CATEGORIES

Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara  karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah....

Kritis di Negara Krisis

Dalam buku Pemerintah Bukanlah Negara karya Pipit Rochijat Kartawijaya menyatakan bahwa tidak jelas pemilihan antara negara dan pemerintah. Rakyat dininabobokan dengan hegemoni pembangunan pemerintah dan mengaburkan nilai-nilai kenegaraan. Perangkat kenegaraan dipaksa tunduk pada pemerintah.

Instrumen kenegaraan juga mendukung terpusatnya pemerintah sebagai penentu hak tunggal kebijakan. Politik diatur sedemikian rupa untuk mencapai ambisi pemerintah dalam bingkai koalisi. Wakil rakyat bersekongkol mengelabuhi rakyat dengan iming-iming santunan sosial dan rekayasa kesejahteraan.

Kebijakan pemerintah yang dalam narasinya menyejahterakan rakyat hanyalah politik pencitraan di balik kerakusan menguasai negara. Tidak ada lagi kedaulatan rakyat, selain kedaulatan pemerintah. Hak pekerja yang didominasi rakyat miskin dieksploitasi dengan UU Ciptaker. Kebebasan berpendapat dibungkam dengan UU ITE. Demokrasi runtuh perlahan dalam euforia pembangunan yang disediakan untuk para penguasa dan pemilik modal.

Sistem pendidikan yang bobrok dipertahankan sebagai upaya membodohkan rakyat. Siswa diajari untuk tunduk, patuh, dan seragam. Buruh dipaksa menerima keadaan digaji pas-pasan. Petani lahannya digilas kebijakan gila para korporat. Kemiskinan dibiarkan dan menunggu rakyat mati perlahan sebagai kondisi alamiah hidup di negara krisis.

Politikus dan aktivis kemanusian berdrama di panggung untuk sedikit menciptakan konflik yang kemudian menghilang. Media disuap untuk menjadi humas pemerintahan. Rakyat dihipnotis untuk ikut permainan politik gelap yang diarahkan agar saling bertikai. Mencitrakan beberapa tokoh yang bakal menjadi tumbal rezim pemerintahan berikutnya.

Sikap kritis rakyat terhadap pemerintah sebagai kondisi ideal negara demokrasi sengaja disembunyikan. Kritik keras dihantui hukuman yang ditentukan pemerintah. Kritik hanya dibatasi pada kulit kebijakan yang tidak dapat menyelamatkan sistem dan nasib rakyat di masa depan. Rakyat diajari dan dipaksa tunduk, tidak boleh bicara!

Menciptakan prajurit media sosial untuk mengintimidasi kritikus. Rakyat yang seharusnya menjadi alat mengubah dan mengontrol pemerintah malah melamar sebagai budak pemerintah. Negara yang yang sedang krisis, tapi rakyatnya tidak boleh kritis. Sementara pemerintah dan segala apapun yang di belakangnya menikmati kekayaan sumber daya yang disediakan negara. Indonesia tidak akan pernah menjadi negara maju dengan segala potensi yang dimilikinya.

 

Baca Juga : Konduktor Politik 2024

Kritik-Kolektif

Rakyat perlu merawat nalar dengan melihat realitas di lapangan. Skenario politik menghendaki untuk terbenturnya agama, hilangnya kebudayaan, dikuasainya modal ekonomi, pendegradasian moral, bobroknya pendidikan, dan kecacatan hukum. Era media memudahkan pemerintah menyiasati kondisi ideal agar rakyat tidak punya kehendak untuk memberontak dan melawan keadaan.

Kritikus tidak lagi kencang suaranya ketika ditawari jabatan. Kehidupuan segelintir orang yang hidup bermewahan hanya menjadi hiburan rakyat miskin yang berdasarkan data BPS terbaru meningkat 9,57 persen. Kesenjangan ekonomi diwajarkan dalam negara yang menganut asas keadilan. Konstitusi sengaja mutlak dikendalikan pemerintah dan kritikus tidak punya lagi kesadaran sense of crisis.

Kritik harus kembali disuarakan sebagai bagian dari iklim demokrasi. Orientasi pada keadilan dan kesajahteraan kolektif tanpa mengutamakan kepentingan diri (egosentris). Ada banyak elemen masyarakat yang perlu diselamatkan dan ada kepentingan negara yang mesti kembali dihidupkan.

Ditariknya kubu oposan politik, kaum ulama, dan kritikus senior menyisakan rakyat-rakyat yang kebingungan meratapi nasib di negara yang tidak lagi berideologi; berkonstitusi. Media juga perlu menyediakan wadah kritik agar tidak semakin anarkis pemerintah menjajah negaranya sendiri.

Belum selesai urusan domestik, pemerintah enteng saja menawarkan negaranya diakuisisi pihak asing dengan membukakan investasi. Berhutang yang kelak punya potensi dijualnya kedaulatan negara. Menyandarkan keputusan politik global, menjadikan negara pasar ekonomi asing, dan menanam modal investasi di banyak lahan rakyat miskin.

Kemiskinan jarang dipublikasikan, sedangkan objek kemiskinan tidak punya suara dan instrumen menyalurkan keresahannya selain menunggu kado pemerintah sebagai strategi mengatakan pada seluruh masyarakat bahwa Indonesia baik-baik saja. Pemimpin tidak punya lagi kekuatan dalam jeratan partai. Wakil rakyat diatur agar tidak menghalangi kerakusan pemerintah menguasai negara.

Kritik-kolektif adalah senjata menyadarkan pemerintah dari perilaku hedonisme. Membuka mata tentang kondisi memprihatinkan rakyat yang tidak punya suara. Kesenjangan ekonomi yang semakin tidak masuk akal. Generasi emas hanyalah ilusi di negara yang kritis tapi rakyatnya tidak lagi krisis.

Politik modern mematikan nalar objektif dengan sistem polarisasi. Rakyat dibentuk untuk sibuk bermusuhan. Sementara pemerintah menjadi sutradara drama politik. Disadarkan pada politik Orde Baru yang menyingkirkan lawan politiknya untuk berkuasa, sementara sekarang dan yang akan datang dengan mengajak lawan politik sama-sama menikmati kekuasaan.***

Integritas pemimpin akan berimplikasi pada penciptaan sistem budaya kerja. Dalam tataran lingkungan kerja, manajer punya andil peningkatan k...

Integritas Pemimpin

Integritas pemimpin akan berimplikasi pada penciptaan sistem budaya kerja. Dalam tataran lingkungan kerja, manajer punya andil peningkatan kualitas budaya kerja bawahannya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa budaya dipengaruhi oleh hubungan sosial. Tradisi merupakan warisan, sementara budaya diajarkan.

Untuk membangun integritas seseorang perlu pemahaman mengenai nilai yang dipegang dari pengetahuan dan pengalaman yang pernah didapat. Aktualisasi dari nilai merupakan bentuk moralitas yang jika konsisten akan meningkatkan integritas seseorang. Mempertahankan integritas akan memberikan teladan dan membentuk budaya kerja.

Tanggung jawab pemimpin yang berintegritas diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan atau organisasi. Secara komunal, sikap berintegritas akan dibudidayakan yang dimulai dari cerminan pemimpin. Kekompakan budaya kerja yang diidentifikasikan dari reaksi rangsangan lingkungan akan memberikan pemahaman tentang proses pengendalian internal dan proses partisipasi eksternal.

Integritas umumnya dihubungkan dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang baik (Audi & Murphy, 2006). Pemimpin harus memiliki ikatan afeksi pribadi, perasaan belas kasih, dan emosi moral dalam setiap pengambilan kebijakan. Nilai yang dipegang harus komitmen dilakukan agar budaya bisa dipertahankan.

Setiap orang individu secara sadar harus menentukan dan mengintegrasikan berbagai keinginan menjadi kehendak yang terpadu agar terbangun budaya yang kompak. Namun tidak ada persyaratan normatif dalam pemberian atribut tokoh yang memiliki integritas. Intergritas hanya dinilai dari kemampuan seseorang dalam membangun, memelihara, dan mentransformasikan proyeksi hidup menjadi identitas diri yang berbudaya.

Itulah kenapa integritas selalu berkorelasi dengan moralitas. Semakin rendah moralitas pemimpin, semakin rendah pula kualitas budaya kerja. Akibatnya, standar moralitas dalam lingkungan kerja akan menurun. Aspek sosial seperti konflik antarpersonal, manipulasi kinerja, dan orientasi individu dalam lingkungan kerja akan sering terjadi. Budaya kerja yang berintegritas tidak akan pernah terbentuk.

Indikator menilai integritas pemimpin dapat dilihat dari sistem budaya yang dibangun. Dimulai dari komitmennya memegang nilai dan konsistensinya menjaga moral dalam bekerja. Sebagai pemimpin, prioritas kelompok akan lebih diutamakan dari kepentingan pribadi.

 

Baca Juga : Mencari Pemimpin yang Se(n)iman

Pilihan Presiden

Integritas calon presiden Republik Indonesia menjadi faktor utama yang menentukan calon pemilih di pemilu 2024. Elektabilitas tentu dipengaruhi dari integritas seseorang ketika menjadi pemimpin. Konsistensi tokoh mengimplementasikan nilai hidup akan meningkatkan integritas dan elektabilitasnya. Demikian yang menyebabkan pencitraan politis perlu dilakukan untuk menunjukkan integritas tokoh.

Perilaku dan pengambilan keputusan secara amoral akan mereduksi tingkat kredibilitas seseorang. Meskipun iklim politik penuh dengan intrik kebijakan untuk mempengaruhi keputusan pemilih, namun rekam jejak kepemimpinan bisa dijadikan parameter integritas seseorang. Keterbukaan informasi mencatat komitmen calon pemimpin dari diaplikasikannya janji kampanye, usaha mengubah budaya kerja yang tidak sehat, dan terpenuhinya keinginan mayoritas masyarakat.

Pilihan presiden 2024 menjadi ajang tokoh potensial meningkatkan integritas kepemimpinannya saat ini. Mengubah paradigma negatif masyarakat menjadi apresiasi penciptaan budaya organisasi yang berkeadilan dan bertanggung jawab. Revolusi budaya dibutuhkan masyarakat ketika banyak yang sinis terhadap kinerja kepemerintahan.

Namun komitmen mengubah budaya kerja pemerintah perlu dimulai dari pembangunan integritas diri. Menjauhi tindakan yang bertentangan dengan moral yang dipegang secara komunal di masyarakat. Mengurangi kebijakan yang bertentangan dengan nilai dan norma bangsa. Vitalitas atau daya hidup partikularitas perlu diutamakan untuk kebaikan bersama dalam komunitas yang ideal.

Dari kepemimpinan yang berintegritas akan menciptakan budaya kerja sama dan bertanggung jawab mewujudkan tujuan organisasi. Representasi integritas pemimpin secara nyata dapat dilihat dari sikap kesederhanaan, kedisiplinan, visioner, keberanian, kesabaran, kerja keras, dan bertanggung jawab. Meskipun faktor selain integritas punya pengaruh tersendiri keterpilihan calon presiden, seperti bentukan koalisi partai dan relasi keagamaan.

Membentuk integritas tidak bisa secara instan dari pencitraan di media. Ada komitmen panjang menciptakan budaya kerja yang bermoral dan memegang teguh nilai-nilai hidup untuk mencapai tujuan bersama. Elektablitas punya pengaruh besar keterpilihan calon presiden akibat dari promosi integritas yang dilakukan selama menjadi pemimpin daerah atau organisasi.

Namun integritas tokoh tidak bisa disepakati seluruh masyarakat karena perbedaan nilai dan moralitas yang dianutnya. Sementara banyak variabel integritas sesorang yang berbeda antara satu individu dengan yang lainnya. Ada yang lebih mengutamakan faktor kejujuran, keberanian, kesederhanaan, kecerdasan, hingga atribusi keagamaan.***

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Lan...

Langgar dan Sanggar

Langgar, surau, meunasah, atau musala identik dengan bangunan tempat ibadah umat Islam yang memiliki ukuran relatif kecil dan sederhana. Langgar umumnya dibuat dari kayu dan berdinding anyaman bambu. Hingga banyak orang Jawa hingga Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan kata dari musala.

Sementara sanggar merupakan wadah mengembangkan kesenian tradisi. Langgar dan sanggar merupakan interpretasi konsep budaya lokal untuk memfasilitasi dakwah keagamaan dan kesenian. Gambaran mengenai berkawinnya agama dan seni dalam membentuk karakter dan moralitas masyarakat. Belajar agama ke langgar, belajar seni ke sanggar.

Hal ini selaras dengan dakwah walisongo yang menggunakan instrumen kesenian wayang, gamelan, hingga tembang untuk menyiarkan agama Islam. Akulturasi agama dan budaya mencentuskan konsep Islam Nusantara. Masyarakat Jawa yang kental dengan tradisi disesuaikan dengan nilai-nilai keagamaan dengan menciptakan kesenian berbasis religiusitas.

Keberadaan langgar dimakani tidak seformal kegiatan di Masjid. Langgar bisa difungsikan sebagai wadah diskusi, silaturahmi, bahkan kegiatan yang berorientasi kesenian. Demikian halnya dengan sanggar yang bisa difungsikan sebagai media dakwah mengajarkan agama tanpa pidato formal syariat yang mengikat.

Saat ini sebutan langgar perlahan punah, sementara eksistensi sanggar masih banyak digunakan bahkan untuk komunitas kesenian kontemporer. Seni tari, teater, hingga ketoprak masih bangga menggunakan istilah sanggar untuk menunjuk sekretariat tempat menggodog ide, latihan, hingga pementasan. Belum ada padanan kata yang menggusur eksistensi sanggar dalam bidang kesenian.

 

Baca Juga : Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Dikotomi

Keagamaan dan kesenian masih dianggap sebagai entitas ajaran yang berseberangan. Aktivitas seni yang ekspresif dan bebas bertentangan dengan nilai agama yang kaku dan mengikat bagi pemeluknya. Faktor perilaku, batasan aurat, hingga variabel drama dan musik yang mulai ada pelarangan dari sebagian mazhab agama. Kesenian perlahan tersisih dari kesatuan keagamaan yang dulu berelaborasi membentuk kebudayaan bangsa.

Pelaku seni dipersepsikan sebagai bagian dari kaum urakan dan tidak senonoh. Akrab dengan kemaksiatan dan barang-barang haram seperti minuman keras dan narkoba. Seniman butuh media berimajinasi dan berkreasi untuk menciptakan sebuah karya yang kadang dipenuhi dengan mengonsumsi sesuatu yang membuatnya rileks. Meski terlalu konyol menyimpulkan semua pelaku seni dekat dengan kemaksiatan.

Sementara agama erat berkaitan dengan kesopansantunan, kesunahan, dan ketaatan. Batasan antara seni dan agama yang menjadi dikotomi kehidupan. Berkesenian diibaratkan tidak beragama dan sebaliknya. Padahal kemampuan suatu perilaku untuk mengungkapkan emosi keagamaan selaras dengan daya pesona (enchantment) yang dimiliki oleh perilaku seni.

Agama dan seni yang memiliki hubungan bersifat saling melengkapi, kontradiksi dan bentuk akulturasi karena adanya hubungan saling mempengaruhi antara satu nilai dengan nilai berbeda (Lysen, 1972). Keterikatan seni dan agama di Indonesia mengubah warna baru Islam yang moderat dan “lentur”. Tidak dipahami kaku dan memaksa.


Baca Juga : Hidup untuk Berteater

Seni Beragama

Peradaban modern manusia mulai terpenjara dalam paradigma rasionalitas. Saat ini manusia belum mampu menerima kekayaan dimensi yang terperangkap pada kebenaran moral dan rasionalitas saja. Seni seharusnya menjadi jalan untuk mengatasi degradasi moral manusia itu sendiri.

Dalam kacamata seni, kebenaran tidak selalu berbentuk kebaikian dan sebaliknya. Seniman akan mengolah segala hal yang dialaminya menjadi wujud keindahan dengan landasan nilai estetika. Perasaan dan intuisi merupakan alat bagi pelaku seni menemukan kebenaran yang paling mendasar, universal, dan abadi.

Menurut Jakob Sumardjo, seni punya korelasi mendalam dengan agama dalam menemukan kebenaran. Kehadiran sesuatu yang transendental dalam suatu kepercayaan dapat ditemukan dalam kesenian. Sebab seni bertujuan menciptakan suatu realitas baru dari kenyataan pengalaman yang nyata.

Agama bersifat statis, sedangkan seni bersifat dinamis. Kontradiksi ini menjadi parameter sulitnya menggabungkan unsur keagamaan dan kesenian dalam menjalani kehidupan. Padahal seharusnya Agama memberi petunjuk pada manusia tentang bagaimana potensi manusia dapat dikembangkan, khususnya dalam berkesenian.

Beragama harus punya sifat dan sikap keindahan yang digambarkan Tuhan dalam kewelasasihannya. Seni bisa menjadi instrumen melunakan ego dan nafsu beragama seseorang. Seni dihayati sebagai pengejawantahan konsep ketauhidan yang nyawiji dalam benda dan perilaku alam. Seni hanya mengolah ide yang meniru kejadian dan keindahan alam untuk diimplementasikan dalam karya.

Seni pondasi mendidik kebatinan (rasa, karsa, dan karya) manusia agar tidak terlalu konservatif dalam beragama. Konsep mengawinkan sanggar dan langgar adalah gagasan progresif melihat realita kesenian dan keagamaan saat ini. Lebih ekstrem lagi, seni (sanggar) dan agama (langgar) merupakan entitas kehidupan yang mustahil dipisahkan.***

Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju da...

dunia filsafat

Radikalisme masih menjadi objek menarik melucuti kelompok politik dan agama. Kata yang semula diartikan sebagai gagasan mendasar dan maju dalam berpikir atau bertindak dikonotasikan sebagai aliran gerakan yang amat besar untuk menuntut perubahan. Kemudian disematkan pada ajaran agama yang diafiliasikan dalam bentuk politik identitas untuk menyunat kantong suara di pemilu.

Dalam beberapa hal terkait nilai keagamaan, radikalisme kerap disematkan pada kelompok Islam puritan yang kemudian diarahkan dalam gerakan “kriminalitas” dan terorisme. Istilah wahabisme, hizbut tahrir, hingga salafi dijadikan dalih menyerang ideologi yang berseberangan. Nahdlatul Ulama tampak organisasi yang paling getol menarasikan ketidaksetujuannya dengan ajaran Islam konservatif yang tumbuh subur di media sosial.

Tak ayal, banyak santri dan ustaz dari kalangan nahdliyin “perang medsos” untuk memberikan argumentasi kontra-narasi ulama-ulama wahabi. Menyuguhkan dalil dan logika berpikir tentang konsep agama yang relevan dengan perkembangan zaman. Namun dogma dan fanatisme mengenai keyakinan menyebabkan perbedaan terhadap penafsiran agama selalu dijadikan materi perdebatan.

Dengan bumbu politis, agama terlihat sebagai alat melegalkan kebencian dan kekerasan. Memanfaatkan tren islamisme modern untuk menggiring opini publik membenci individu atau kelompok lain. Kerentanan pemahaman agama secara komprehensif mengabaikan bahaya kebencian agama seperti perang saudara di Timur Tengah.

Bahkan saking meloyanya, pemerintah menyusun strategi khusus (dalam bentuk kebijakan) untuk menangani penyebaran paham radikalisme. Lembaga BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), hingga Densus 88 bergerak aktif melawan radikalisme agama. Pemerintah juga berafiliasi dengan lembaga negara, kepolisian, dan akademik untuk menahan laju persebaran ajaran radikalisme.

Bulan Juli 2022, BNPT menyebut ada 33 juta penduduk terpapar radikalisme di Indonesia. Kemudian media memberikan framing tentang bahaya radikalisme dalam tatanan sosial, agama, dan kedaulatan. Mengidentifikasi ideologi agama tertentu terhadap gerakan radikalisme tentu dinilai tidak adil. Apalagi Indonesia kerap menggaungkan sistem demokrasi dan pancasila yang menghendaki adanya hak kebebasan beragama.

 

Baca Juga : Fahruddin Faiz, Menghilangkan Skeptisisme Filsafat

Kontemplasi

Kesalahan melihat perilaku kriminalitas atas nama agama hingga bom bunuh diri tidak bisa dilimpahkan pada keputusan seseorang meyakini prinsip beragama yang disediakan di lingkungan atau media digital. Semua punya hak untuk fanatik pada ulama dan ajaran yang dianggapnya baik. Dalam orientasi “perebutan umat”, seharusnya masing-masing ideologi atau aliran agama menyajikan platform atau konten yang menarik sebagai wadah mengajarkan ilmu, bukan dengan menghakimi kajian kelompok lain.

Kita perlu berkaca pada pernyataan Prof. Koentjaraningrat bahwa mental manusia Indonesia itu tidak suka berpikir logis, tidak suka berusaha gigih dan tekun, suka menerabas dan meremehkan mutu, tidak percaya diri, tidak disiplin, dan suka mengabaikan tanggungjawab. Begitu juga dengan kritikan Mochtar Lubis bahwa manusia Indonesia pada umumnya bermental munafik, berjiwa feodal, percaya takhyul, berwatak lemah, boros, malas, suka mengeluh, mudah dengki, arogan, dan tukang tiru.

Itulah yang menjadi dasar Jokowi aktif menyuarakan revolusi mental. Bahwa karakter dan sifat manusia Indonesia -termasuk kita sendiri- jauh dari kata tercerahkan. Dari nilai budaya, perlu diakui bahwa kita adalah bangsa yang suka meniru gaya hidup negara lain. Sementara dalam ranah agama, ideologi transnasional mudah tersebar melalui media daring. Keterbelakangan mental bangsa diperparah dengan miskinnya nilai spiritualitas yang berdampak pada sikap anti kebijaksanaan.

Perlu banyak perubahan dari lembaga pendidikan untuk membiasakan masyarakat berpikir logis dan sistematis. Sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh dogma agama yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Kepatuhan berpikir dimuali dari penyediaan pelajaran filsafat untuk mengajari berpikir runtut. Masyarakat harus dibiasakan belajar filsafat untuk menghilangkan stigma negatif tentang pertentangan ajaran agama dan filsafat.

Agama harus bisa dipahami secara logis ketika ilmu pengetahuan tersebar di internet. Ketidakcakapan belajar agama tanpa dilandasi pikiran yang logis berimplikasi pada rendahnya kualitas keyakinan seseorang. Agama dianggap sebagai objek suci yang dilarang untuk dipertanyakan dan dikritisi. Perdebatan seputar dalil atau tafsir agama tidak akan pernah menemukan jalan keluar selain kepatuhan pada logika berpikir.

Sayangnya, kajian filsafat masih dianggap tabu bagi kalangan muslim. Bahwa belajar filsafat rentan pada pembentukan keyakinan atau idelogi liberalisme. Ketika menjelaskan masalah agama dengan dasar filsafat akan mudah dicap liberal, sementara pikiran konservatif akan dicap radikal. Demikian yang menjadi bahasan rutin dalam beragama di media sosial.

Padahal akar tumbuhnya paham radikalisme dan sifat kebencian dimulai dari kemalasan masyarakat -termasuk kita sendiri- untuk berpikir. Sementara landasan berpikir adalah filsafat. Sebuah hadis dari kitab al-Awsath, bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Ciptaan Allah pertama adalah akal. Lalu, Allah memerintah kepada akal, 'Menghadaplah', akal itu pun menghadap. Lalu Allah memerintahkan, 'Renungkanlah', maka akal itu pun merenung,”***

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari sa...

Tantangan Seabad NU

Kita perlu menyepakati bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisai masyarakat terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Meski lebih muda dari saudara tuanya Muhammadiyah, NU punya basis masa yang cukup fanatik, khususnya di lingkup pondok pesantren. Bahkan sekarang aktif merambah dunia pendidikan formal dan kesehatan.

Peran politis NU sebagai jembatan pemerintah dan rakyat juga menjadi daya tawar pengurus mengembangkan sayap dominasi keagamaan di Indonesia. Konsep pribumisasi Islam relevan dengan budaya bangsa terkait praktek ibadah. Sementara Islam puritan yang mulai berkembang di media sosial kembali mendapat tantangan dari intelektual muda NU.

Berbagai sektor coba disasar NU untuk mempertahankan tujuan menjaga NKRI dan keberagaman. Tantangan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dijawab secara ilmiah oleh kemunculan ulama-ulama muda NU. Keanggunan NU dalam belantikan keagamaan dan kemasyarakatan Indonesia menarik minat generasi milenial di daerah urban dengan mendirikan berbagai organisasi atau komunitas yang berafilisasi dengan NU.

Bangunan konsep keaswajaan yang selaras dengan jati diri bangsa membawa seabad NU konsisten memfasilitasi kebutuhan spiritual masyarakat. Pesantren bukan lagi satu-satunya poros kekuatan NU, namun lebih berkembang ke berbagai lembaga pendidikan dan kajian ilmiah. Menawarkan kajian yang progresif dan mengikuti minat generasi milenial yang aktif bermedia sosial.

Perekrutan generasi muda dalam kepengurusan PBNU menjadi gagasan brilian menghadapi tantangan perubahan zaman. Menyiasati berbagai ancaman yang menyasar budaya masyarakat, doktrinasi melalui media digital, dan strategi “mengislamkan” Indonesia. Fitnah, penggiringan opini, dan sebaran informasi hoaks untuk menjatuhkan NU menambah kokoh organisasi sepanjang waktu.

Jelang seabad NU, pengurus punya tantangan menjadi stabilitator politik dan mewujudkan cita-cita bangsa. Menguatkan ideologi agar tidak mudah dipengaruhi iming-iming kekuasaan di pemerintah dan konsisten berada di belakang kelompok minoritas sebagai aktualiasi dari karakter tawassuth, tawazun, i’tidal, dan tasamuh.

 

Baca Juga : Nahdliyin yang Maiyah

Pondok Pesantren

Sebagai pilar organisasi, pondok pesantren memunculkan cendikiawan muslim yang bakal meneruskan perjuangan NU. Berdasarkan data dari Kemenag, per bulan April 2022, jumlah pesantren di Indonesia ada 26.975 unit. Meski tidak bisa diklaim seluruhnya berafiliasi dengan NU. Namun citra pesantren sebagai simbolisasi NU menegaskan tentang kekuatan organisasi dari nilai pendidikan, politik, dan sosial kemasyarakatan.

Tantangan berikutnya bagaimana NU bisa memberikan fasilitas bagi pondok pesantren agar tetap diminati masyarakat. Eksplorasi dunia digital tanpa meninggalkan pedoman dasar kepesantrenan. Menawarkan inovasi yang tidak bisa ditawarkan teknlogi dengan kecerdasan buatannya. Solusi mempertahankan pesantren dari gencaran sistem pendidikan yang lebih fleksibel dan terbuka.

Diketahui bersama bahwa banyak pesantren yang menerapkan sistem kaku memperlakukan santrinya. Batasan akses informasi, sosialisasi di luar pesantren, dan aktualisasi keahlian menjadikan santri jenuh dan tidak betah. Tidak ada tawaran lain selain penguasaan ilmu keagamaan dan pembentukan karakter santri. Meski beberapa sudah berevolusi menuju pesantren modern, masih banyak pondok pesantren salaf yang mempertahankan nilai-nilai kepesantrenan generasi sebelumnya.

Tentu tidak bisa disimpulkan bahwa keterbukaan akses punya dampak positif bagi santri di pesantren. Perilaku amoral anak-anak sekarang disebabkan karena tidak adanya kontrol dari yang berkepentingan. Ketidaksiapan mental menerima kecangihan teknologi mengubah karakter anak. Pesantren seharusnya punya daya tawar mencetak generasi berkualitas yang bermoral. Apalagi Indonesia bersiap menghadapi periode generasi emas di tahun 2045.

Penataan pesantren juga harus menjadi fokus NU agar tidak menimbulkan citra buruk. Kasus asusila dan kekerasan di pondok pesantren yang dipotret media dan disebarluaskan akan mereduksi kualitas pesantren. Kekhawtiran orang tua menyekolahkan anaknya di pesantren akan menurunkan sumber daya NU di masa depan.

Satu-dua kasus pesantren berdampak pada pandangan miring masyarakat yang ingin memasrahkan (santri mukim) anggota keluarganya (tanpa kontrol orang tua). Tidak adanya filterisasi pembangunan dan pengembangan pesantren di lingkungan masyarakat secara tidak langsung mencederai NU.

Semua punya hak mendirikan pondok pesantren meski bukan dari kalangan NU atau alumni santri. Konsep swadaya masyarakat yang kemudian berkembang dengan memanfaatkan internet sebagai media promosi. Labelisasi ulama atau kiai juga tidak jelas standarisasinya. Pondok pesantren berkembang, kualitasnya diperdebatkan. Belum lagi kepentingan ideologi di luar NU yang memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat menidentifikasi ajaran pondok pesantren.

Apa pun itu, seabad NU merupakan pijakan menuju perubahan yang lebih baik. Pondok pesantren perlu kesadaran tentang pentingnya citra dengan tetap berinovasi dari sistem pengelolaan pesantren dan cara pengajaran yang menarik bagi santri. Keberadaan pesantren dan NU masih menjadi benteng NKRI dari segala intrik perpecahan atau perang saudara, bukan hanya tentang perselisihan praktek keagamaan, namun juga faktor politik.***

  “ Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu ” Saya sering mengatakan bahwa saya adalah muslim yang jarang berdoa terkait kebu...

 

doa manusia muslim

Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu

Saya sering mengatakan bahwa saya adalah muslim yang jarang berdoa terkait kebutuhan dan keinginan dunia. Tentu akan bertolak belakang dengan firman Allah Swt dalam QS. Ghofir ayat 60 tentang kewajiban manusia untuk berdoa. Ketidakmauan berdoa menyimbolkan kesombongan yang diancam Neraka Jahanam dalam keadaan yang sehina-hinanya.

Alasan saya jarang berdoa bukan karena kesombongan, melainkan ketidakpantasan meminta kepada Tuhan sebab kesadaran akan belum patuhnya saya menjalankan perintah dan larangan-Nya. Analogi yang sering saya ceritakan adalah ketika orang tua menyuruh anaknya untuk membantu pekerjaan rumah atau memberikan larangan terkait aturan keluarga namun kerap dilanggar. Lantas sekonyong-konyong anak meminta dibelikan sesuatu.

Bagi orang tua yang kasihan kepada anaknya mungkin tetap akan dituruti keinginannya, namun dengan perasaan jengkel dan kecewa. Sementara bagi orang tua yang tegas akan menolak permintaan anak. Relasi pemberian dan permintaan ini yang menjadi landasan saya jarang berdoa terkait keinginan terhadap dunia. Saya belum benar-benar beriman dan bertakwa.

Daripada berdoa untuk diri sendiri, saya lebih senang mendoakan orang lain, khususnya orang tua dan guru ngaji. Saya meyakini doa adalah bumerang yang akan berbalik kepada diri sendiri. Doa baik akan menjadi baik, doa buruk akan menjadi buruk. Selain itu, saya lebih suka berdoa terkait pemenuhan kebutuhan akhirat seperti ampunan terhadap dosa, menjauhkan dari siksa api neraka, dan mengharap rida Allah.

Saya takut keterikatan pada dunia mengalihkan fokus beribadah kepada Tuhan. Lebih menuhankan kekayaan, popularitas, dan jabatan daripada menuhankan Tuhan itu sendiri. Kecewa ketika doa tidak dikabulkan dan lupa bersyukur ketika sudah dikabulkan. Doa hanya dijadikan sarana formalitas, sedangkan keberhasilan dianggap karena usahanya sendiri, tanpa melibatkan Tuhan.

 

Baca Juga : Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Model Berdoa

Esensi doa adalah meminta sesuatu kepada yang lebih tinggi derajatnya. Ada beberapa tipe doa yang dipraktekan manusia dengan gaya mengemis, gaya bersyair, dan gaya eksistensial. Gaya mengemis adalah metode berdoa yang selalu meminta dan selalu menuntut dikabulkan. Gaya bersyair lebih berfokus pada kondisi bersyukur terhadap apa yang sudah diberikan oleh Tuhan dengan ungkapan-ungkapan pemujian. Sementara gaya eksistensial adalah metode doa dengan menyatukan diri kepada Tuhan untuk mendapatkan rida.

Berdoa bagi saya meminta dan menuntut Tuhan atas terkabulnya keinginan. Etika pengabdian ini yang menjadi keresahan saya jarang berdoa, apalagi doa yang tidak diimbangi dengan rayuan (pujian). Secara tingkatan, sepantasnya Tuhan memerintah manusia, bukan sebaliknya. Namun ada juga strategi berdoa dengan munajat atau curhat dengan menginginkan sesuatu secara tersirat.

Tuhan adalah penguasa, bukan pembantu yang senak-enaknya diperintah mengabulkan permintaan kita. Tuhan punya segalanya dan mengetahui apa pun yang menjadi kebutuhan setiap manusia. Menuntut Tuhan dengan dalih kewajiban berdoa tidak menunjukan sikap etis seorang hamba. Apalagi berdoa terhadap sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungan untuk semakin mendekatkan kepada Tuhan.

 

Baca Juga : Fase Manusia Beragama

Doa Nabi

Doa adalah teka-teki Tuhan untuk manusia. Doa populer Nabi Adam misalnya, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.” Menisbatkan doa pada sikap penyesalan tanpa tendensi mengharap sesuatu dari kebutuhan dunia.

Ada juga doa Nabi Yunus ketika ditelan Ikan Paus, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim,” Nabi Yunuh tidak secara tersirat meminta kepada Tuhan untuk dikeluarkan dari perut ikan, namun lebih kepada kesadaran diri akan kezalimannya.

Puncaknya adalah munajat Nabi Muhammad ketika tiba di Kota Thaif untuk menyebarkan agama Islam, “Ya Allah. Kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku? Atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli.”

Banyak lagi doa para nabi yang tidak secara tersurat berdoa untuk kebutuhan dunia seperti pekerjaan mapan, jodoh yang rupawan, kekayaan harta, meraih jabatan, hingga populer di lingkungan. Nabi mencontohkan doa tentang kesadaran diri yang zalim dan mengharap ampunan Tuhan. Kemudian Tuhan memberikan berbagai macam kebahagiaan dan kemudahan terhadap urusan dunia.

Tuntutan atas nama doa kepada Tuhan membalikan posisi pemberi dan peminta. Takutnya, niat berdoa malah berdosa sebab tidak tercapainya segala keinginan yang dituntutkan kepada Tuhan. Sementara kita masih jauh dari istikamah ibadah dan hobi bermaksiat. Pantaskah kita berdoa?***

  Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui seba...

 

Eksploitasi Kesedihan

Fajar Labatjo alias Fajar Sadboy menjadi populer di berbagai platform digital karena keberuntungannya menjual kesedihan. Ia diketahui sebagai remaja asal Gorontalo yang patah hati ditinggal pacarnya. Meski terkesan receh, konten kesedihan tersebut banyak diminati masyarakat Indonesia yang suka tertawa di atas kesedihan orang lain.

Selain Fajar Sadboy, musibah yang dialami artis Indra Bekti juga menjadi fenomena kesedihan yang mencoba dieksploitasi media. Upaya istrinya, Aldila Jelita yang menjual kesedihan dengan meminta sumbangan untuk pengobatan suaminya mendapat nyinyiran warganet. Setidaknya ada dua kasus kesedihan yang diperlakukan dengan sikap berbeda, meski keduanya minim mendapat empati masyarakat.

Kesedihan adalah aktivitas privasi yang seringkali dipublikasikan. Bahkan beberapa di antaranya butuh atensi untuk memerkan kesedihannya kepada orang lain. Dari kesedihan akan muncul penderitaan yang lahir dari pikiran, meski sifatnya sementara. Kita sulit menjadi pengamat yang netral melihat kesedihan orang lain karena ketidakmauan belajar dari penderitaan.

Kita harus membiasakan diri menerima kesedihan sebagai bagian dari hidup agar mudah berempati terhadap kesedihan orang lain. Bukan dengan cara mengolok-olok atau mengeksploitasi kesedihan seseorang dengan menjadikannya bahan konten. Kesedihan (duka) muncul akibat pikiran belum siap menerima perubahan besar yang tidak sesuai dengan ekspektasi (harapan).

Kesedihan bisa menimbulkan rasa kecewa, marah, dan perasaan tidak berdaya. Mereka yang tidak siap dengan kehadiran kesedihan akan mudah menyesal dan berdampak pada tindakan menyalahkan diri sendiri. Kesedihan seharusnya membutuhkan motivasi dari orang lain, bukan malah mempermalukannya di depan publik.

Semua orang memimpikan kebahagian sesuai pandangan (Rousseau, 1979) bahwa manusia punya modal berbahagia seperti halnya anak kecil sebelum diprogram oleh keluarga dan lingkungan sosialnya. Anak kecil menjalani hidup apa adanya, tanpa ada harapan dan ketakutan yang berlebihan pada hidup.

Manusia dikepung krisis penderitaan, kekecewaan, harapan, dan rasa bersalah. Muaranya adalah tindakan pelampiasan yang berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Kita jarang belajar memaafkan dan mengikhlaskan. Sementara budaya membentuk sikap individualistik yang berbahagia melihat kesedihan orang lain.


Baca Juga : Budaya Insecurity Bangsa

Trauma Sosial

Perilaku mengontenkan kesedihan orang lain cukup menarik dari sisi hiburan dan komersial. Banyak buku, film, dan lagu menjadi populer dengan tema kesedihan. Hal tersebut karena masyarakat banyak yang relate dengan emosi kesedihan. Seolah rasa sedih mendominasi perjalanan hidup manusia daripada rasa bahagia.

Kondisi mental yang akrab dengan kesedihan mendorong sikap traumatis. Ketika kesedihan dikonsumsi publik, perasaan tersebut akan menjadi duka kolektif karena belum rampungnya kesedihan diri sendiri. Kesedihan yang menghasilkan trauma menjadi distorsi yang membekukan sebuah peristiwa negatif.

Trauma adalah bekas luka dari suatu peristiwa negatif di masa lalu. Manusia tidak cukup untuk berempati dan bersimpati dalam situasi kesedihan. Terlihat hanya naluri hewani manusia melihat sesamanya menderita. Semakin parah korban mengalami luka, semakin bergairah kita mengamatinya. Secara psikologis, trauma adalah proses penghayatan subjektif-negatif atas suatu peristiwa yang objektif.

Semua bentuk trauma personal akibat kesedihan dialami secara konkret oleh individu singular, tetapi akibat dari trauma akan terasa di dalam resonansi rasa kemanusiaan. Secara sosial, kesedihan tidak lagi dipandang sebagai trauma kolektif yang membutuhkan empati dan simpati dari yang lain. Namun secara tidak disadari, manusia dihantui kesedihan kolektif yang kerap bersembunyi di balik ekspresi kebahagiaan.

Mengolok-olok kesedihan orang lain merupakan sikap ketidakmampuan manusia mengendalikan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual dalam dirinya. Dalam alam bawah sadarnya, kesedihan orang lain adalah teman yang sama-sama menjalani trauma. Bekas kesedihan masa lalu akan membawa manusia pada dimensi suka mencelakakan orang lain dan bahagia melihat kesedihan yang dialami.

Dampak trauma sosial akan membawa manusia pada bentuk prasangka negatif terhadap etins, agama, dan kelompok minoritas. Kemudian faktor politik, ekonomi, dan benturan budaya melahirkan konflik dan sikap amoral di masyarakat.

Entitas sosial tidak berupaya menyembuhkan kesedihan orang lain, namun justru mengeksploitasinya. Trauma seharusnya dihilangkan (dilupakan), tetapi sebagian orang justru memaksa korban mengingat kembali masalah yang pernah dialaminya. Mengoontenkan dan mengomersilkan untung keuntungan pribadi. Anehnya, aktivitas tersebut justru dijadikan hiburan publik.

Perundungan sosial atas kesedihan orang lain menjadi potret kemanusiaan saat ini. Meski dianggap remeh, setiap orang punya tingkat kesedihan masing-masing terhadap realita yang dialaminya. Kadang membekas dan menjadi trauma. Namun kebanyakan, masyarakat tidak mempedulikan perasaan korban selain menjadi bahan komedi di ruang publik.***

Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas ju...

Edukasi Selebritas

Bicara tentang kehidupan selebirtas, masyarakat perlu menyadari tentang filterisasi informasi yang bermanfaat atau sebaliknya. Selebritas juga bagian dari masyarakat yang berpotensi melakukan kesalahan dalam perkataan maupun tindakan. Meski fanatisme kadang mereduksi nalar kritis terhadap pesohor yang diidolai.

Kebebasan berekspresi menjadi dalih selebritas melakukan hal-hal yang melanggar nilai-nilai budaya dan keagamaan. Masyarakat disajikan tontonan yang tidak layak konsumsi. Sementara selebritas sekonyong-konyong memberikan pernyataan kepada masyarakat untuk cerdas memilih konten yang sesuai kebutuhannya. Tidak ada paksaan untuk menonton kontennya.

Kita tidak bisa berharap lebih tentang konten yang mengedukasi kepada selebritas ketika orientasinya adalah popularitas dan pendapatan. Aturan hukum juga tidak jelas dan tegas memberikan arahan pada konten yang ditampilkan di platform digital yang saat ini menjadi kebutuhan primer masyarakat. Dampaknya, banyak masyarakat hingga anak-anak mengikuti pola perilaku selebritas yang ditontonnya.

Pengaruh selebritas terhadap perubahan budaya perlu dianalisis untuk menentukan kebijakan penyiaran. Tokoh publik harus punya tanggung jawab moral, selain kebutuhan komersial. Apalagi fungsi pendidikan formal banyak digantikan dengan pendidikan digital. Anak-anak yang dibiasakan menonton konten selebritas punya naluri meniru perkataan dan perilaku yang kadang tidak sesuai etika (nilai dan norma) di masing-masing daerah.

Dunia digital yang menampilkan pesohor tanah air sudah menyatu dalam kehidupan sosial masyarakat. Realitanya, pola pikir dan perilaku di masyarakat sudah tidak sejalan dengan perkembangan teknologi digital. Goncangan budaya membawa masyarakat pada titik krisis identitas. Masyarakat tidak lagi berpikir rasional, kritis, sistematis, dan reflektif di berbagai bidang kehidupan.

Media sosial menjadi medium menampilkan citra sebagai perwujudan abstraksi realita. Membangun persepsi atas bayangan realita. Kanalisasi pemikiran dalam program media sosial diarahkan membentuk pola perilaku tertentu. Dalam negara hukum demokratis, selebritas harus diedukasi dan dilatih secara moral. Tidak menyajikan tontonan yang membodohkan dan mengarah pada perilaku menyimpang.


Baca Juga : Seberapa Penting Pendidikan Bagi Wanita?

Etika Selebritas

Industri digital menjadi tawaran menarik secara ekonomi. Jutaan orang berlomba membuat konten untuk meraih popularitas (viral) dan keuntungan. Banyak selebritas dadakan keluar dari pekerjaan konvensional dan memilih menekuni dunia digital. Memanfaatkan paltform digital seperti YouTube, TikTok, Instagram, hingga Facebook.

Beberapa di antaranya rela melakukan aktivitas ekstrem seperti menyiksa orang tua (mandi tengah malam), membuat konten pornografi, hingga aksi Ria Ricis mengajak anaknya (balita) bermain jetski. Dalam program pendidikan parenting, kegiatan Ria Ricis jelas tidak layak dicontoh sebab berpotensi pada risiko kecelakakan pada anak. Namun kurangnya sikap kritis masyarakat, malah banyak yang mendukung aksi YouTuber tersebut.

Banyak lagi perilaku selebritas yang dijadikan konten tidak berorientasi pada pendidikan selain sikap kebodohan yang bakal ditiru banyak masyarakat, khususnya fansnya. Meski ketenaran kadang tidak diperoleh dengan niat dan usaha, menjadi selebritas harus siap risiko pada tanggung jawab moral. Maju dan hancurnya generasi mendatang bergantung pada sajian tontonan dari selebritas.

Bukannya menyesal, banyak selebritas yang semakin ngawur membuat konten dengan dalih kebebasan berekspresi. Prihatinnya, banyak generasi milenial yang malah antusias menyaksikan tontonan yang jauh dari moralitas bangsa. Semakin banyak kemunculan platform digital yang menjamin popularitas dan pendapatan, semakin bodoh dan berani masyarakat membuat konten agar viral.

Selebritas harus menyadari posisinya sebagai tokoh yang punya banyak pengaruh. Ketika menuntut diperlakukan sama dengan masyarakat lainnya, mereka harus bersedia meninggalkan gemerlap dunia digital. Selebritas harus menyadari dirinya sebagai produsen konten, bukan konsumen. Produsen berarti harus punya standar produk yang layak untuk dikonsumsi masyarakat.

Selebritas punya kebebasan menjual kesedihan, kekayaan, keteraniayaan, dan kebodohan di internet. Tidak semua orang punya kapabilitas menyaring informasi dan kritis terhadap konten digital. Penggunaan media sosial oleh kaum muda telah menjadi cara hidup dan aktivitas pribadi yang dibuat untuk publik (Edge, 2017).

Media sosial menambah volume dan frekuensi konten pada ranah yang jauh lebih personal. Kesadaran media sosial merupakan praktik perusakan diri didorong oleh perasaan ingin mencari sensasi atau perhatian dari publik. Setelah mencapai kepopuleran, mereka melakukan segala konsekuensi yang membahayakan diri dan orang lain (penonton konten).

Mengumbar ranah privasi yang tidak dibekali dengan edukasi dan etika sosial membahayakan perilaku masyarakat. Apalagi akses dunia internet banyak yang lepas dari pengawasan dan bimbingan orang tua. Selebritas tidak peduli dampak konten yang disajikan selain popularitas dan keuntungan. Sementara bangsa Indonesia menjadi korban kegagalan mengedukasi selebritas dalam membuat konten.***

Berkeluarga mempunyai beberapa fungsi seperti (1) fungsi biologis, yakni gagasan meneruskan kelangsungan hidup (keturunan) dan merawat kelua...

Pendidikan Bagi Wanita

Berkeluarga mempunyai beberapa fungsi seperti (1) fungsi biologis, yakni gagasan meneruskan kelangsungan hidup (keturunan) dan merawat keluarga dengan makanan/ minuman yang layak. (2) fungsi psikologis untuk memberikan kasih sayang dan rasa aman. (3) fungsi ekonomi dengan mencari sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup (nafkah). (4) fungsi pendidikan dengan menyekolahkan anak sebagai usaha memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai tingkat perkembangannya.

Di Indonesia, masih banyak yang menganggap tabu budaya pendidikan bagi anak wanita. Perspektif bahwa berkeluarga menyandarkan kebutuhan kepada pihak lelaki sebagai pencari nafkah. Sementara wanita hanya dijadikan objek eksploitasi pelayan keluarga. Pendidikan masih dianggap sebagai jalan meraih pekerjaan yang mapan, tanpa mempertimbangkan faktor pembentukan karakter, sikap kebijaksanaan, dan kecerdasan menyelesaikan masalah.

Kesenjangan gender yang menempatkan lelaki di posisi unggul mendapatkan pendidikan juga dipengaruhi faktor agama dan lingkungan. Wanita punya ketakutan menikah di usia matang karena dianggap tidak laku atau batasan menopause dan banyak yang memilih menikah di usia dini. Memaksa berhenti melanjutkan pendidikan dan memasrahkan nasib hidupnya kepada suami.

 

Baca Juga : Sistem Pendidikan Robot

Pendidikan Universal

Di tengah krisis pendidikan dalam negeri, perubahan peradaban melesatkan teknologi informasi yang memfasilitasi wanita memperoleh pendidikan nonformal. Meski tidak menawarkan gelar, elastisitas informasi di internet menyajikan berbagai pengetahuan untuk mendongkrak kualitas pendidikan wanita ketika berkeluarga. Melampaui sekat-sekat ruang kelas dan sekolah.

Hambatan selanjutnya adalah rendahnya minat literasi (belajar) secara daring. Dalam pendidikan formal, pelajar dididik dalam lingkungan yang fokus dan intens belajar. Ada nilai pembentukan karakter kedisiplinan, tanggung jawab, dan kompetitif. Tanpa pendidikan formal, wanita kehilangan suasana bersosialisasi. Mendiskusikan peran dan menyelesaikan masalah.

Manfaatnya, wanita yang memutuskan untuk tidak menyeriusi pendidikan formal akan terhindar dari sikap kritis, aktivitas hafalan buta, kepatuhan mutlak, dan hilangnya sikap kepemimpinan. Harus diakui, pendidikan Indonesia masih menerapkan sistem kuno yang mendidik pelajar menjadi objek pesuruh. Mencitakan menjadi pembantu alias bekerja ke perusahaan atau orang lain. Tidak diajarkan jiwa optimisme menjadi wirausaha atau pebisnis muda.

Keterbukaan informasi berisiko pada kurangnya filterisasi materi yang berpotensi hoaks. Tanpa bekal pendidikan yang diajarkan oleh guru atau dosen, wanita akan kesulitan memahami fenomena hanya dengan membaca informasi di internet. Apalagi tidak didukung dengan peran suami yang punya kewajiban mendidik istri dan anaknya.

Pendidikan yang diniatkan sebagai jembatan mendapatkan pekerjaan. Wanita akan berpikir panjang tentang konsep berkeluarga jika suaminya bekerja tidak pada satu tempat (kota). Kemudian banyak wanita yang mengalah ikut suami dan mengubur semua gelar pendidikan yang pernah diraihnya.

Urusan wanita hanya seputar sumur, kasur, dan dapur. Membersihkan rumah, memenuhi kebutuhan seksualitas, dan mencukupi kebutuhan makan/minum. Sementara istri/ibu merupakan pengajar dalam pendidikan awal anak dalam lembaga keluarga. Tanpa bekal pendidikan yang memadai, potensi keengganan belajar akan menular pada anak.

 

Baca Juga : Inovasi Guru Daring

Kurikulum Merdeka Belajar

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengeluarkan program Kurikulum Merdeka Belajar untuk memaksimalkan peserta didik agar memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan memperkuat kompetensinya. Kurikulum Merdeka merupakan opsi tambahan dalam rangka pemulihan pembelajaran selama 2022-2024.

Diharapkan kurikulum ini membuat materi menjadi lebih sederhana, mendalam dan fokus pada materi yang esensial. Guru juga memiliki keleluasaan untuk mengajar sesuai tahap capaian dan perkembangan peserta didik. Pelajaran akan lebih relevan dan interaktif dalam mengeksplorasi isu-isu aktual.

Revolusi pendidikan Indonesia belum mampu menjawab urgensi kebutuhan pendidikan wantia menjelang dewasa. Pendidikan nasional belum mampu menawarkan manfaat pendidikan bagi wanita, selain menghabiskan uang dan waktu. Bahkan di banyak desa, pendidikan tinggi bagi wanita masih tabu dan malah menjadi bahan olokan lingkungan sekitar. Jangka waktu pendidikan yang panjang menjadi alasan utama banyak wanita yang memilih tidak melanjutkan pendidikan tinggi.

Padahal implementari Kurikulum Merdeka Belajar seharusnya menjadi acuan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia. Melanjutkan cita-cita menjadi bangsa yang maju, sejahtara, dan punya kompetensi. Gebrakan menteri pendidikan hanya akan dilihat dalam jangka waktu pendidikan. Setelah lepas dari pendidikan formal, tidak ada lagi tanggung jawab lembaga pendidikan memperhatikan karir wanita.

Harapannya Kurikulum Merdeka Belajar bukan menjadi proses dehumanisasi yang menghilangkan sisi kemanusiaan dengan mengutamakan ego masing-masing. Jika masih menjadi wadah mengunggulkan diri, wanita akan tetap menjadi objek eksploitasi lelaki ketika berumah tangga.***