CATEGORIES

Showing posts with label lingkungan. Show all posts

Pandemi adalah refleksi. Kesadaran menyambut lembaran baru di tahun 2021. Ratusan ribu orang di dunia meninggal karena Covid-19, para ulama ...

alam rusak

Pandemi adalah refleksi. Kesadaran menyambut lembaran baru di tahun 2021. Ratusan ribu orang di dunia meninggal karena Covid-19, para ulama (kiai dan habaib) juga pergi meninggalkan bingar-bingar keduniaan. Kembali kita diberikan waktu untuk merenung dan menyadari segala dosa-dosa kita.

Manusia modern selalu berpikir tentang dirinya, tentang hidupnya. Mereka melalaikan kehidupan sosial, sikap empati, peduli lingkungan, dan menghargai sesama. Bagi manusia modern, orientasinya adalah untuk bertahan hidup dan memenuhi segala hal yang menjadi keinginannya. Mengelabuhi dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tanpa disadari telah merusak norma sosial dan lingkungan.

Allah menyediakan anugerah luar biasa atas penciptaan bumi yang dihuni manusia-manusia serakah. Menebang hutan, mencemari lingkungan, membuang sampah sembarangan, membuang limbah, hingga menuruti gaya hidup yang dalam jangka panjang bisa menghancurkan ekosistem di bumi. Acuh tak acuh ketika sungai sudah kotor dengan limbah dan sampah, udara yang penuh dengan asap pabrik dan kendaraan, lapisan ozon yang semakin malas melindungi makhluk di bumi dari paparan sinar matahari.

Kita enggan belajar dari nenek moyang dan menganggapnya sebagai pengetahuan kuno yang wajib ditinggalkan. Padahal dari sana sebenarnya kita bisa belajar banyak tentang sikap menghargai keberadaan sesuatu di luar diri kita. Memanfaatkan berbagai jenis tanaman untuk obat-obatan, tidak mencemari lingkungan karena merasa bahwa alam adalah bagian dari kehidupannya.

 

Baca Juga : Hukum Pengerusakan Lingkungan Hidup

Politeisme Nenek Moyang

Sebelum datangnya agama samawi/ langit (Yahudi-Nasrani-Islam), manusia zaman dulu lebih mengenal agama ardhi/ bumi. Merasakan adanya kekuatan supranatural dari luar dirinya yang mereka agungkan dan sembah. Kalau dalam masyarakat Jawa Kuno ada istilah “Tu” yang baik (Tuhan), dan “Tu” yang buruk (Hantu). Demikian yang membuat masyarakat begitu mengeramatkan segala sesuatu yang memuat unsur “tu” di dalamnya, seperti watu (batu), tugu, tumpeng, dan lain sebagainya.

Anggapan bahwa Tuhannya adalah maha penghukum jika manusia melakukan perilaku yang tidak mencerminkan kebaikan. Maka banyak penghayat kepercayaan begitu hati-hati dalam melakukan sesuatu. Mereka takut mendapat karma, azab, dan hukuman dari Tuhan.

Berbeda dengan manusia modern. Ketika agama dihadirkan untuk menata perilaku manusia, mereka malah merusak alam dan menciptakan peperangan. Saling mencaci, menghujat, dan bertikai memperdebatkan kebenaran kelompoknya. Mereka tidak pernah sadar tentang segala perkataan dan perilaku yang mungkin membuat murka Tuhan, karena mereka selalu menganggap bahwa Tuhan Maha Pengampun, Tuhan Maha Pemaaf.

Tidak ada lagi pesan khalifah penjaga bumi, manusia bagiakan monster yang berkehendak bebas merusak segala hal yang membuatnya bahagia. Menuruti egonya agar segala keingiannya terpenuhi. Tuhan yang baik selalu dijadikan alasan untuk berbuat kesalahan semaksimal mungkin yang harapannya kelak dimaafkan ketika sudah memutuskan untuk bertobat.

Konsep pola pikir manusia zaman dulu dan sekarang tentu sangat berbeda. Kemajuan teknologi begitu masif tersebar ke berbagai penjuru daerah. Penggunaan teknologi tidak diikuti dengan kesadaran beretika dan berpikir. Ketika nenek moyang lebih banyak bersyukur atas limpahan nikmat alam semesta, manusia zaman sekarang kebanyakan tidak bersyukur dan selalu berusaha menjadi penguasa dalam setiap kesempatannya.

Bagi nenek moyang, pandemi Covid-19 mungkin adalah hukuman dari Tuhan karena banyak manusia yang telah melanggar aturan-aturan alam. Sedangkan bagi manusia modern, pandemi Covid-19 adalah peluang bagi para cukung untuk mengeksploitasi alam ketika pemberlakuan PSBB (dilarang berkerumun) di banyak daerah di berlakukan. Tidak ada perlawanan untuk merusak lingkungan dan mengeruk keuntungan pribadi. Selainnya hanya pasrah dan merenung bahwa alam semesta sedang tidak baik-baik saja.


Pernah dimuat di Gusdurian

https://gusdurian.net/belajar-mencintai-alam-dari-nenek-moyang-kita/

Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, gempa di berbagai daerah (Majene, Mamuju, Maluku Tenggara, hingga Pangandaran), banjir di Kalimantan Selatan...

bencana alam


Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, gempa di berbagai daerah (Majene, Mamuju, Maluku Tenggara, hingga Pangandaran), banjir di Kalimantan Selatan, hingga letupan gunung berapi (Semeru, Sinabung, hingga Merapi) adalah alarm bagi Indonesia di awal tahun 2021. Banyak hal dikaitan tentang “marahnya” alam, mulai dari wafatnya banyak ulama di awal tahun, kepemerintahan yang zalim, hingga ekspolitasi alam yang berlebihan.

Ratusan ribu jiwa terdampak bencana alam di berbagai daerah di Indonesia. Jokowi mengatakan bencana banjir disebabkan karena curah hujan tinggi. Sedangkan menurut Kisworo Dwi Cahyono (Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Selatan), penyebab banjir di Kalimantan Selatan karena banyaknya lahan yang telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit. Sebesar 33 Persen lahan atau 1.219.461,21 hektar sudah dikuasai izin tambang, sementara 17 persennya sudah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Kini, lahan yang tersisa hanya berkisar di angka 29 persen.

Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, menjelaskan periode tahun 2010 hingga 2020 telah terjadi penurunan luas hutan primer sebesar 13.000 hektare, hutan sekunder 116.000 hektare, sawah sebesar 146.000 hektare, dan semak belukar sebesar 47.000 hektare. Banjir kali ini merupakan banjir terparah yang pernah terjadi di Kalimantan Selatan.

Banyak pihak yang harus bertanggungjawab atas bencana alam, khususnya banjir di Kalsel. Mulai dari pemerintah, sektor industri, hingga masyarakat itu sendiri. Menyalahkan kondisi alam (curah hujan) tidak akan menyelesaikan masalah yang sudah lama menjadi penyakit di Indonesia: pengerusakan alam. Perlu analisis tentang perlindungan alam dan revitalisasi lingkungan hidup agar kembali seimbang.

Isu perpindahan ibu kota dan potensi sumber daya alam juga turut menyumbangkan dampak bagi investasi alih fungsi lahan. Kalimantan yang sebelumnya menjadi salah satu paru-paru dunia melalui hutannya akan berganti menjadi gedung-gedung industri dengan seperangkat infrastruktur penunjangnya. Alam sedang darurat kepekaan dari manusia yang egois dan serakah merusak alam untuk kepentingan pribadi.

 

Baca Juga : Akhir Kisah Pandemi

Bencana Perilaku

Pernyataan yang mengaitkan bencana alam dengan perilaku manusia patut untuk direnungkan. Bahwa ada perilaku manusia yang membuat Tuhan dan alam murka. Bencana alam adalah peringatan dari ketidakkuasaan manusia menghadapi kehendak alam. Tugas manusia mengeksplorasi berubah menjadi tukang eksploitasi.

Syekh Al-Wani menyatakan bahwa bencana paling berbahaya yang saat ini menimpa manusia adalah tentang perbedaan pendapat dan perselisihan paham. Perbedaan yang ditandai dengan kekerasan, kepentingan sendiri-sendiri, dan motivasi yang egoistik, berkembang dan tumbuh semakin besar dan semakin besar; merasuk jauh ke dalam dunia mental seseorang lalu merantai pikiran, perilaku, dan perasaannya.

Manusia kurang introspeksi diri dengan bangganya pamer permusuhan antar saudara. Persatuan hanya ilusi dan perpecahan adalah nyata terjadi. Manusia kehilangan kejernihan pandangan terhadap segala sesuatu. Kehilangan tujuan dan visi-misi utama dalam beragama. Mereka begitu mudah berbicara tanpa pengetahuan, memutuskan tanpa pemahaman, dan menjalankan sesuatu tanpa dasar.

Permusuhan adalah keniscayaan untuk saat ini. Labelitas politik, sosial, dan agama menjadi topik membela dan memusuhi mereka yang berbeda pandangan. Politik identitas mewarnai dilema persatuan saudara setanah air. Tanpa kesadarannya, manusia menikmati segala retorika konflik antarsesama. Kehilangan logika berpikir dan hati nurani yang menyebabkan disorientasi sosial.

Tidak ada pilihan untuk bersikap netral. Setiap manusia akan dimasukan dan memasukan diri dalam kolong identitas politik dan agama. Perbedaan menjadi kehendak untuk menentukan sikap: kawan atau lawan. Perilaku adu domba, fitnah, dan caci maki seperti menjadi kebutuhan manusia di platform media untuk menyalahkan dan mengalahkan mereka yang dianggap musuhnya.

Bukan hanya tentang prinsip atau ideologi keyakinan, kebijakan pun sering digunakan sebagai bahan saling menjatuhkan satu sama lain. Kasus banjir, pemerintah menyalahkan curah hujan, pemerhati lingkungan menyalahkan pemerintah, masyarakat menyakahkan industri, industri menyalahkan perilaku manusia yang membuang sampah dan menebang pohon sembarangan.

Budaya saling menyalahkan sudah menjadi hobi untuk menunjukan eksistensi diri benar. Tidak mau berpikir dan merenung untuk menyalahkan diri sendiri. Bencana alam di awal tahun 2021 hanya sedikit cuplikan dari banyaknya bencana alam lanjutan jika manusia tidak menghentikan perilaku antiperbedaan. Manusia harus membiasakan diri untuk menyalahkan diri sendiri dan menghargai orang lain.

Masih ada yang lebih berbahaya dari banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, hingga tsunami sekalipun, yakni bencana perilaku manusia yang egois menyalahkan sesamanya. Perilaku yang tidak suka kedamaian dan tidak suka sikap cinta kasih sesama manusia, khususnya alam.


Pernah dimuat di Alif.id

https://alif.id/read/jy/bencana-sesungguhnya-budaya-saling-menyalahkan-b236449p/

Isu agraria selalu menjadi masalah lama yang susah untuk diselesaikan. Jokowi menuturkan bahwa pembangunan pada sektor pertanian tidak dapat...

petani kultural


Isu agraria selalu menjadi masalah lama yang susah untuk diselesaikan. Jokowi menuturkan bahwa pembangunan pada sektor pertanian tidak dapat dilakuan dengan cara-cara yang konvensional, rutinitas, dan monoton. Sistem Pertanian harus menerapkan teknologi pertanian. Menurutnya, kebijakan skala ekonomi kawasan pertanian seperti food estate dianggap mampu meningkatkan daya saing harga produk komoditas pangan lokal sekaligus menekan impor komoditas pangan.

Anggaran subsidi pupuk setiap tahun sekira 30 Trilliun dianggap sia-sia karena tidak adanya return yang didapatkan oleh negara. Jokowi meminta evaluasi terhadap kebijakan subsidi pupuk yang dinilai belum mampu berkontribusi signifikan terhadap peningkatan produksi di sektor pertanian.

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian, pada tahun 2017, subsidi pupuk dianggarkan 31,3 Trilliun bagi petani. Sedangkan di tahun 2018, anggaran subsidi pupuk menurun menjadi 28,5 Trilliun, dan di tahun 2019 menjadi 29 Trilliun serta di tahun 2020 menjadi 29.5 Trilliun.

Selain tidak tepatnya distribusi anggaran pupuk, konsep petani tradisional dinilai tidak efektif dan efisien mengatasi permasalahan pertanian nasional. Rendahnya minat generasi milenial untuk bertani juga menjadi faktor anjloknya produksi pertanian di Indonesia. Mindset bekerja di sektor pertanian yang melelahkan dan hasil yang kurang menarik adalah alasan generasi muda memilih menekuni pekerjaan di sektor lain.

Kritik keras Jokowi terhadap sektor pertanian cukup dimaklumi mengingat salah satu cita-cita Jokowi adalah menjadikan Indonesia negara yang mampu melakukan swasembada beras. Di periode pertama kepemerintahan, Jokowi berhasil menciptakan sejarah dengan berhasil menghasilkan stok di Bulog sebanyak 2,5 juta ton. Padahal di tahun 2015, Indonesia harus dihadapkan kondisi El Nino.

Percepatan infrastruktur, rehabilitasi jaringan irigrasi, dan subsidi pupuk dianggap faktor pemicu keberhasilan Jokowi mengatasi problem pertanian Indonesia. Pemerintah kini fokus mengimplementasikan pertanian berbasis teknologi 4.0. Tujuannya adalah untuk menjadikan pertanian di Indonesia ke depan semakin maju dan berdaya saing global.

 

Baca Juga : Ilusi Negara Agraris

Problem Pertanian Kultural

Cepatnya perkembangan era teknologi digital, membuat negara harus cepat beradaptasi untuk mencari peluang dan bertahan di tengah arus pasar global. Keterbukaan informasi dan pernyebaran pengetahuan membuat setiap orang harus jeli untuk menyesuaikan diri. Mencari peluang dan memanfaatkan teknologi untuk bisa bersaing dengan yang lain.

Teknologi dianggap jalan pintas mengatasi segala permasalahan di suatu negara. Menggusur nilai-nilai tradisi yang sebelumnya begitu erat dipegang oleh masyarakat yang jauh dari kenaifan teknologi. Ketika petani dipaksa untuk “mendigitalkan” pertanian, petani tradisi malah idealis mempertahankan konsep bercocok tanam secara konvensional.

Jika menghitung luas lahan, alokasi daratan untuk pertanian hanya berkisar 31,5% dari 195 juta hektare wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektare per kepala keluarga. Berbeda dengan Inggris yang berani mengalokasikan 75% lahannya untuk pertanian dari 22 juta hektare luas daratan, sementara Cina 54,8%, Australia 52,9%, Amerika 50%, dan Thailand 43,4%.

Tenaga kerja sektor pertanian jumlahnya mencapai sekira 35 juta orang pada Februari tahun 2020. Jumlah ini merupakan 20,7% dari jumlah tenaga kerja di Indonesia. Jika dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2019 sebesar 35,42 juta orang, maka angka tersebut mengalami penurunan sebesar 1,17%. Sektor pertanian sempit pada tahun 2020 hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional pada triwulan 1 sebesar 9,40%. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih sangat rendah.

Selama ini bertani hanya diperuntukan sebagai sektor yang bertugas untuk memproduksi pangan, padahal esensi dari bertani adalah untuk merawat kehidupan dengan cara mengolah tanah dan memuliakan keberagaman. Bekerja untuk menjaga ekosistem, sehingga lahan pertanian semakin lama akan semakin subur, bukan semakin hancur.

Soal produksi pangan itu hanya dampak yang dihasilakan dari bertani. Petani hanya akan bertani berdasarkan kondisi alam. Jika musim hujan akan menanam padi, kalau kemarau akan menanam kedelai, jagung, palawija, dan lain sebagainya. Hasil produksi pangan tidak bisa didikte pasar.

Petani kultural memproduksi kebudayaan, di mana pangan diproduksi dari mentah sampai matang dan kemudian didaur ulang. Bertani adalah menyelaraskan alam beserta kebudayaannya yang luhur. Tentang rasa, karsa, dan karya seni dalam bercocok tanam tradisional. Kebudayaan yang diciptakan dan dihidupkan petani adalah kebudayaan yang berbasis mengolah tanah.  

Petani Indonesia mayoritas masih jauh dari pendidikan modern. Memanjakan pupuk dengan subsidi adalah sebuah “penjajahan” konsep bertani yang dianggap kuno. Merusak tatanan ekosistem pertanian dengan pupuk kimia. Manghancurkan masa depan petani yang menggantungkan hidupnya dari seberapa banyak hasil panen.

Kerusakan alam dan tanah karena masifnya pemberian pupuk subsidi adalah bukti budaya pertanian tradisi tidak begitu dipertimbangkan dalam skala nasional. Kebudayaan petani lambat laun akan dihilangkan dan digantikan dengan teknologi. Padahal kebahagian seorang petani bukan terletak pada bagaimana mereka mencukupi kebutuhan nasional, melainkan pada budaya bertani dari masa menebar benih, menyemai, menanam, menyiangi, dan memanen hasil tanaman.

Jika pemerintah berniat “menagih hutang” atas hasil subsidi pertanian, maka petani selama ini hanya dianggap pembantu negara yang bertugas menyediakan pangan nasional. Memaksanya bekerja lebih keras agar suatu saat bisa “membayar hutang” yang terlanjur diberikan kepada petani selama bertahun-tahun.


Pernah dimuat di Caknun.Com

https://www.caknun.com/2021/punahnya-petani-kultural/

Tanggal 10 Januari diperingati sebagai hari gerakan sejuta pohon internasional. Selain gerakan sejuta pohon, tanggal 21 November juga diperi...

dialog alam


Tanggal 10 Januari diperingati sebagai hari gerakan sejuta pohon internasional. Selain gerakan sejuta pohon, tanggal 21 November juga diperingati sebagai Hari Pohon Sedunia atau World Tree Day yang bertujuan untuk mengingat dan menghormati jasa dari J Sterling Morton, seorang pencinta alam dari Amerika Serikat.

Pohon merupakan faktor penting dalam kehidupan manusia karena dapat mengurangi kadar karbon dioksida (CO2) yang ada di muka bumi. Selain itu, pohon juga dapat mencegah terjadinya banjir, tanah longsor, dan bencana alam lainnya. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), di Indonesia, hutan mengalami pengurangan lahan selama periode 2013 sampai 2017 sebanyak 5,7 juta hektar. 

Sedangkan berdasarkan World Resources Institute (WRI), sepanjang tahun 2019, dunia kehilangan tutupan pohon hutan primer seluas 11,9 juta hektar. Hampir sepertiga dari angka tersebut -3,8 juta hektar- terjadi di hutan primer tropis. Berarti setiap 6 detik, dunia kehilangan hutan primer tropis seluas satu lapangan sepak bola. Saat ini, Brasil menjadi negara dengan kehilangan hutan primer terbesar di dunia, yakni sekitar 1.361.000 hektar. Kemudian disusul Republik Demokratik Kongo sebesar 475.000 hektar, dan ketiga adalah Indonesia yang kehilangan hutan primer sebesar 324.000 hektar.

Kebijakan di Cina telah mengupayakan perluasan hutan hingga 30% hingga tahun 2050, terutama di kota Bejing wilayah bagian utara yang terancam seperti gurun. Meskipun, data dari World Bank mengatakan hanya ada 22% peningkatan luas hutan.

Kesadaran terhadap lingkungan hidup harus terus dikampanyekan di seluruh dunia. Gerakan sejuta pohon juga harus disertai dengan perilaku perusakan lingkungan seperti pembakaran hutan, penebangan pohon secara liar, alih fungsi hutan, dan lain sebagainya.

 

Baca Juga : Hukum Pengerusakan Lingkungan Hidup

Mengajak Berdialog Alam

Manusia zaman modern selalu berpikir tentang dirinya, tanpa peduli terhadap sekitar. Tujuan utamanya adalah untuk bertahan hidup dan terpenuhi segala keinginannya. Risiko mengorbankan kerusakan hubungan terhadap sesama dan lingkungan. Mengabaikan fungsi dan nilai alam sebagai subjek utama kehidupan manusia. Mengeksploitasi alam sedemikian rupa untuk kepentingan diri dan kelompoknya.

Data dan dampak kerusakan alam dianggap keniscayaan. Menghancurkan ekosistem yang bisa membahayakan banyak orang dan bahkan anak cucunya kelak. Era teknologi membutakan sikap kepedulian terhadap lingkungan yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.

Banjir, polusi, perubahan iklim, dan kelangkaan sumber daya adalah sebagian dari banyak dampak yang diakibatkan ulah manusia serakah penuh ketamakan. Jangankan menanam pohon, merawat pohon pun manusia malas. Indonesia yang digadang-gadang menjadi paru-paru dunia berubah menjadi lahan-lahan industri. Berharap udara menjadi bersih, malah dikotori dengan polusi asap pabrik dan kendaraan.

Kesadaran terhadap lingkungan tidak cukup dengan kampanye di ruang-ruang publik. Sistem pendidikan juga berperan penting membentuk generasi yang peka terhadap nasib lingkungan hidup. Manusia harus membiasakan berinteraksi dengan alam. Mengajaknya berbicara dan mencukupi kebutuhan hidupnya.

Penciptaan manusia bertujuan untuk menjaga bumi dari kerusakan. Namun perilaku manusia yang terlanjur fanatik terhadap teknologi telah mengubah tujuan hidup yang semua mengeksplorasi menjadi tukang eksploitasi. Jika rasa empati dan simpati sudah hilang dalam diri manusia modern, maka harapan hidup bagi generasi mendatang sudah usai.

Peran media, pemerintah, hinga masyarakat harus selalu disosialisasikan. Gerakan menanam seribu pohon adalah salah satu bentuk keprihatinan pecinta lingkungan bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Mengajari menanam benih dan memberikan wawasan tentang kemanfaatan lingkungan hidup kepada generasi muda. Jangan sampai bencana atas kemurkaan alam dijadikan penyesalan karena terlambat menyadari pentingnya lingkungan hidup bagi manusia.

 

Baca Juga : Jerinx Hingga Pulau Komodo

Dampak Kerusakan Alam

Pohon sangat penting bagi kebutuhan hidup manusia. Subjek utama alam adalah keberadaan pohon. Kehilangan pohon berarti turut menghilangkan banyak ekosistem yang menggantungkan hidup kepada pohon. Sebagai sumber daya alam, tempat tinggal, dan penangkal bencana alam yang sudah banyak merenggut korban jiwa.

Kerusakan alam berarti menghilangkan hak asasi manusia untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan nyaman. Merusak dengan alasan investasi, pendapatan daerah/ negara, hingga pemanfaatan sumber daya alam adalah sikap naif manusia serakah. Alam laiknya manusia yang berperasaan. Akan marah jika keberadaannya diusik dengan mesin atau tenaga industri.

Sudut pandang fisiologi, agama, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya melarang perilaku yang berpotensi merusak alam. Pengerusakan lingkungan hanya dilakukan karena faktor konsumerisme, kapilatis, dan karakter serakah yang ada dalam diri manusia. Asalkan keinginan terpenuhi, mereka tega membiarkan sesamanya mati karena bencana alam dan anak cucunya sengsara karena kekurangan air bersih, suhu bumi yang meningkat, dan perubahan iklim yang sulit diprediksi.


Pernah dimuat di Media Indonesia
https://m.mediaindonesia.com/opini/377741/mari-berdialog-dengan-alam

Emosi Jerinx tidak tertahan ketika divonis 3 tahun penjara atas kasus “kacung WHO”. Dengan nada tinggi, drummer band SID itu menantang orang...

pulau komodo


Emosi Jerinx tidak tertahan ketika divonis 3 tahun penjara atas kasus “kacung WHO”. Dengan nada tinggi, drummer band SID itu menantang orang yang memenjarakannya untuk datang ke pengadilan - jangan menjadi pengecut. Menurutnya IDI Bali dan Pusat, institusi yang dianggap sebagai korban, tidak ada yang berniat memenjarakannya selama proses pengadilan.

Dalam proses pidana Jerinx, penegak hukum menggunakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan/atau Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai ujaran kebencian dan pencemaran nama baik. Namun ada kerancuan dalam penerapan UU ITE yang melibatan jutaan orang pengguna internet di Indonesia. Apakah penerapan UU ITE hanya diberlakukan kepada influencer, artis, politikus, dan ulama?! Karena faktanya, banyak yang melakukan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik tapi tidak diproses secara hukum. Batasan dalam UU ITE juga tidak begitu jelas. Tentang pengaruh/ dampak yang ditumbulkan, konteks dan maksud ekspresi, hingga jangkauan yang menimbulkan potensi kegaduhan sosial. Sehingga UU ITE bisa dijadikan alat penguasa untuk menghukum siapapun yang tidak dikehendakinya.

Penerapan UU ITE menjadi ancaman tersendiri bagi negara yang menganut sistem demokrasi. Sejak penerapan UU ITE, banyak pengguna media sosial ketakutan untuk berekspresi dan mengeluarkan opini di depan publik. Di lain sisi, gadget dan media sosial memfasilitasi untuk setiap orang memberanikan diri bersuara ketika melihat ada penyimpangan atau ketidakteraturan sosial. Keresahan tentang UU ITE juga dirasakan oleh para komedian dalam mengekspresikan candaan. Bahkan beberapa di antaranya tersandung masalah serupa karena dianggap menyinggung individu atau organisasi.

Setiap orang punya hak untuk menyatakan pendapat. Penilaian unsur subjektif kebencian tidak bisa dijadikan dalih menghukum seseorang. Mestinya negara menjadi wadah berekspresi sebebas-bebasanya, bukan malah menakut-nakuti dengan ancaman-ancaman dalam UU ITE yang terkesan menjadi alat kediktatoran pemerintahan.

 

Baca Juga : Ilusi Negara Agraris

Di Balik UU ITE

Pembandingan kasus yang melibatkan Jerinx merambah ke berbagai kasus hukum lainnya. Sebut saja dua pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan yang hanya dihukum 2 dan 1,5 tahun penjara. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan selama 4 tahun ke belakang rata-rata vonis penjara untuk koruptor hanya menyentuh angka 2 tahun 7 bulan penjara. Ketidakadilan di mata hukum membuat sebagian orang gerah melihat kondisi pemerintahan sekarang.

Kalau melihat track record Jerinx, ia sangat konsisten mengkampanyekan BTR (Bali Tolak Reklamasi) sejak tahun 2011 yang akan dikerjakan oleh PT Tirta Wahana Bali International (TWBI). Isu Reklamasi Teluk Benoa menjadi ramai saat SK gubernur soal perizinan proyek diterbitkan secara diam-diam. Bersama Superman Is Dead, Jerinx melakukan aksi-aksi penolakan reklamasi di Bali dalam setiap konsernya. Bahkan sempat di-blacklist oleh beberapa event organizer karena menolak untuk menghentikan kampanyer BTR.

Aksi Jerinx mendapat apresiasi dari publik dengan memberikan dukungan di berbagai daerah. Sebut saja Jogja dan Bandung yang turut memberikan wadah berekspresi sebagai bagian dari Bali Tolak Reklamasi yang gencar dikampanyekan Jerinx. Fans SID pun ikut ramai menyuarakan penolakan reklamasi yang dianggap menyebabkan kerusakan alam dan lingkungan. Turut pula rekan musisi yang berjamaah mendukung Jerinx “melindungi” tanah kelahirannya.

Tanggal 4 Otober 2019, Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastusi mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 46/KEPMEN-KP/2019 Tentang Kawasan Konservasi Maritim Teluk Benoa. Dengan area seluas 1.243 hektar di Kabupaten Badung, Bali. Di dalam zona inti terdapat 15 titik koordinat, masing-masing dengan radius kurang lebih 50 cm. Dengan lantangnya Jerinx menyuarakan Bali Tolak Reklamasi, apakah kurungan terhadap Jerinx juga dimaksudkan untuk membungkam masifnya penolakan terhadap reklamasi di Bali?!

 

Baca Juga: Hukum Pengerusakan Lingkungan Hidup

Konservasi Taman Nasional Komodo

Selaras dengan Reklamasi Teluk Benoa, gagasan konservasi Taman Nasional Komodo menjadi atraksi wisata premium dengan konsep film Jurassic Park menuai protes dari masyarakat. Tagar #savekomodo menjadi viral beberapa pekan lalu. Proyek ini dicetuskan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan, dengan mengambil Pulau Rinca, Labuan Bajo, sebagai lahannya.

Dengan area seluas 1,3 hektar, diharapkan bisa menarik minat wisatawan asing untuk berkunjung ke Taman Nasional Komodo. Selain mengenalkan keindahan Indonesia, proyek ini juga akan meningkatkan pendapatan daerah dan nasional yang melemah selama pandemi Covid-19. Namun gagasan ini mendapatkan penolakan dari berbagai LSM pemerhati lingkungan dan aliansi masyarakat NTT. Konservasi Taman Nasional Komodo dianggap akan merusak unsur habitat alamiah komodo. Bagi masyarakat sekitar, komodo dan ekosistemnya merupakan warisan leluhur yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri.

Proyek-proyek reklamasi, rehabilitasi, atau restorasi yang dilakukan pemerintah adalah upaya kapitalisasi lingkungan alam dengan dalih menyejahterakan masyarakat sekitar. Proyek Konservasi Taman Nasional Komodo dengan anggaran sebesar 69.96 miliar akan menguntungkan banyak perusahaan yang teribat dalam proyek tersebut. Para investor dan pemerintah pusat maupun daerah juga akan “kecipratan” hasil dari pelegalan mega proyek Jurassic Park - Taman Nasional Komodo.

Pemerintah sedang kebingungan meningkatkan pendapatan nasional untuk melunasi hutang negara dan menjalankan roda perekonomian secara stabil. Pada akhirnya harus mengorbankan lingkungan yang masih alamiah untuk proyek-proyek yang bisa mendapatkan pemasukan secara instan. Kemajuan sebuah negara bukan hanya diukur dari seberapa banyak bangunan pencakar langit di tempat-tempat wisata. Indonesia perlu mensyukuri nikmat kekayaan alam yang mestinya dilestarikan, bukan dijadikan objek bisnis untuk menumpuk kekayaan.

Waktu kecil, sepulang sekolah, saya sering diajak bapak pergi ke sawah. Kebetulan keluarga kami mempunyai sebidang tanah dan menyewa tiga bi...

petani kampung


Waktu kecil, sepulang sekolah, saya sering diajak bapak pergi ke sawah. Kebetulan keluarga kami mempunyai sebidang tanah dan menyewa tiga bidang tanah lainnya milik sanak saudara. Biaya sewa lahan sekira 6 juta per tahun, tergantung luas dan akses ke jalan utama. Karena Kabupaten Karanganyar dikenal sebagai bumi INTAN PARI (Industri, Pertanian, dan Pariwisata), maka banyak tetangga yang memutuskan menjadi buruh tani di desa.

Sampai sekarang, saya masih mengingat proses penggarapan sawah mulai dari menyemai benih, menanam padi, memupuk, penyiangan, hingga panen. Di desa, petani biasanya menjual hasil panen ke tengkulak dan sisanya untuk persediaan bahan baku untuk 3 bulan ke depan (musim panen selanjutnya). Tengkulak biasa menawarkan harga berkisar 10 sampai 20 juta tergantung kualitas padi.

Demikian yang menjadikan saya kuliah mengambil jurusan ekonomi pertanian. Berharap mampu menganalisis permasalahan petani yang dianggap kuno dan tidak menjanjikan. Setelah itu, saya menghitung total biaya produksi dan membandingkan dengan hasil panen. Ibarat arisan, petani sawah hanya mendapatkan untung sekian persen dari total produksi yang dikeluarkan untuk membeli benih, pupuk, irigrasi, biaya untuk buruh tani, dan lain-lain. Belum lagi kalau ada wabah hama atau banjir yang merusak hasil pertanian. Di momen seperti itu, biasanya petani menghutang untuk menutupi biaya produski.

Sempat saya menawari bapak saya untuk menyewakan lahan persawahan kepada petani lainnya. Selain bisa istirahat, secara kalkulasi juga lebih menguntungkan dan tanpa risiko. Namun kadang prinsip petani di desa tidak berpikir untung-rugi, asalkan bisa bekerja, dirugikan pun mereka ikhlas dan bersyukur.

 

Baca Juga: Ajaran Falsafah Serat Wedatama

Potensi

Selain disebut sebagai negara kemaritiman, Indonesia juga dikenal sebagai negara agraris, dimana sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian dianggap memliki peran penting dalam meningkatkan perekonomian dan memenuhi kebutuhan pangan nasional. Saat ini, Indonesia menjadi negara agraris tropis terbesar di dunia setelah Brazil. Dari 27 persen zona tropis di dunia, Indonesia memiliki 11 persen wilayah tropis. Bahkan Indonesia pernah melakukan swasembada beras pada tahun 1980, namun setelah itu tidak pernah lagi. Tragisnya, sekarang Indonesia malah impor beras dari Thailand dan Vietnam sebagai upaya kerja sama bilateral di bidang agrikultur.

Untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pemerintah menggerakan kaum milenial untuk terjun menjadi petani. Upaya yang dilakukan Kementerian Pertanian dengan membuat 67 Duta Petani Milenial (DPM) dan Duta Petani Andalan (DPA) dari sejumlah provinsi di Indonesia. Di masa pandemi, sektor pertanian berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat untuk menjaga imunitas tubuh.

Keikutsertaan dalam pasar bebas dengan berbagai negara harusnya bisa dimanfaatkan untuk impor produk pertanian. Mengaplikasikan peran digital dalam memproduksi dan memasarkan hasil panen. Jika lebih serius menekuni dunia pertanian, potensi besar Indonesia menjadi negara agraris akan mudah diwujudkan.

 

Baca Juga : Hukum Pengerusakan Lingkungan Hidup

Ilusi Negara Agraris

Jika menghitung luas lahan, alokasi daratan untuk pertanian hanya berkisar 31,5% dari 195 juta hektare wilayah Indonesia. Dari jumlah itu, rata-rata kepemilikan lahan petani hanya 0,3 hektare per kepala keluarga. Berbeda dengan Inggris yang berani mengalokasikan 75% lahannya untuk pertanian dari 22 juta hektare luas daratan, sementara Cina 54,8%, Australia 52,9%, Amerika 50%, dan Thailand 43,4%. Jika lahan pertanian nilainya masih lebih kecil dari kebutuhan per kapita, maka secara otomatis masyarakat akan beralih ke sektor lain yang lebih menjanjikan.

Tenaga kerja sektor pertanian jumlahnya mencapai sekira 35 juta orang pada Februari tahun 2020. Jumlah ini merupakan 20,7% dari jumlah tenaga kerja di Indonesia. Jika dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2019 sebesar 35,42 juta orang, maka angka tersebut mengalami penurunan sebesar 1,17%. Sektor pertanian sempit pada tahun 2020 hanya mampu memberikan kontribusi PDB nasional pada triwulan 1 sebesar 9,40%. Kondisi ini menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja pertanian masih sangat rendah.

Penurunan minat menjadi petani karena sektor pertanian dianggap kuno dan kurang menguntungkan dari segi ekonomi. Kebanyakan lulusan pertanian malah bekerja di sektor lain, sedangkan sektor pertanian banyak dikerjakan oleh orang tua dan berpendidikan rendah. Dampaknya adalah kurang efisiennya produksi pertanian dan kurangnya kemampuan mengaplikasikan peran teknologi.

Peran pemerintah soal subsidi pupuk dan penyediaan irigrasi air hanya mengatasi permasalahan personal petani. Sedangkan potensi swasembada dan ketahanan pangan nasioal masih sulit dicapai. Kesejahteraan petani juga jauh dari harapan selama persepsi bekerja di sektor pertanian dirasa kurang menguntungkan.

Pemerintah dan instansi lain harus berkolaborasi untuk turun memberikan pelatihan di sektor pertanian. Jika petani masih menggunakan metode kuno dalam mengolah sawah, serta mengandalkan tengkulak dalam memasarkan hasil panen, maka menjadi negara agraris hanyalah ilusi belaka.

 

Pernah dimuat Suara Merdeka Solo
https://suaramerdekasolo.com/2021/01/13/ilusi-negara-agraris/

Masyarakat Indonesia masih jauh dari perhatian kerusakan lingkungan hidup. Tahun 2020 jumlah timbulan sampah nasional mencapai 67,8 juta ton...

kerusakan alam


Masyarakat Indonesia masih jauh dari perhatian kerusakan lingkungan hidup. Tahun 2020 jumlah timbulan sampah nasional mencapai 67,8 juta ton. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 60% sampah Indonesia di dominasi sampah organik, kemudian diikuti sampah plastik (14%), kertas (9%), dan karet (5,5%).

Selain pembuangan sampah secara liar (sembarangan), banyak juga instansi/ perusahaan yang melakukan perusakan lingkungan seperti reklamasi, penebangan hutan, dan pembungan limbah industri. Dampak paling terasa dari perusakan alam yang dilakukan oleh manusia adalah banjir, tanah longsor, polusi, dan pemanasan global.

Berdasarkan data dari BBC, peningkatan suhu di tahun 2050 bisa mencapai dua derajat celcius. Laporan terbaru dari Organisation for Economic Co-operation and Development memperkirakan bahwa kerusakan lingkungan di masa depan akan menyebabkan kualitas udara semakin buruk. Kondisi tersebut diprediksi bisa membunuh sekitar enam juta orang per tahunnya. Sedangkan laporan dari Climate Central menyatakan bahwa beberapa negara sebagian akan tenggelam di tahun 2050 karena naiknya permukaan air laut.

 

Baca Juga: Faedah Omnibuslaw

Hukum Negara

Komitmen pemerintah untuk mengatasi dan mencegah kerusakan lingkungan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM). Sebagai implementasi Konvensi Minamata untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari lepasan merkuri, emisi, dan senyawa antropogenik.

Setiap orang berperan dalam melindungi atau menjaga alam dari kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Hak menikmati lingkungan hidup yang sehat dan bersih juga harus diikuti dengan perilaku yang mengedepankan kepedulian terhadap lingkungan hidup itu sendiri. Dimulai dari membuang sampah pada tempatnya, tidak menebang pohon sembarangan, hingga mengurangi polusi saat melakukan kegiatan sehari-hari.

Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) No. 23 tahun 1997 merupakan peraturan/ kebijakan negara (pemerintah dan legislatif) untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Memberikan perlindungan hukum kepada warga negara agar mendapatkan lingkungan hidup yang layak dan sehat.

Dalam hukum pidana pasal 41 tentang Undang-undang Lingkungan Hidup, Individu atau organisasi yang sengaja mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup akan mendapatkan ancaman penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah). Di pasal berikutnya, karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah).

Dalam PP No. 74 Tahun 2001 tentang penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), individu atau kelompok yang dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000. 000 (tiga ratus juta rupiah). Karena kealpaannya akan diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah).

Apabila pelakunya merupakan instansi berbadan hukum atau badan usaha, maka sanksi pidana seperti pasal 50 ayat (1), (2) dan (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah), dan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.

 

Baca Juga: HAM, Kasus yang Tak Pernah Tamat

Hukum Agama Islam

Selain sanksi pidana, ada sanksi perdata, administratif, dan moral. Dalam lingkup agama, perusakan lingkungan hidup jelas perilaku yang dilarang. Manusia diciptakan di muka bumi untuk menjadi khalifah (menjaga bumi) dan keteraturan sosial. Jika ada perilaku dan kebijakan yang mengarah pada pengrusakan lingkungan, maka mereka tidak menerapakan konsep agama dalam hidupnya.

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui” (Q.S. Al Baqarah:30)

Allah telah mempercayakan manusia untuk menjaga alam dan lingkungan hidup. Namun dalam penciptaannya, kehadiran manusia dipandang sinis oleh malaikat karena dianggap justru akan merusak bumi. Jika manusia tidak bisa menjaga lingkungan, berarti mereka telah melanggar amanah dari Tuhannya sendiri.

 

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Qashash ayat 77)

 

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Q.S. Ar Rum ayat 41)

Masih banyak lagi ayat dan hadis yang melarang dan menghukum perusak alam dan lingkungan hidup. Sebagai manusia beriman, hendaknya kita memikirkan konsekuensi atas perbuatan yang kita lakukan. Kausalitas yang akan ditimbulkan jika kita menjaga alam atau merusak alam. Jangan sampai karena menganggap enteng perilaku pencemaran dan perusakan lingkungan menyebabkan penyesalan mendalam di kemudian hari.


 Pernah dimuat Baladena
https://baladena.id/hukum-pengerusakan-lingkungan-hidup/