari suatu peristiwa negatif di masa lalu. Manusia tidak cukup untuk berempati dan bersimpati dalam situasi kesedihan. Terlihat hanya naluri hewani manusia melihat sesamanya menderita. Semakin parah korban mengalami luka, semakin bergairah kita mengamatinya. Secara psikologis, trauma adalah proses penghayatan subjektif-negatif atas suatu peristiwa yang objektif.

Semua bentuk trauma personal akibat kesedihan dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dari trauma akan terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan. Secara sosial, kesedihan tidak lagi dipandang sebagai trauma kolektif yang membutuhkan empati dan simpati dari yang lain. Namun secara tidak disadari, manusia dihantui kesedihan kolektif yang kerap bersembunyi di balik ekspresi kebahagiaan.

Mengolok-olok kesedihan orang lain merupakan sikap ketidakmampuan manusia mengendalikan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam dirinya. Dalam alam bawah sadarnya, kesedihan orang lain adalah teman yang sama-sama menjalani trauma. Bekas kesedihan masa lalu akan membawa manusia pada dimensi suka mencelakakan orang lain dan bahagia melihat kesedihan yang dialami.

Dampak trauma sosial akan membawa manusia pada bentuk prasangka negatif terhadap etins, agama, dan kelompok minoritas. Kemudian faktor politik, ekonomi, dan benturan budaya melahirkan konflik dan sikap amoral di masyarakat.

Entitas sosial tidak berupaya menyembuhkan kesedihan orang lain, namun justru mengeksploitasinya. Trauma seharusnya dihilangkan (dilupakan), tetapi sebagian orang justru memaksa korban mengingat kembali masalah yang pernah dialaminya. Mengoontenkan dan mengomersilkan untung keuntungan pribadi. Anehnya, aktivitas tersebut justru dijadikan hiburan publik.

Perundungan sosial atas kesedihan orang lain menjadi potret kemanusiaan saat ini. Meski dianggap remeh, setiap orang punya tingkat kesedihan masing-masing terhadap realita yang dialaminya. Kadang membekas dan menjadi trauma. Namun kebanyakan, masyarakat tidak mempedulikan perasaan korban selain menjadi bahan komedi di ruang publik.***

Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas ju...

Edukasi Selebritas

Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas juga bagian dari masyarakat yang berpotensi melakukan kesalahan dalam perkataan maupun tindakan. Meski fanatisme kadang mereduksi nalar kritis terhadap pesohor yang diidolai.

Kebebasan berekspresi menjadi dalih selebritas melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai budaya dan keagamaan. Masyarakat disajikan tontonan yang tidak layak konsumsi. Sementara selebritas sekonyong-konyong memberikan pernyataan kepada masyarakat untuk cerdas memilih konten yang sesuai kebutuhannya. Tidak ada paksaan untuk menonton kontennya.

Kita tidak bisa berharap lebih tentang konten yang mengedukasi kepada selebritas ketika orientasinya adalah popularitas dan pendapatan. Aturan hukum juga tidak jelas dan tegas memberikan arahan pada konten yang ditampilkan di platform digital yang saat ini menjadi kebutuhan primer masyarakat. Dampaknya, banyak masyarakat hingga anak-anak mengikuti pola perilaku selebritas yang ditontonnya.

Pengaruh selebritas terhadap perubahan budaya perlu dianalisis untuk menentukan kebijakan penyiaran. Tokoh publik harus punya tanggung jawab moral, selain kebutuhan komersial. Apalagi fungsi pendidikan formal banyak digantikan dengan pendidikan digital. Anak-anak yang dibiasakan menonton konten selebritas punya naluri meniru perkataan dan perilaku yang kadang tidak sesuai etika (nilai dan norma) di masing-masing daerah.

Dunia digital yang menampilkan pesohor tanah air sudah menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat. Realitanya, pola pikir dan perilaku di masyarakat sudah tidak sejalan dengan perkembangan teknologi digital. Goncangan budaya membawa masyarakat pada titik krisis identitas. Masyarakat tidak lagi berpikir rasional, kritis, sistematis, dan reflektif di berbagai bidang kehidupan.

Media sosial menjadi medium menampilkan citra sebagai perwujudan abstraksi realita. Membangun persepsi atas bayangan realita. Kanalisasi pemikiran dalam program media sosial diarahkan membentuk pola perilaku tertentu. Dalam negara hukum demokratis, selebritas harus diedukasi dan dilatih secara moral. Tidak menyajikan tontonan yang membodohkan dan mengarah pada perilaku menyimpang.


Baca Juga : Seberapa Penting Pendidikan Bagi Wanita?

Etika Selebritas

Industri digital menjadi tawaran menarik secara ekonomi. Jutaan orang berlomba membuat konten untuk meraih popularitas (viral) dan keuntungan. Banyak selebritas dadakan keluar dari pekerjaan konvensional dan memilih menekuni dunia digital. Memanfaatkan paltform digital seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga Facebook.

Beberapa di antaranya rela melakukan aktivitas ekstrem seperti menyiksa orang tua (mandi tengah malam), membuat konten pornografi, hingga aksi Ria Ricis mengajak anaknya (balita) bermain jetski. Dalam program pendidikan parenting, kegiatan Ria Ricis jelas tidak layak dicontoh sebab berpotensi pada risiko kecelakakan pada anak. Namun kurangnya sikap kritis masyarakat, malah banyak yang mendukung aksi YouTuber tersebut.

Banyak lagi perilaku selebritas yang dijadikan konten tidak berorientasi pada pendidikan selain sikap kebodohan yang bakal ditiru banyak masyarakat, khususnya fansnya. Meski ketenaran kadang tidak diperoleh dengan niat dan usaha, menjadi selebritas harus siap risiko pada tanggung jawab moral. Maju dan hancurnya generasi mendatang bergantung pada sajian tontonan dari selebritas.

Bukannya menyesal, banyak selebritas yang semakin ngawur membuat konten dengan dalih kebebasan berekspresi. Prihatinnya, banyak generasi milenial yang malah antusias menyaksikan tontonan yang jauh dari moralitas bangsa. Semakin banyak kemunculan platform digital yang menjamin popularitas dan pendapatan, semakin bodoh dan berani masyarakat membuat konten agar viral.

Selebritas harus menyadari posisinya sebagai tokoh yang punya banyak pengaruh. Ketika menuntut diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya, mereka harus bersedia meninggalkan gemerlap dunia digital. Selebritas harus menyadari dirinya sebagai produsen konten, bukan konsumen. Produsen berarti harus punya standar produk yang layak untuk dikonsumsi masyarakat.

Selebritas punya kebebasan menjual kesedihan, kekayaan, keteraniayaan, dan kebodohan di internet. Tidak semua orang punya kapabilitas menyaring informasi dan kritis terhadap konten digital. Penggunaan media sosial oleh kaum muda telah menjadi cara hidup dan aktivitas pribadi yang dibuat untuk publik (Edge, 2017).

Media sosial menambah volume dan frekuensi konten pada ranah yang jauh lebih personal. Kesadaran media sosial merupakan praktik perusakan diri didorong oleh perasaan ingin mencari sensasi atau perhatian dari publik. Setelah mencapai kepopuleran, mereka melakukan segala konsekuensi yang membahayakan diri dan orang lain (penonton konten).

Mengumbar ranah privasi yang tidak dibekali dengan edukasi dan etika sosial membahayakan perilaku masyarakat. Apalagi akses dunia internet banyak yang lepas dari pengawasan dan bimbingan orang tua. Selebritas tidak peduli dampak konten yang disajikan selain popularitas dan keuntungan. Sementara bangsa Indonesia menjadi korban kegagalan mengedukasi selebritas dalam membuat konten.***

Berkeluarga mempunyai beberapa fungsi seperti (1) fungsi biologis, yakni gagasan meneruskan kelangsungan hidup (keturunan) dan merawat kelua...

Pendidikan Bagi Wanita

Berkeluarga mempunyai beberapa fungsi seperti (1) fungsi biologis, yakni gagasan meneruskan kelangsungan hidup (keturunan) dan merawat keluarga dengan makanan/ minuman yang layak. (2) fungsi psikologis untuk memberikan kasih sayang dan rasa aman. (3) fungsi ekonomi dengan mencari sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup (nafkah). (4) fungsi pendidikan dengan menyekolahkan anak sebagai usaha memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai tingkat perkembangannya.

Di Indonesia, masih banyak yang menganggap tabu budaya pendidikan bagi anak wanita. Perspektif bahwa berkeluarga menyandarkan kebutuhan kepada pihak lelaki sebagai pencari nafkah. Sementara wanita hanya dijadikan objek eksploitasi pelayan keluarga. Pendidikan masih dianggap sebagai jalan meraih pekerjaan yang mapan, tanpa mempertimbangkan faktor pembentukan karakter, sikap kebijaksanaan, dan kecerdasan menyelesaikan masalah.

Kesenjangan gender yang menempatkan lelaki di posisi unggul mendapatkan pendidikan juga dipengaruhi faktor agama dan lingkungan. Wanita punya ketakutan menikah di usia matang karena dianggap tidak laku atau batasan menopause dan banyak yang memilih menikah di usia dini. Memaksa berhenti melanjutkan pendidikan dan memasrahkan nasib hidupnya kepada suami.

 

Baca Juga : Sistem Pendidikan Robot

Pendidikan Universal

Di tengah krisis pendidikan dalam negeri, perubahan peradaban melesatkan teknologi informasi yang memfasilitasi wanita memperoleh pendidikan nonformal. Meski tidak menawarkan gelar, elastisitas informasi di internet menyajikan berbagai pengetahuan untuk mendongkrak kualitas pendidikan wanita ketika berkeluarga. Melampaui sekat-sekat ruang kelas dan sekolah.

Hambatan selanjutnya adalah rendahnya minat literasi (belajar) secara daring. Dalam pendidikan formal, pelajar dididik dalam lingkungan yang fokus dan intens belajar. Ada nilai pembentukan karakter kedisiplinan, tanggung jawab, dan kompetitif. Tanpa pendidikan formal, wanita kehilangan suasana bersosialisasi. Mendiskusikan peran dan menyelesaikan masalah.

Manfaatnya, wanita yang memutuskan untuk tidak menyeriusi pendidikan formal akan terhindar dari sikap kritis, aktivitas hafalan buta, kepatuhan mutlak, dan hilangnya sikap kepemimpinan. Harus diakui, pendidikan Indonesia masih menerapkan sistem kuno yang mendidik pelajar menjadi objek pesuruh. Mencitakan menjadi pembantu alias bekerja ke perusahaan atau orang lain. Tidak diajarkan jiwa optimisme menjadi wirausaha atau pebisnis muda.

Keterbukaan informasi berisiko pada kurangnya filterisasi materi yang berpotensi hoaks. Tanpa bekal pendidikan yang diajarkan oleh guru atau dosen, wanita akan kesulitan memahami fenomena hanya dengan membaca informasi di internet. Apalagi tidak didukung dengan peran suami yang punya kewajiban mendidik istri dan anaknya.

Pendidikan yang diniatkan sebagai jembatan mendapatkan pekerjaan. Wanita akan berpikir panjang tentang konsep berkeluarga jika suaminya bekerja tidak pada satu tempat (kota). Kemudian banyak wanita yang mengalah ikut suami dan mengubur semua gelar pendidikan yang pernah diraihnya.

Urusan wanita hanya seputar sumur, kasur, dan dapur. Membersihkan rumah, memenuhi kebutuhan seksualitas, dan mencukupi kebutuhan makan/minum. Sementara istri/ibu merupakan pengajar dalam pendidikan awal anak dalam lembaga keluarga. Tanpa bekal pendidikan yang memadai, potensi keengganan belajar akan menular pada anak.

 

Baca Juga : Inovasi Guru Daring

Kurikulum Merdeka Belajar

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan program Kurikulum Merdeka Belajar untuk memaksimalkan peserta didik agar memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan memperkuat kompetensinya. Kurikulum Merdeka merupakan opsi tambahan dalam rangka pemulihan pembelajaran selama 2022-2024.

Diharapkan kurikulum ini membuat materi menjadi lebih sederhana, mendalam dan fokus pada materi yang esensial. Guru juga memiliki keleluasaan untuk mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik. Pelajaran akan lebih relevan dan interaktif dalam mengeksplorasi isu-isu aktual.

Revolusi pendidikan Indonesia belum mampu menjawab urgensi kebutuhan pendidikan wantia menjelang dewasa. Pendidikan nasional belum mampu menawarkan manfaat pendidikan bagi wanita, selain menghabiskan uang dan waktu. Bahkan di banyak desa, pendidikan tinggi bagi wanita masih tabu dan malah menjadi bahan olokan lingkungan sekitar. Jangka waktu pendidikan yang panjang menjadi alasan utama banyak wanita yang memilih tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

Padahal implementari Kurikulum Merdeka Belajar seharusnya menjadi acuan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia. Melanjutkan cita-cita menjadi bangsa yang maju, sejahtara, dan punya kompetensi. Gebrakan menteri pendidikan hanya akan dilihat dalam jangka waktu pendidikan. Setelah lepas dari pendidikan formal, tidak ada lagi tanggung jawab lembaga pendidikan memperhatikan karir wanita.

Harapannya Kurikulum Merdeka Belajar bukan menjadi proses dehumanisasi yang menghilangkan sisi kemanusiaan dengan mengutamakan ego masing-masing. Jika masih menjadi wadah mengunggulkan diri, wanita akan tetap menjadi objek eksploitasi lelaki ketika berumah tangga.***

Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, m...

Nahdliyin yang Maiyah

Beberapa hari saya sedih melihat viralnya Mbah Nun di media sosial. Bukan karena keikhlasannya hampir setiap hari berkunjung ke desa-desa, melainkan karena isu politik sejak kehadiran Prabowo di Ponpes Segoro Agung Mojokerto hingga potongan video Jokowi Fir'aun.

Padahal beberapa bulan lalu saya sempat mbrebes mili saat mendengar Mbah Nun bilang bahwa suatu saat ia pasti akan mati dan meminta anak-anak maiyah melanjutkan perjuangannya. Entah kenapa saat itu belum siap -dan mungkin tidak akan pernah siap- ditinggal beliau.

Di usianya yang sudah senja, ia banyak mengajarkan filosofi dan konsep hidup yang selaras dengan alam dan sosial. Slogan yang kerap dikampanyekan nahdliyin tentang memanusiakan manusia juga saya dapat dari Mbah Nun. Meski berulang kali beliau bilang untuk jangan mengikutinya sebab ada kemungkinan salah dari apa yang diucapkan, dilakukan, dan diajarkan.

Saya mengikuti Mbah Nun sejak awal kuliah sekira tahun 2010. Membaca kisah hidup beliau dan mulai mengumpulkan buku-buku karyanya. Semakin cinta ketika banyak ajaran kenahdliyian yang ditawarkan meski beliau lebih suka menyebutnya MuhammadiNU.

Kedekatan dengan idola saya berikutnya seperti Cak Nur, Gus Dur, dan Gus Mus semakin membuat saya semakin kagum dengan beliau. Hampir setiap kajiannya saya ikuti meski kebanyakan via YouTube. Seperti halnya Gus Dur, saya sering terkecoh menilai setiap ucapannya yang kadang bertentangan dengan keyakinan saya.

Dulu Gus Dur banyak dihina dan dimaki akibat perkataan dan kebijakannya kala menjabat sebagai presiden. Waton ngomong. Setelah meninggal, banyak yang terkejut kalau omongannya banyak yang terjadi seperti kasus korupsi, perilaku DPR, langkah diplomasi, dan lain sebagainya.

Dalam tradisi pesantren, kiai yang levelnya sudah makrifat itu punya ilmu weruh sakdurunge winarah. Namun tentu Mbah Nun akan tegas menolak puja-puji yang saya lontarkan. Beliau ingin dianggap manusia biasa yang kadang salah, kadang benar. Meskipun jamaah maiyah mungkin banyak yang setuju dengan pendapat saya.

Kurangcakapnya pengetahuan saya mengenai dunia politik dan kegaiban menyandarkan pemahaman saya kepada orang yang saya anggap lebih paham dan mengetahui. Tentu bukan kapasitas saya mengetahui maksud dibalik pernyataan Mbah Nun yang berdampak pada kemarahan mayoritas nahdliyin tulen di luaran sana.


Baca Juga : Skeptisisme Pondok Pesantren


Tokoh-tokoh NU berbondong memberikan pernyataan yang menyudutkan Mbah Nun yang kemudian dibarengi dengan ribuan caci maki di kolom komentar. Sebagian besar merasa menyesal pernah mengidolai Mbah Nun hanya karena potongan video (dalam beberapa kata).

Patut dimaklumi, selain memanasnya situasi politik, pihak pemerintah sekarang seolah menjadi representasi NU. Wakil presiden dan jajaran kabinet banyak dihuni tokoh NU yang membuat ribuan, bahkan jutaan warga NU ngamuk ke Mbah Nun. Seolah melupakan pengaruh dan perjuangan Mbah Nun mengayomi nahdliyin di kampung-kampung yang kerap mengundang beliau.

Itulah kenapa sejak dulu saya tidak pernah setuju NU dibawa ke ranah politik. Selain efek buruk fanatisme, NU kerap mengabaikan nilai dakwah yang mungkin saat ini masih diampu kiai-kiai kampung tanpa butuh eksistensi, popularitas, apalagi jabatan di pemerintahan. Mereka yang malah berjasa membesarkan NU dari akar rumput, seperti halnya yang dilakukan Mbah Nun saat melakukan kunjungan ke kampung-kampung.

Sementara tokoh NU milenial yang hanya sibuk menghibahkan diri di media sosial enteng saja mengatai Mbah Nun dengan sumpah serapah. Mengajak pengikutnya untuk andil membenci beliau dengan memviralkan kembali potongan narasi di media sosial.

Analogi goblok saya mungkin akan membantah klaim mereka ketika dulu yang jadi presiden Prabowo kemudian dikatai Mbah Nun sebagai Firaun. Respon tokoh-tokoh NU tentu akan mendukung dan memberikan puja-puji. Sekali lagi, faktor fanatisme dan kedekatan mengubah nalar keilmuan seseorang.

Tahun 2018 saya menggagas komunitas Seniman NU dengan mencuplik kutipan Mbah Nun, “Kebenaran adalah bekal yang kamu ekspresikan menjadi kebaikan untuk mencapai keindahan.” Tujuannya untuk membuka wawasan berpikir dan melonggarkan kebijaksanaan dari spektrum pengetahuan yang sempit. Menyadari banyak hal yang tidak kita ketahui, termasuk saat menjadi nahdliyin.

Saya adalah salah satu dari ratusan atau bahkan ribuan nahdliyin yang juga maiyahan. Dari Mbah Nun saya belajar menulis buku dan opini yang kebetulan dimuat ratusan media massa. Mengampanyekan toleransi beragama yang sebagian besar terinspirasi dari Mbah Nun. Namun usaha saya menyebarkan ajaran nahdliyin kalah telak dengan tokoh NU yang kadung taklid dengan pemerintah tanpa punya peran menyebarkan ajaran-ajaran ke-NU-an.

Membenturkan NU dan Maiyah akan disambut sorak sorai muslim puritan yang anti tahlilan, selawatan dengan gamelan, dan dakwah guyonan. Gegara politik praktis, saya menjadi khawatir usaha NU merangkul semua golongan terpecah belah dengan gegabahnya tokoh-tokoh NU mengangkat isu yang menambah keruh suasana jelang pemilu 2024.

Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan p...

Hilangnya Budaya Islam Nusantara

Revolusi industri media menciptakan budaya baru, termasuk budaya Islam di Nusantara. Sebagai bagian dari generasi milenial, saya merasakan praktek belajar agama di langgar atau musala sepanjang sore hingga malam hari. Tanpa televisi dan gawai, pergi ke musala untuk nderes (tadarus) atau ngaji menjadi kebiasaan.

Banyak anak remaja yang berkompetisi untuk jumlah hafalan surat dengan makhraj dan tajwid yang benar. Saling berebut mikrofon untuk azan dan ikamah. Komparasi budaya beragama cukup jelas saat melihat perilaku anak-anak sekarang yang dimanjakan tontonan televisi dan gawai di waktu prime time.

Berbagai acara favorit televisi sengaja ditempatkan di waktu anak-anak dulu ngaji di musala. Appraisal dan valuasi penonton juga mendorong pengiklan menyuplai anggaran di waktu prime time. Pergeseran budaya rupanya tidak menggelisahkan sebagian atau mungkin banyak orang melihat keturunannya tidak lagi mahir beragama. Minimal bisa baca-tulis Alquran.

Terlalu jauh menyimpulkan adanya konspirasi mereduksi kualitas kemusliman seseorang akibat dominasi industri media. Sementara memaklumi situasi akan membenarkan klaim bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam hanya karena faktor keturunan (Islam KTP).

Pendidikan keagamaan juga mulai kurang diminati ketika realitas di masyarakat tidak memberikan kesejahteraan hidup di dunia ketika bergelut di bidang keagamaan. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya di kejuruan dan negeri yang dianggap lebih menjamin pekerjaan. Sedangkan waktu di luar jam sekolah malah disibukan dengan bermain gadget.

Hilangnya budaya belajar agama di Indonesia menciptakan pola pikir pragmatis. Mempelajari agama secara instan dan tekstualis yang berdampak pada konflik sosial. Perbedaan pandangan tentang nilai dan sikap saling merendahkan satu sama lain. Perdebatan sesama muslim menjadi konsumsi wajib di media sosial. Agama tidak lagi mengajarkan kebaikan selain egois mempertahankan ideologi.

Kemalasan ngaji namun rajin berdebat perihal hukum syariat menjadi hal yang kontradiktif. Industri media mendorong pertentangan agama yang dulu merupakan praktek persaudaraan dan kebersamaan. Efek dari ketiadaan budaya ngaji sore hingga malam yang digantikan dengan kebiasaan bermedia sosial adalah sikap fanatisme.

 

Baca Juga : Pesulap Merah dan Benturan Budaya

Ideologi Transnasional

Citra Islam Nusantara dipandang sinis muslim kontemporer yang mengampanyekan ideologi puritanisme. Budaya muslim bangsa bergeser menuju gaya hidup Timur Tengah. Cara bersosialisasi, berpakaian, hingga bersikap terhadap sebuah masalah keagamaan. Tidak lagi mementingkan nilai nasab dan sanad beragama, apalagi nilai kebangsaan.

Tawaran ideologi transnasional semakin masif tersebar di media. Banyak yang lebih tertarik ngaji daring daripada bermukim di pondok pesantren atau meluangkan waktu untuk ngaji di langgar dan musola. Padahal dengan interaksi langsung saat ngaji dapat mencegah sikap manipulatif ulama serta mengkritisi materi dakwah yang diajarkan.

Interaksi satu arah yang ditawarkan kajian daring memungkinkan setiap orang tanpa kapabilitas keagamaan bisa mengubah diri menjadi pendakwah. Memanfaatkan kecanggihan algoritma media sosial yang dirancang untuk meningkatkan popularitas seseorang. Ketergantungan terhadap media sosial juga menjadi peluang gesernya budaya bangsa dalam beragama.

Ideologi transnasional menawarkan kajian instan tanpa mengembangkan pembahasan dari sisi konteks dan esensi. Kompleksitas beragama seiring kemajuan zaman memaksa muslim menghadapi banyak masalah seputar akidah dan amaliah. Mengutamakan logika untuk menemukan jawaban dengan menghendaki kesamaan persepsi.

Kekhawatiran penjajahan ideologi mengikis budaya beragama di Nusantara. Tidak lagi berminat pada kajian yang betele-tele, seperti belajar Iqra’ atau kitab-kitab klasik. Selain dianggap tidak relevan dengan perkembangan zaman, khasanah keilmuan agama di Nusantara juga dianggap kuno. Anak-anak memilih belajar agama di rumah via media sosial daripada menghabiskan waktu pergi ke langgar atau musala.

Permasalahan berikutnya ada pada sisi pengajar yang memilih bekerja di perusahaan swasta daripada menghibahkan diri sebagai kiai (ulama) kampung. Kondisi tersebut disebabkan karena manusia saat ini lebih berpikir realistis tentang pemenuhan kebutuhan hidup yang tidak dapat dipenuhi ketika menjadi pengajar di langgar.

Cara beragama dengan budaya Nusantara akan dirindukan bagi sebagai besar orang yang terlibat pada masa itu. Memiliki ketekunan belajar agama yang dijadikan hiburan bersama teman-teman. Sementara industri media mencetak generasi individualistik yang tidak lagi mementikan aspek spiritual dan sosial. Penjajahan budaya yang dibalut dengan agama menjelma menjadi konflik sosial yang dikomersilkan oleh media.***

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia d...

Potensi Pariwisata Islam

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) merancang pariwisata halal sebagai program prioritas untuk menjadikan Indonesia destinasi wisata halal kelas dunia. Data Global Muslim Travel Index (2019) menunjukkan wisatawan Muslim hingga tahun 2030 diproyeksikan akan menembus 230 juta di dunia.

Untuk mengimplementasikan program tersebut, pemerintah menyusun strategi seperti fasilitas dan pelayanan yang memadai, konektivitas destinasi wisata halal, mengembangkan promosi dan marketing komunikasi, mengembangkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, dan meningkatkan kompetensi industri yang ramah wisatawan.

Potensi pariwisata halal cukup menjanjikan bagi Indonesia sebagai basis negara muslim terbesar di dunia. Gairah praktek beragama juga berkembang pesat melalui simbol dan pemanfaatan media sosial. Berbagai kajian keislaman menjadi objek menciptakan identitas yang beberapa di antaranya di bungkus nuansa politis.

Mengingat sebaran destinasi wisata di Indonesia, tentu mudah mengaplikasikan program wisata halal. Tantangannya, capaian wisata nonmuslim yang punya proyeksi ekonomi saat ini. Simbol Islam masih punya paradigma negatif terkait perilaku terorisme, perang saudara di Timur Tengah, dan intoleransi. Indonesia punya tugas membersihkan nama Islam yang banyak dicederai oleh umatnya sendiri.

 

Baca Juga : Habituasi Dogma Kebudayaan

Islam dan Halal

Penggunaan diksi halal yang punya asumsi produk makanan/ minuman kurang relevan digunakan sebagai istilah pelengkap pariwisata. Meski Majelis Ulama Indonesia mulai mengabaikan esensi kehalalan produk menjadi simbol Islam dalam berbagai bentuk barang atau benda. Sebab wisata tidak hanya berfokus pada penyajian makanan dan minuman halal, melainkan pada nilai yang diterapkan.

Pariwisata Islam tampaknya lebih lugas mencitrakan nilai-nilai keagamaan melalui sarana pariwisata. Meskipun berbicara nilai Islam banyak yang sejalan dengan budaya di Indonesia. Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang menyangkut kebersihan, keramahan, kedisiplinan, dan gotong royong. Maksudnya, tanpa identitas Islam pun, manusia bisa mengamalkan nilai-nilai Islam sebagai hakekat budaya dan kemanusiaan.

Pemerintah harus bisa mengembangkan esensi daripada hanya berkutat pada eksistensi Islam. Penggunaan simbol dan istilah-istilah Islam kurang begitu punya pengaruh menciptakan nuansa islami jika perilaku wisatawan dan pelaku di dalamnya jauh dari cerminan nilai-nilai Islam. Fokus nilai Islam tidak tercermin dari penamaan wisata halal dan lebih layak menggunakan nama Pariwisata Islam.

Wisatawan tidak dibatasi oleh muslim, semua pemeluk agama bisa berkunjung ke Indonesia dan melihat praktek nilai-nilai Islam yang indah dan menarik. Misalnya tingkat kebersihan dilihat dari penyediaan fasilitas MCK, tidak adanya sampah, perawatan lingkungan hidup, dan kerapian penataan lokasi wisata. Dalam sisi keramahan bisa diwujudkan dengan intensitas interaksi dengan wajah murah senyum seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad.

Halal hanya identik dengan Islam namun tidak mewakili nilai secara keseluruhan. Namun butuh kesiapan yang matang menyiapkan pelaku industri pariwisata dalam mengamalkan nilai Islam. Memberikan teladan kepada wisatawan bahwa Islam adalah agama yang damai, menyenangkan, dan selalu memanusiakan manusia. Islam tidak boleh dimonopoli oleh salah satu paham atau ideologi yang tercermin dari sikap menerima kehadiran wisatawan nonmuslim.

 

Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Pluralistik

Perlu diakui bahwa Indonesia merupakan negara plural dengan beragam suku, budaya, dan agama. Sejarah bangsa juga diilhami oleh para pemuka agama nonmuslim dan sudah hidup rukun puluhan tahun di Indonesia. Kesadaran negara multidimensi menghendaki kebijakan pemerintah yang adil pada semua aspek agama.

Penyediaan produk (barang) halal sebagai penguatan unsur religius terlihat tidak begitu berpengaruh pada motif pembentukan wisata islami. Kita kerap dininabobokan simbol-simbol agama namun tidak pernah menganalisis esensi dan manfaat dari keberadaannya. Agama hanya dijadikan transaksi dagang secara politik dan ekonomi.

Kegigihan pemerintah merencanakan program wisata halal banyak berorientasi pada data State of the Global Islamic Economy yang di tahun 2020 mencatat total perjalanan wisatawan muslim dunia senilai 194 Miliar US Dolar. Diprediksi pada tahun 2023 mengalami peningkatan sekira 274 Miliar US Dolar. Kondisi tersebut yang mengaburkan aspek religius dan mementingkan aspek ekonomi dengan menjual nama Islam.

Konsep pariwisata Islam harus digagas tidak hanya mengenalkan keindahan alam Indonesia. Melainkan juga sebagai komitmen mengembalikan citra Islam yang bisa diterima oleh berbagai agama di dunia. Menunjukan bahwa Indonesia bisa berdiri dan tumbuh dari kondisi yang plural dan majemuk. Islam sebagai negara mayoritas punya tanggung jawab melindungi kehadiran agama minoritas dari segala bentuk ancaman.***

Dalam tradisi Islam ada istilah habib yang ditujukan bagi seseorang keturunan Nabi Muhammad. Habib diambil dari kata habba-yuhibbu  yang ber...

sikap terhadap habaib

Dalam tradisi Islam ada istilah habib yang ditujukan bagi seseorang keturunan Nabi Muhammad. Habib diambil dari kata habba-yuhibbu yang berarti kesayangan atau orang yang dikasihi. Sementara habaib merupakan kata jamak dari habib. Di Indonesia, ada lembaga khusus yang mencatat silsilah keturunan Nabi Muhammad, yakni Rabithah Alawiyah yang berdiri tahun 1928.

Budaya patriarki menentukan posisi habib yang resmi harus berasal dari nasab (garis keturunan) laki-laki. Meski mendapat pertentangan ketika keturunan Nabi Muhammad sempat terputus pada anaknya Fatimah Az-zahra. Nabi Muhammad memiliki 3 anak laki-laki (Al-Qasim, Abdullah, Ibrahim) dan 4 anak perempuan (Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fatimah Az-Zahra).

Fatimah merupakan satu-satunya ahlul bait (keluarga Rasulullah) yang meneruskan nasab Nabi Muhammad hingga sekarang. Ada sekira 20 juta penduduk di dunia yang menyandang gelar habib dari 114 marga. Di sisi lain, KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menyampaikan bahwa esensi habib adalah orang yang mampu mencintai dan dicintai orang lain.

Mengingat beratnya mengemban gelar habib sebagai suri teladan bagi umat, banyak juga keturunan Nabi Muhammad yang “menyembunyikan identitasnya” seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Said Aqil Siradj, hingga Prof. Quraish Shihab. Dalam tradisi pesantren, santri diajarkan untuk menghormati dan memuliakan habaib sebagai sikap mencintai keturunan Nabi Muhammad.

“Aku tinggalkan dua perkara yang sangat berharga pada kalian. Yang pertama adalah Kitab Allah, yang kedua adalah Ahlul Bait-ku,”

 
Baca Juga : Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Politik

Motif politis menjadikan intensitas kecintaan kepada habaib mengalami penurunan. Kasus Front Pembela Islam yang resmi dibubarkan tanggal 21 Juni 2019 menjadi puncak perselisihan antara habaib dan pribumi yang tidak cocok secara pilihan politik. Dimulai dari kemunculan politik identitas sejak pilkada di DKI Jakarta tahun 2017 dan membesar dalam kontestasi pilpres 2019.

Habib Rizieq Shihab menjadi tokoh utama yang getol menyuarakan pandangan politik-religius. Berbagai aksi digalang seperti agenda 212, 1410, dan 411 untuk memuluskan cita-cita politik. Semangat politik yang kemudian menular ke daerah-daerah dan memunculkan tokoh-tokoh lain seperti Habib Bahar bin Smith dan Habib Abubakar Assegaf.

Perkara perbedaan pandangan politik, banyak santri yang semula diajarkan untuk mencintai habaib berubah sikap menjadi pembenci habaib yang kontra pemerintah. Hal itu disebabkan karena pesantren merupakan basis organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama yang menjadikan KH. Ma’ruf Amin (mantan Rais Am Syuriah) wakil presiden. Serentak dukungan mayoritas nahdliyin masuk kantong suara Jokowi.

Benturan politik yang melibatkan pengaruh kiai dan habaib menjadi dilema santri yang terlibat dalam perdebatan politik. Bahkan tak sedikit yang berani menghina dan melecehkan habaib di media sosial. Di sisi lain, banyak habaib yang rupanya terang-terangan mendukung Jokowi di pilpres 2019. Perbedaan pandangan ini yang mereduksi gelar habib yang semestinya mampu mencintai dan dicintai umatnya.

Harapan meredanya politik identitas menggunakan agama sebagai alat merebut kekuasaan akan mengembalikan citra habib yang bisa lebih fokus pada pendidikan agama. Mengembalikan marwah habaib sebagai tokoh yang patut dihormati dan dicintai umat Islam. Tanggung jawab moral sebagai keniscayaan gelar yang didapat sebab keturanan Nabi Muhammad.

 

Baca Juga : Habib Kribo dan Krisis Beragama

Ulama

Bekas konflik politik juga merambah pada gelar ulama sebagai penuntun umat dalam bidang keagamaan. Narasi kriminalisasi ulama digaungkan kepada mereka yang segerbong pandangan politik. Gelar keulamaan juga hilang hanya karena mendukung kebijakan pemerintah yang pernah membubarkan HTI dan FPI.

Habaib secara kesadaran diri dan disepakati masyarakat patut mendapat gelar ulama. Ancaman sesat pada mereka yang membenci ulama kerap muncul dalam dialog dan perdebatan secara daring. Sayangnya, penyematan gelar ulama yang inkonsisten membuat warganet sering mengingkari pernyataannya sendiri.

Bahkan banyak habib yang berbeda pandangan politik dan ditengarai berafilisasi pada salah satu organisasi berani difitnah dan dihakimi secara masal di media sosial. Paling mutakhir kasus Habib Husein Ja’far yang dituduh syiah oleh Muhammad Assaewad dan mendapat dukungan dari followernya di Twitter.

Namun belum ada kejelasan tentang sikap kita sebagai santri yang diwajibkan mencintai habaib kepada mereka yang dianggap atau dituduh sesat. Apakah hanya dibolehkan untuk mencintai habaib yang sesuai dengan pandangan politiknya? Lalu bagaimana dengan habaib yang punya pandangan berbeda tentang politik?

Belum selesai pada gelar habib dalam pandangan politik, apakah gelar ulama hanya disandang bagi mereka yang kontra dengan pemerintah? Apakah gelar ulama otomatis hilang ketika masuk dalam pemerintahan seperti KH. Ma’ruf Amin?

Hanya karena politik, gelar ulama seolah tidak lagi ditentukan dari kualitas keilmuan di bidang agama, melainkan dari sikap oposisi terhadap pemerintahan. Demikian yang kemudian memunculkan transaksi gelar keulamaan yang tidak lagi fokus berdakwah tentang Islam, selain caci maki terhadap pemerintah.***

Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kem...

Inovasi Guru Daring

Terlepas dari permasalahan startup edutech Ruang Guru akibat situasi ekonomi global, namun hybrid learning masyarakat dalam memanfaatkan kemajuan teknologi menjadi inovasi baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Perlu diakui, pendidikan nasional banyak mendapat kritik karena tidak bisa memaksimalkan sumber daya yang tersedia. Semantara banyak praktisi dan akademisi memprediksi potensi Indonesia bakal segera menjadi negara maju dalam beberapa tahun ke depan.

Aktualisasi kurikulum yang tidak relevan dengan tahap usia anak didik dan sistem pengajaran yang feodalistik menjadi faktor sulitnya meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Terapan hafalan materi, budaya kompetisi, dan intervensi politik terhadap mekanisme birokrasi pendidikan menjadi masalah yang masih susah untuk diuraikan.

Sekolah belum mampu memfasilitasi anak didik untuk mencari ilmu, mengolah kreativitas, dan menata kepribadian. Dampaknya, banyak masyarakat yang mengenyam pendidikan kesulitan mengembangkan potensi diri untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan beberapa di antaranya melihatkan sikap amoral di masyarakat. Anak didik masih kesulitan melihat peluang pasar dalam mengembangkan minat dan bakatnya, selain dituntut menjadi manusia yang patuh dan tunduk pada sistem.

Pendidikan nasional masih dibayangi mindset industrialisasi yang menghendaki anak didiknya menjadi pegawai atau karyawan di salah satu perusahaan daripada mencari peluang mengembangkan usaha sesuai minatnya. Sementara iklim kompetisi di dunia pendidikan mengajarkan sikap saling mengalahkan untuk mencapai keberhasilan, meski dengan risiko mengorbankan nilai-nilai sosial budaya.

Secara tidak sadar, pendidikan saat ini menempuh jalan penyeragaman pengetahuan, gaya hidup, dan kepatuhan yang sama. Kapasitas memori otak manusia dijejeli dengan pengetahuan dengan metode hapalan tanpa pelatihan dan kreativitas individu. Ketidakpedulian masyarakat terhadap mutu pendidikan mengakibatkan pembiaran kebodohan dan kebobrokan kualitas kecerdasan manusia. Mewajarkan sistem pendidikan hanya sebagai syarat formlitas menghibahkan diri pada industri dan kapitalisme.

Kesempatan memanfaatkan bonus demografi disia-siakan dengan sistem pendidikan yang kolot dan miskin inovasi mulai dari penerapan kurikulum, pembentukan aturan, hingga teknik ajar guru. Sementara reformasi pendidikan nasional butuh waktu dan metode yang sistematis agar bisa mengubah budaya pendidikan yang sudah mengakar di Indonesia.

 

Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan di Indonesia

Inovasi

Beberapa bulan lalu, saya mendapat kesempatan menjadi pengajar di salah satu startup edutech. Melakukan pendidikan (bimbingan belajar) secara daring atau online. Kegiatan seperti ini populer sejak pandemi, bukan hanya keperluan pendidikan informal, melainkan juga dalam sistem kurikulum pengajaran pendidikan formal (sekolah).

Kesadaran penggunaan gawai dalam belajar dan adaptasi pendidikan tanpa “tatap muka” mengasah guru melakukan inovasi pengajaran. Menciptakan budaya pendidikan baru tanpa terikat aturan sekolah namun tetap fokus dan konsentrasi belajar. Guru dituntut berkreasi membuat inovasi pembelajaran yang tidak membosankan.

Sementara materi, bahkan soal dan jawaban sudah banyak tersedia di internet yang kalau peserta didik aktif belajar via daring bisa menemukan sendiri pengetahuannya. Materi buku bukan lagi menjadi barang mewah yang “wajib” dibeli ketika guru malas melakukan invosi pengajaran tanpa memberikan soal ujian dari hasil plagiat di internet.

Beberapa kali saya melakukan pembahasan soal ujian selama bimbingan belajar online, soal pilihan ganda pun banyak yang mencuplik dari internet. Sementara banyak anak didik yang kesulitan menjawab pertanyaan karena tidakcakapan menguasai hapalan materi yang dijejeli dari berbagai mata pelajaran. Sedangkan hanya sedikit di antaranya yang diajari memahami materi atau mengnalisis kasus.

Kebuntuan inovasi mengajar guru, kekakuan kurikulum pendidikan, dan kaburnya orientasi pembelajaran menciptakan kegagalan mengimplementasikan tujuan konstitusi dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa. Peserta didik hanya dituntut mendapat nilai bagus tanpa ada tanggung jawab memikirkan masa depan anak mengenai hasil pengetahuan yang didapat di sekolah.

Di sisi lain, kesejahteraan guru yang masih sering mendapat sorotan memungkinkan prioritas mengajar di sekolah sedikit diabaikan dan memilih memfokuskan pada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Dampaknya tentu pada kualitas kecerdasaan siswa yang secara tidak langsung berimplikasi pada tindakan amoral hingga kriminalitas di masyarakat.

Pendidikan adalah pondasi utama negara bangkit dari ketertinggalan. Berpartisipasi pada produktivitas ekonomi dan pengembangan bisinis dengan memanfaatkan kecerdasan intelektual. Tantangan majunya teknologi informasi harus relevan dengan mutu kualitas pendidikan nasional. Agar masyarakat adaptif menghadapi goncangan ekonomi global dengan terus berkreasi dan berinovasi sesuai minat dan bakatnya.

Guru juga harus punya tanggung jawab memberikan pengajaran yang inovatif di media daring. Bagaimana menciptakan iklim pembelajaran yang menyenangkan tanpa tekanan dan tuntutan yang berakibat pada tingkat stres anak didik. Selain juga memasukan nilai-nilai moralitas sebagai jalan merevolusi kebudayaan yang mulai banyak ditinggalkan.

Itulah yang sering saya terapkan dalam sistem mengajar secara daring. Meski bukan berasal dari lulusan keguruan, nyatanya siswa tertarik dengan metode pengajaran yang membuatnya antusias untuk bertemu dan belajar. Hasilnya adalah pencapaian nilai tinggi di kelas dan menguatnya nilai moralitas di lingkungan masyarakat.***

  Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membent...

pemimpin seniman

 

Genderang perang pilihan presiden (pilpres) 2024 sudah ditabuh sejak dini. Partai politik sibuk melakukan komunikasi politik untuk membentuk koalisi. Beberapa di antaranya sudah terang-terangan mendeklarasikan bakal calon presiden di media. Meski masih setahunan lebih, namun tidak ada yang terlambat dalam dunia politik.

Anies Baswedan yang diusung partai Nasional Demokrat (NasDem) misalnya, mulai melakukan mobilisasi dukungan kepada calon potensial koalisi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Selain itu, aktif melakukan lobi politik ke basis Islam terbesar - Nahdlatul Ulama - dengan berbagai kunjungan ke pondok pesantren di Jawa Timur.

Di sisi lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih berhati-hati menentukan calon presiden. Kader potensial Ganjar Pranowo dinilai pesaing ideal untuk bertarung dengan Anies di arena pilpres. Sementara Puan Maharani yang digadang menjadi penerus (akar rumput) Megawati masih jauh dari elektablitas yang memuaskan publik.

Masih ada juga calon presiden yang memiliki elektablitas dan popularitas tinggi seperti Prabowo Subianto, Erick Tohir, Agus Harimurti Yudhyono, hingga Muhaimin Iskandar. Apa pun itu, tembok presidential threshold membatasi masyarakat memilih pemimpin yang ideal tanpa harus melakukan lobi-lobi politik.

 
Baca Juga : Konduktor Politik 2024

Pemimpin Seiman

Sejak lama, pemikiran bahwa presiden Indonesia harus muslim masih menjadi pedoman bangsa yang punya basis masyarakat beragama Islam. Seolah tidak ada peluang bagi tokoh nonmuslim sekedar bersaing dalam pemilihan calon presiden. Kesadaran kaum minoritas mendorong pencalonan pemimpin muslim yang toleran terhadap kondisi pluralisme di Indonesia.

Puncak benturan politik agama terjadi ketika mulai terbentuknya politik identitas. Bukan perseteruan antar agama, melainkan simbolisasi konsep islamisme dan nasionalisme. Narasi pilihan pemimpin yang seiman dijadikan narasi memenangkan Anies Baswedan ketika mempecundangi Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dalam pilihan gubernur DKI Jakarta tahun 2017.

Mengetahui bahwa gubernur DKI Jakarta merupakan batu loncatan menjadi presiden Indonesia, isu agama dimainkan secara nasional yang kemudian merambat ke politik daerah. Agama menjadi alat berpolitik praktis. Memainkan isu sekulerisasi, komunisme, radikalisme, hingga terorisme. Akibat politik identitas, agama menjadi bahasan yang tabu (sensitif) dibicarakan di ruang publik.

Masyarakat minoritas yang mempunyai hak sama memilih dan dipilih menjadi pemimpin harus mengurungkan niat sampai doktrinasi politik agama tidak lagi mengatur dominasi pemilu di Indonesia. Bagi nonmuslim, tidak ada lagi pilihan untuk memilih pemimpin yang seiman, selain pemimpin muslim yang masih peduli terhadap agamanya.

 

Pemimpin Seniman

Misalkan pilihan pemimpin seiman masih membelenggu demokrasi di Indonesia, ada variabel lain menentukan pemimpin yang ideal di masa depan. Pemimpin yang punya jiwa seniman. Kreaktif dan inovatif mengatasi problematika nasional tanpa iming-iming janji politik dan pencitraan di ruang-ruang publik.

Melalui tangan seniman, tradisi menjadi sesuatu yang harus diubah, bukan disembah. Dari pikirannya yang imajinatif, lahir ide-ide baru mengenai tata kelola masyarakat, jalan hidup untuk kebebasan, pandangan tentang keadilan, dan kepekaan terhadap realita sosial. Seniman punya batin yang melintasi batas-batas agama, ras, golongan, dan budaya.

Seni memimpin tidak akan pernah mengucapkan ketidaktahuan tentang sesuatu. Mereka akan mengajak orang lain berdiskusi tentang apa yang penting untuk dilakukan dan kemudian mengimplementasikannya tanpa keragu-raguan. Menjadi seniman harus punya prinsip dan idealisme ketika memimpin. Tidak goyah dipengerahui koalisi, kepemilikan partai pengusung, dan para kolega.

Reformasi tidak mengubah secara fundamental tradisi berpolitik dan bernegara. Masih banyak kasus korupsi, sistem politik dinasti, pembatasan hak berpendapat, dan ancaman hukum dari kebijakan pemerintah yang otoriter. Kebebasan tidak mutlak didapat meski konstitusi menghendaki adanya sistem domokrasi bermasayarakat dan bernegara. Indonesia masih gagap berpolitik dan menggunakan praktek tradisi lama.

Belum muncul jiwa seniman yang selalu gelisah memunculkan ide-ide baru mengenai pembaruan kebijakan yang relevan dengan perkembangan zaman. Tidak terikat pada doktrin masa lalu dan terkekang pada idealisme kelompok pengusung. Dengan memilih pemimpin yang seniman, meminimalisir narasi politik identitas. Seni (keindahan) yang bersifat realtif akan mengaburkan konflik politik dan agama.

Seniman tidak menyandarkan keindahan karya pada politik dan agama. Indonesia adalah negara yang akan disulap menjadi panggung pertunjukan yang estetis. Dengan latar keindahan lingkungan dan melimpahnya sumber daya alam, seniman akan membawa Indonesia menjadi negara yang disegani dan bermartabat di mata dunia.

Kira-kira siapa calon presiden yang punya jiwa seni untuk menjadi pemimpin Indonesia? Ataukah akan kembali dipimpin oleh tokoh-tokoh lama yang kolot terhadap perubahan?