CATEGORIES

Showing posts with label pendidikan. Show all posts

Kajian filsafat cukup banyak ditentang panganut Islam konservatif di seluruh dunia. Filsafat dianggap bukan ajaran para salafus saleh, tabi’...

skeptisisisme filsafat

Kajian filsafat cukup banyak ditentang panganut Islam konservatif di seluruh dunia. Filsafat dianggap bukan ajaran para salafus saleh, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Para filsuf Islam dianggap mencampuradukkan perkara-perkara agama dengan teori-teori Yunani kemudian menjadikan pernyataan-pernyataannya dijadikan sumber pijakan untuk meluruskan atsar yang berseberangan melalui cara penakwilan. Metode penakwilan itulah yang kemudian dianggap sesat.

Sikap anti ilmu di luar ajaran syariat sering dijadikan landasan untuk menentang eksistensi ilmu filsafat dalam dunia Islam. Mempelajari filsafat dianggap upaya tidak mempercayai pedoman dasar umat Islam, yakni Alquran dan hadis. Namun di sisi lain, kajian filsafat sering dijadikan pelajaran wajib di ranah pendidikan formal Islam kontemporer. Bahkan di pesantren ada kajian khusus kitab manthiq yang menguak ilmu-ilmu filsafat.

Pangkaji filsafat sering diistilahkan sebagai pembangkit kembali kaum mu’tazilah yang menjadikan akal sebagai pondasi utama memahami agama. Namun perlu diingat bahwa filsafat Islam berperan besar dalam penyebarluasan agama Islam di Andalusia era khalifah Abbasiyah. Namun kebangkitan filsafat Islam juga sempat ditentang kaum sufi yang dipelopori oleh Al Ghazali dalam kitabnya “Tahafut al Falasifah”.

Sejak saat itu pertentangan ilmu filsafat dengan ilmu tasawuf menjadi bahan diskusi intelektual muslim modern. Menjadikan logika sebagai mesin utama memahami agama, membuat kekhawatiran seorang muslim dalam mempelajari filsafat yang terkesan berpikir liar, termasuk dalam ranah akidah. Sampai saat ini masih banyak yang mengharamkan kajian filsafat dalam kajian Islam karena dianggap sebagai pintu menuju kekafiran.

Mempelajari filsafat diidentikan dengan perilaku menyembah akal sebagai sumber kebenaran. Aktualisasinya adalah dengan kemunculan qiyas (analogi) yang kemudian dijadikan dalih Islam konservatif untuk menghukumi sesat kajian filsafat. Berdalil dengan qiyas dan berakhlak dengan prinsip objektivitas.


Baca Juga : Menganalisis Hoax yang Merajalela

Kemunculan Ustaz Fahruddin Faiz

Ilmu filsafat muncul dari dinamika kehidupan di Yunani untuk lebih mencintai ilmu dan kebijaksanaan. Filsafat berasal dari kata philos yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Dalam filsafat ada cabang-cabang yang dipelajari sampai sekarang, seperti; logika, epistemologi, etika, estetika, dan metafisika.

Namun demikian, skeptisisme filsafat masih membelenggu umat Islam dalam kekakuan berpikir dan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Ketika ilmu pengetahuan berkembang pesat, penentang filsafat masih berkutat pada dimensi haram dan halal sesuai syariat. Apalagi filsafat dianggap sebagai kajian yang bertele-tele (tidak instan) dalam menjawab problematika kehidupan. Pada akhirnya menyimpulkan bahwa Alquran dan hadis mampu dikaji tanpa harus melibatkan kajian filsafat di dalamnya.

Belajar filsafat yang dianggap menyimpang dan berpotensi menuju kekafiran, Ustaz Fahruddin Faiz mencoba mengubah persepsi negatif dunia filsafat dengan kajian yang ringan tanpa tendensi menyeleweng dari akidah Islam. Bahkan dalam banyak kajian yang diberi istilah “Ngaji Filsafat” di Masjid Jenderal Sudirman Yogyakarta, ia sering mengambil sudut pandang akidah dan akhlak Islam dalam menjelaskan setiap tokoh dan tema yang dikaji.

Pria yang lahir di Mojokerto 16 Agustus 1975 silam itu mengungkapkan bahwa belajar filsafat bertujuan untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taklid dan ‘mengalir’ tanpa tahu kemana, untuk apa, dan mengapa. Tidak hanya mengkaji filsafat pemikiran Barat dan Timur, ia juga sering “ngaji” filsuf domestik (lokal), seperti; Sri Susuhunan Pakubowono IV, Mangkunegaran IV, Ng. R. Ronggowarsito, Sultan Agung, dan banyak lainnya.

Kemampuan menjelaskan ilmu filsafat yang dianggap membingungkan dengan kajian yang ringan, membuat namanya begitu cepat dikenal di media sosial. MJS Channel di platform YouTube yang menjadi akun resmi media publikasi ngaji filsafat sudah memiliki hampir 140 ribu subscribers. Belum lagi ratusan akun yang mengunggah ulang dengan potongan-potongan ceramahnya di YouTube, facebook, dan Instagram yang sudah banyak beredar.

Memulai ngaji filsafat pada 21 Maret 2013 hingga sekarang, pria yang memiliki latar belakang lulusan pesantren ini sudah membahas lebih dari 300 kajian yang hampir rutin dilaksanakan seminggu sekali. Menurutnya wahyu dan akal memiliki posisi sama penting. Tanpa wahyu, akal kesasar. Tanpa akal, wahyu musykil terejahwantahkan. Dalam memahami Islam harus dalam kerangka ilmiah, bukan sekadar ideologis. Tujuannya agar tidak bersikap eksklusif dalam beragama.

Fahruddin Faiz yang juga merupakan dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini menjelaskan bahwa dengan cara berpikir filsafat itulah yang mengajarkan manusia untuk lebih menghargai kebenaran yang lain dan keberagaman yang ada di tengah-tengah lingkungan sosial. Menurutnya, menentang filsafat berarti tidak menghargai keberadaan akal untuk media berpikir. Karena satu-satunya pembeda manusia dangan hewan adalah akal. Tanpanya, manusia akan hilang kemanusiaannya.

Bahkan dalam beberapa dalil Alquran ditegaskan tentang pentingnya mempergunakan akal, termasuk ketika mengkaji filsafat sebagai metode berpikir logis dan sistematis agar tidak mudah dibodohi oleh sebuah sistem atau doktrinisasi akibat sikap fanatisme terhadap sesuatu. Filsafat adalah ilmu berpikir untuk bersikap inklusif dengan selalu mengedepankan cinta kasih dan kebijaksanaan.

“Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.” (QS. An-Nahl : 12).

Seperti yang dikatakan Bung Hatta, “Belajarlah filsafat, bacalah filsafat sebanyak-banyaknya, nanti akan tahu dengan sendirinya apa filsafat itu sesungguhnya.” Fahruddin Faiz adalah sarana paling memungkinkan untuk mendalami filsafat tanpa skeptisisme kekafiran (penyelewengan akidah). Ia bisa membungkus bahasan filsafat yang berat menjadi ringan namun tetap memuat esensi filsafat yang kritis dan sistematis.

Dengan membumikan filsafat akan mempengaruhi cara berpikir seorang muslim agar tidak terjebak pada narasi intoleran dan radikalisme. Selain metode deradikalisasi, belajar filsafat juga menuntun seorang muslim untuk tidak bersikap fanatik terhadap doktrinisasi agama.

Pada tanggal 31 Maret 2021, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nom...

pancasila hancur

Pada tanggal 31 Maret 2021, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang telah diundangkan. PP tersebut diteken Presiden Jokowi yang mengatur beberapa hal terkait pendidikan dan kurikulum nasional.

Dalam PP tersebut tidak ada pasal yang menyebutkan mata pelajaran Pancasila. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) Komisi X menyayangkan bahwa PP tidak secara eksplisit menjelaskan tentang kewajiban pelajaran Pancasila di lingkup pendidikan formal.

Ketentuan penghapusan Pancasila tertuang dalam pasal 40 ayat (2) dan (3) tentang kurikulum pendidikan dasar dan pendidikan menengah, hanya wajib memuat mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, pendidikan jasmani dan olahraga, keterampilan/kejuruan, seni dan budaya, serta muatan lokal.

Sementara Pasal 40 Ayat (3) mengatur kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa. Padahal sebelumnya dalam pasal 35 ayat (5) UU Nomor 12 Tahun 2012 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat mata kuliah pendidikan agama, pendidikan Pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.

Penghapusan pendidikan Pancasila sejak diberlakukan UU Sisdiknas 2003 menyebabkan generasi muda Indonesia paskareformasi mulai kehilangan pedoman penting dalam hidup terkait dengan pendidikan karakter, moral, agama, dan nasionalisme.

Dampaknya adalah sikap mereduksi Pancasila dengan nilai-nilai asing. Mudah didoktrin dan cenderung fanatik untuk melawan Pancasila. Badan Intelijen Negara (BIN) menyatakan bahwa generasi milenial sangat rentan terpengaruh narasi radikalisme di media sosial sebagai inkubator penyebaran ideologi. Bahkan menurut survei BNPT pada bulan April 2021 menyatakan bahwa 80% generasi milenial rentan terpapar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menginginkan Pancasila dijadikan mata pelajaran wajib di tingkat pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Harapannya agar generasi mendatang bangsa Indonesia bisa menerima perbedaan (toleransi) dan memahami makna hidup berdampingan satu sama lain meski berbeda suku agama dan ras.

Sebagai dasar negara, Pancasila dapat dimaknai sebagai ideologi, cita-cita, dan tujuan negara. Sebagai pandangan hidup bangsa, Pancasila mengandung makna bahwa segala kegiatan sehari-hari harus menganut dan selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai yang bersumber dari histori kehidupan bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila mengajarkan pengembangan sikap hidup, etika, dan integritas kebangsaan dan kenegaraan bagi siswa atau mahasiswa. Membangun sikap terhadap nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat, dan keadilan sosial. Semua dimanifestasikan dan diaktualisasikan melalui butir-butir Pancasila.

Sungguh ironis apabila Pancasila tidak dijadikan mata pelajaran wajib dalam sistem pendidikan atau kurikulum di Indonesia yang menganut ideologi Pancasila. Lunturnya sikap nasionalisme dan nilai-nilai kebangsaan pada generasi milenial ditengarai karena berkurangnya ajaran Pancasila di dunia pendidikan.

 

Baca Juga : Menilai Sistem Pendidikan Indonesia

Blunder Nadiem Makarim

Tahun lalu lembaga survei Indo Barometer dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, menempatkan Nadiem Anwar Makarim menjadi menteri terbaik kedua setelah Prabowo Subianto dalam kabinet Indonesia Maju. Meraih 16,3% dari total responden, Nadiem dipilih karena kepintarannya, mampu meningkatkan pelayanan pendidikan, cara kerja yang baik, banyak terobosan program, serta muda dan berbakat.

Namun di balik itu, Nadiem kerap mendapat sorotan dari media nasional karena kebijakan nonpopuler seperti Pembayaran SPP via GoPay, wacana belajar daring secara permanen, kerjasama dengan Netflik hingga Program Organisasi Penggerak (POP) yang sempat ditolak oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.

Jokowi menunjuk Nadiem dalam kementerian kabinet Indonesia Maju karena dianggap memahami pengelolaan dan penggunaan Internet of Things (IoT), kecerdasan artifisial, hingga big data. Jokowi berharap Nadiem mampu meningkatkan peran teknologi dalam dunia pendidikan untuk menciptakan efisiensi, kualitas, dan kelancaran sistem administrasi pendidikan di Indonesia.

Pada reshuffle pertama kabinet Indonesia Maju, Nadiem terselamatkan meski banyak yang memprediksi ia akan ikut “tereliminasi”. Bahkan survei Indonesia Political Opinion (IPO) menunjukkan nama Nadiem berada di urutan atas deretan menteri yang diminta diganti setelah 100 hari program kerja Kabinet Indonesia Maju.

Namun isu reshuffle kembali mencuat ketika ada rencana peleburan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) dengan Kementerian Riset dan Teknologi (kemenristek). Para pengamat meyakini Nadiem tidak akan lolos lagi dari reshuffle kedua kabinet Indonesia Maju. Alasannya adalah kebijakan Nadiem yang dianggap biasa, beserta kebijakan kontroversial selama menjabat sebagai mendikbud.

Di tengah isu intoleransi dan terorisme, penghapusan pelajaran Pancasila mungkin menjadi sinyal perpisahan Nadiem Makarim dengan kabinet Indonesia Maju. Menjelaskan kepada publik bahwa reshuffle yang dilakukan Jokowi memang tepat karena blunder yang dilakukan Nadiem sendiri dalam menyusun kebijakan pendidikan nasional.

Selama Pandemi Corona, peran digital paling mencolok diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Bukan karena arah kebijakan pemerintah, melainkan...

pendidikan indonesia

Selama Pandemi Corona, peran digital paling mencolok diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Bukan karena arah kebijakan pemerintah, melainkan kondisi pandemi Covid-19 yang memaksa untuk belajar di rumah masing-masing. Tanggungjawab pendidikan lebih diprioritaskan kepada orang tua murid dari pada guru atau sekolah. Kegiatan belajar mengajar di kelas digantikan secara daring dengan segala permasalahan yang sering dikeluhkan oleh guru dan siswa.

Sebelum pandemi, Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI) merencanakan prioritas program pendidikan seperti; melakukan penyisiran anggaran dan aktivitas mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi (PT), memeriksa struktur kelembagaan untuk mendukung pembelajaran siswa, menggerakkan program revolusi mental melalui suatu konten pembelajaran, dan pengembangan teknologi. Selebihnya adalah mendorong peningkatan angkatan kerja yang terampil dan berdaya saing.

Namun baru setahun mencicipi kursi pemerintahan, pandemi Covid-19 memaksa Nadiem banting stir dengan kebijakan strategis menyelematkan dunia pendidikan di tengah ancaman kesehatan atau keselamatan masyarakat. Bulan lalu, Nadiem menyusun program-program prioritas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk tahun 2021:

  1. Sekolah dan guru penggerak melalui sertifikasi guru dan tenaga pendidikan, peningkatan kompetensi dan kualifikasi GTK, penjaminan mutu advokasi daerah dan sekolah, dan pembinaan peserta didik.
  2. Pembiayaan pendidikan melalui Program Indonesia Pintar/ Kartu Indonesia Pintar Sekolah, tunjangan profesi guru, KIP Kuliah dan pembinaan Sekolah Indonesia Luar Negeri.
  3. Program kampus merdeka yang akan membantu transformasi perguruan tinggi menjadi universitas yang lebih otonom dan akuntabel.
  4. Peningkatan kualitas kurikulum dan asesmen kompetensi minimum.
  5. Digitalisasi sekolah dengan aktualisasi bahan belajar dan model media pendidikan digital, penyediaan sarana pendidikan (peralatan TIK), penguatan platform digital, dan konten pembelajaran di program TVRI.
  6. Revitalisasi pendidikan vokasi yang akan memfasilitasi "pernikahan massal" antara unit pendidikan vokasi dengan industri.
  7. Pemajuan Budaya dan Bahasa.

 

Baca Juga : Fiki Naki dan Jendela Pendidikan

Menteri Terbaik

Berdasarkan lembaga survei Indo Barometer dalam setahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, Nadiem Makarim didaulat menjadi menteri terbaik kedua setelah Prabowo Subianto dalam kabinet Indonesia Maju. Dengan 16,3% dari total responden, Nadiem dipilih karena pintar atau intelektual, banyak program terobos, mampu meningkatkan pelayanan pendidikan, cara kerjanya yang bagus, serta muda dan berbakat.

Namun penilaian tersebut tidak menjawab substansi dari kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Apalagi sebelumnya Nadiem Makarim kerap mendapat sorotan publik dengan kebijakan yang tidak populer. Pembayaran SPP via GoPay, wacana belajar daring secara permanen, hingga kerjasama dengan Netflik. Selain itu juga ramai diperbincangkan Program Organisasi Penggerak yang sempat ditolak oleh NU dan Muhammadiyah.

Dalam perjalannya, Nadiem Makarim dianggap sebagai “perebut jatah kursi menteri” karena usainya yang paling muda di antara lainnya. Founder dari Gojek Indonesia ini lahir di Singapura pada 4 Juli 1984 dan belum mempunyai pengalaman di bidang perpolitikan Indonesia. Alasan Jokowi menunjuk Nadiem karena dianggap paham mengenai pengelolaan dan penggunaan internet of Things (IoT), artificial Intelligence, hingga big data. Peran teknologi dalam dunia pendidikan akan semakin besar untuk menciptakan efisiensi, kualitas, dan sistem administrasi pendidikan di Indonesia.

 

Baca Juga : Trilema Jokowi

Penilaian Sistem Pendidikan

CEOWORLD magazine pada Januari hingga April 2020 merilis negara-negara dengan pendidikan terbaik di dunia. Penilaian ini didasarkan pada pengembangan sistem pendidikan publik, kualitas pendidikan, serta hasil pemungutan pendapat terhadap ribuan responden mengenai negara dan universitas mana yang ingin mereka datangi untuk bersekolah. Selain itu juga dinilai dari hasil penjajakan pendapat kalangan mahasiswa, pendidik, profesor, ahli bidang pendidikan, para eksekutif bisnis dunia, dan pihak-pihak terkait lainnya.

Inggris, Amerika Serikat, dan Australia bertururt menduduki 3 urutan teratas dengan sistem pedidikan terbaik di dunia. Sedangkan Indonesia berada di urutan ke-70 dari total 93 negara yang disurvei. Keterpurukan pendidikan di Indonesia disebabkan karena penerapan Kurikulum 2013 yang menekankan pada penyederhanaan aspek penilaian siswa oleh guru, tidak adanya pembatasan proses berpikir siswa, menerapkan teori 5M (mengingat, memahami, menerapkan, menganalisis, dan mencipta), mendukung proses belajar di kelas yang menyenangkan tanpa mengubah struktur mata pelajaran dan lama waktu belajar.

Berbeda dengan penilaian dari World Economic Forum, sistem pendidikan terbaik di dunia adalah negara Finlandia. Penilain tersebut berdasarkan sistem pendidikan yang berkelanjutan. Pemerintah tidak ikut campur dalam proses pendidikan karena menyerahkan otoritas penuh kepada sekolah dan guru. Pemerintah hanya mendukung aspek finansial dan legalitas pendidikan. Di Finlandia juga tidak ada ulangan atau ujian nasional yang bisa menghilangkan minat bakat siswa. Metode ini yang juga ikut diterapkan Nadiem dalam salah satu program andalannya.

Perekrutan guru yang berkualitas, sarana prasarana pendidikan yang memadai, dan pembelajaran yang santai menjadikan siswa lebih produktif dalam belajar. Banyak tugas yang harus diselesaikan Nadiem Makarim agar layak mendapatkan predikat menteri terbaik. Mendandani sistem pendidikan Indonesia yang sudah terlanjur membudaya tidak cukup hanya mengiklankan kemampuan mengoprasikan pendidikan digital. Perlu kecakapan manajemen pemerintahan, komunikasi politis, hingga penyesuaian iklim baru pendidikan bertaraf internasional.

Jika dirasa sulit mengaplikasikan kebijakan strategis pendidikan negara-negara maju, setidaknya bisa mengejawantahkan program unggulan Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan Indonesia) yang sistemnya banyak diadopsi negara lain untuk membangun pendidikan di negara meraka.


Pernah dimuat di Malang Post

https://malang-post.com/2020/11/23/menilai-sistem-pendidikan-di-indonesia/

M Fiqih Ayatullah alias Fiki Naki merupakan anak muda asal Pekanbaru yang akhir ini mengguncang jagat maya. Melalui akun OmeTV yang kemudian...

fiki naki

M Fiqih Ayatullah alias Fiki Naki merupakan anak muda asal Pekanbaru yang akhir ini mengguncang jagat maya. Melalui akun OmeTV yang kemudian dijadikan konten di YouTube, pemuda 20 tahun itu berhasil menghipnotis generasi milenial dengan kecerdasannya berdialog menggunakan berbagai bahasa.

Namanya banyak dikenal ketika ia membuat konten di OmeTV dengan Dayana, gadis cantik dari Astana, Kazakhstan. Wanita yang juga seorang mahasiswa Hukum dan Politik di Kazguu University itu berhasil menjadi obat dari pesakitan psikologi akibat pandemi. Saat ini YouTube Fiki Naki sudah lebih dari 3 juta subscribe dan dianggap berhasil menginspirasi banyak anak muda di Indonesia.

Berdasarkan pengakuannya, ia telah menguasai 4 bahasa internasional (Inggris, Rusia, Rumania, dan Spanyol). Sedangkan cita-citanya adalah berhasil menguasai 10 bahasa dunia. Menariknya Fiki Naki belajar bahasa asing tidak melalui guru atau kursus, ia mempelajari kesemuanya melalui media digital. Logatnya yang fasih ketika berbicara bahasa asing membuat banyak orang terkagum, meskipun tanpa menempuh pendidikan bahasa asing.

Selain keahliannya berbahasa asing, Fiki Naki juga berhasil mengubah citra OmeTv yang dikesankan sebagai aplikasi “negatif” menjadi aplikasi “positif”. Fiki Naki juga menjadi contoh bagi produsen konten di berbagai platform media digital agar lebih mementingkan prestasi, bukan sensasi untuk menjadi viral.

 

Baca Juga : Mempersiapkan Generasi Emas Indonesia

Kecerdasan Artifisial

“Tidak ada orang bodoh, yang ada adalah orang yang tidak mau belajar”. Demikian yang selalu saya jadikan motivasi kepada orang lain. Kepandaian akan terlihat jika seseorang serius untuk belajar dan mengetahui banyak hal. Seperti Fiki Naki yang mengajarkan banyak hal tentang proses belajar yang efektif dan efisien tanpa mengandalkan seorang guru atau tentor di pendidikan formal.

Niat adalah pondasi utama agar mampu menguasai banyak hal. Selanjutnya fokus pada apa yang ingin dipelajari. Pandemi seharusnya menjadi momentum untuk mendalami minat, bakal, dan skill yang dimiliki. Ketika media digital memanjakan konsumen dengan beragam pengetahuan lintas ruang dan waktu.

Tidak ada gunanya meratapi nasib pendidikan nasional yang terpaksa dilakukan secara daring dengan banyaknya permasalahan teknis dan konsep kurikulum tiap sekolah. Semua orang harus bisa memposisikan diri sebagai manusia produktif. Mempersiapkan diri apabila kelak pekerjaan nonskill digantikan dengan teknologi (software/ robot).

Fiki Naki mengajarkan bahwa setiap orang harus segera mengasah keahliannya. Setiap orang harus aktif belajar dengan memanfaatkan media digital. Mulai dari hal yang paling disenangi, kemudian ditekuni, maka uang akan datang menghampiri. Bukankah pekerjaan paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar?

Tidak harus seperti Fiki Naki yang menguasai banyak bahasa. Setiap orang punya minat dan bakat masing-masing yang tinggal diasah. Media digital hanya sarana yang membantu setiap orang mempercepat menemukan keahlian dalam hidupnya. Tidak ada alasan lagi untuk bermalas-malasan dalam mempelajari sesuatu.

 

Baca Juga : Demokratisasi Digital

Menunggu Panen

Ketika banyak kritik seputar dunia pendidikan di Indonesia, Fiki Naki mengajarkan bahwa untuk belajar tidak hanya dalam ruang sekolah dan kuliah. Pemerintah juga harus jeli memfasilitasi pendidikan nonformal agar berhasil mewujudkan kecerdasan kehidupan berbangsa.

Masalah yang sering membelenggu masyarakat Indonesia adalah sikap instan dalam melakukan apapun. Ingin segera mendapatkan hasil atas upaya yang dilakukan. Ibarat menanam benih padi, mereka berharap sorenya bisa dipanen. Sedangkan untuk memanen padi harus menunggu sekira 3 bulan dulu, baru menikmati hasilnya yang dilalui dengan proses panjang.

Kebanyakan orang tidak sabar menunggu hasil panen. Sehingga padi yang belum waktunya panen sudah dipanen. Hasilnya pun mengecewakan. Fiki Naki belajar berbagai bahasa sebelum membuat konten OmeTV dan YouTube. Kemudian viral akhir ini yang membuatnya dikenal banyak orang. “Mie Instan saja butuh proses.

Untuk meraih kesuksesan, seseorang harus sabar menunggu hasil, menekuni setiap proses, dan memanfaatkan peluang untuk belajar. Era globalisasi memaksa semua orang untuk mengasah keahliannya jika tidak ingin tergerus dengan teknologi. Jangan sampai manusia hanya dijadikan sasaran konumen teknologi tanpa mengetahui cara memproduksi teknologi.

Fiki Naki adalah inspirasi untuk bangsa Indonesia yang memimpikan mewujudkan generasi emas masa depan. Demografi penduduk yang mayoritas generasi milenial adalah potensi yang harus cermat dimanfaatkan. Pemerintah harus jeli melihat peluang dan memberikan fasilitas yang memadai untuk memudahkan setiap orang belajar tanpa bayang-bayang pendidikan formal di tengah pandemi.


Pernah dimuat di Sanad Media

https://sanadmedia.com/post/fiki-naki-dan-jendela-pendidikan