CATEGORIES

Showing posts with label agama. Show all posts

  Sejak perseteruan dengan Samsudin, nama Marcel Radhival (Pesulap Merah) berseliweran di media sosial. Kerap diundang dalam talkshow televi...

 

pesulap merah dan benturan budaya

Sejak perseteruan dengan Samsudin, nama Marcel Radhival (Pesulap Merah) berseliweran di media sosial. Kerap diundang dalam talkshow televisi dan podcast di YouTube. Beberapa memujinya, di sisi lain ada yang mencacinya. Aksi Pesulap Merah tidak hanya perihal kompetisi konten “sulap”, melainkan mendekonstruksi agama, sosial, dan budaya.

Dari sisi atraksi, Pesulap Merah mulai meninggalkan aksi panggung dengan cara membongkar trik sulap. Seniman sulap menjadi kekurangan panggung sebab penonton sudah mulai sadar akan “konsep kebohongan” dalam permainan sulap. Kemudian mulai merambah ke dunia mistis dengan alibi menyadarkan masyarakat dari kemusyirkan (kesesatan).

Lalu kenapa aksi membongkar kesesatan dukun bisa menjadi bahasa menarik di masyarakat?

Ada kebudayaan yang mengakar kuat di masyarakat seputar kepercayaan mistis yang kemudian menjadi daya tawar produksi kesenian seperti film, musik, hingga pertunjukan teater. Masyarakat masih antusias mendiskusikan perkara gaib seputar santet (penyengsaraan), pelet (pengasihan), dan kepet (pesugihan). Sementara dalam tradisi kebudayaan, masyarakat sudah lama diberi khasanah kegaiban di tempat angker atau mistis.

Kepercayaan hantu penunggu rumah, pemakaman, hingga gedung-gedung tua masih menjadi daya tarik masyarakat. Memberikan tontonan uji nyali dan jalan-jalan malam dengan sedikit bumbu drama kesurupan. Sementara tontonan yang bernuansa saintifik kurang diminati. Masyarakat Indonesia lebih suka mengunggulkan kepercayaannya daripada logikanya dalam melihat fenomena yang tidak populer. Kemalasan berpikir inilah yang menyebabkan tradisi kebudayaan mengenai hal mistis masih relevan di masyarakat.

Implikasi dari kemalasan berpikir pada akhirnya mengarah pada doktrinasi agama yang menyandarkan keyakinan kepada otoritas tertentu. Ada nilai kekastaan (yang diulamakan) dalam memberikan fatwa yang “wajib” diikuti oleh masyarakat. Relasi agama dan kebudayaan seputar hal-hal di luar logika yang menjadi pondasi berperilaku fanatis. Bahkan, mengabaikan kebenaran faktual dengan menyandarkan kesadaran kepada tokoh yang dipercayainya.

Agama menjadi alat melegalkan kekerasan dan ambisi kekuasaan tanpa melihat spektrum sosial, budaya, dan politik. Agama juga menjadi alat untuk menjajah agama atau ideologi lain yang dianggap menghambat tujuan. Bahkan agama kerap menjadi senjata menghilangkan tradisi dan kebudayaan setempat, termasuk praktek perdukunan.

Pesulap Merah menjadi tokoh antitesis budaya Indonesia yang terbelenggu dalam kepasrahan berpikir. Membuka mata masyarakat yang malas berikhtiar dan malah memasrahkan nasibnya kepada dukun. Sementara ada dimensi kekuatan supranatural yang kadang juga disandarkan pada kiai (ulama) atau yang dianggap kiai. Maka, perseteruan Pesulap Merah juga berpotensi pada sikap sinisme masyarakat pada kalangan kiai yang dianggap punya karomah.

 

Baca Juga : HAM dan Nikah Beda Agama

Kecacatan Berpikir

Fenomena Pesulap Merah memberikan pesan tentang kesadaran berpikir agar tidak gegabah mengambil kesimpulan. Di sisi lain, bahaya menyandarkan agama pada logika akan melemahkan iman seseorang akan adanya mukjizat, karomah, maunah, istidraj. Bahkan sampai pada indikator kekafiran dari kepercayaan terhadap makhluk gaib. Sedangkan dunia gaib sendiri merupakan bagian dari rukun iman.

Manusia harus mampu memanfaatkan modal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual melihat fenomena benturan budaya dan agama. Memutuskan untuk mencari kebenaran fakual atau hanya menyandarkan pada kekuasaan Tuhan. Sehingga ada keseimbangan pikiran dan keyakinan dalam beragama. Tidak gampang taklid buta, namun tidak juga menyepelekan kapablitias ulama.

Bukan hanya kebudayaan praktek perdukunan yang hanya mengancam kecacatan berpikir rasional, namun juga fanatisme terhadap agama yang berdampak pada konflik di masyarakat. Padahal ada kesamaan orientasi antara agama dan budaya dalam mengembangkan keimanan sesorang. Ketika agama mengajarkan batasan dalam dimensi spiritual, budaya mengajarkan masyarakat melalui dimensi sosial.

Dari perspektif agama, aksi Pesulap Merah tentu diapresiasi secara kaidah syariat yang menyadarkan manusia dari praktek perdukunan. Sementara dari sisi sosial kebudayaan, aksi Pesulap Merah bisa menimbulkan konflik di masyarakat dan menghilangkan sisi kebaktian terhadap seseorang yang ditokohkan. Destruksi kebudayaan yang akan membawa dampak besar pada pola pikir masyarakat mengenai hal-hal metafisika.

Sementara tidak seluruhnya aksi Pesulap Merah mendapat dukungan dari umat beragama, Islam khususnya. Bukan karena embel-embel “gus” yang disematkan pada Samsudin, melainkan pada fakta bahwa di lingkungan pondok pesantren ada kajian ilmu laduni dan ilmu kanuragan yang dalam aplikasinya kerap bersinggungan dengan hal-hal mistis. Bahkan Pesulap Merah dengan terang-terangan siap membongkar trik ilmu laduni yang kebetulan menjadi basis muslim pesantren.

Jadi tidak semua bersumber pada kecacatan berpikir rasional. Ilmu pengetahuan barat modern perlahan akan mendominasi struktur berpikir masyarakat Indonesia yang mulai meninggalkan nilai agama dan kebudayaan. Mengandalkan kemampuan logika dan mulai mengabaikan keyakinan pada otoritas keulamaan atau ketokohan di masyarakat. Sisi positifnya, masyarakat tidak lagi mudah tertipu dengan segala intrik yang dilakukan oleh tokoh tertentu. Menyaring informasi yang ditengarai hoaks atau modus penipuan.***

  Manusia dibekali kekuasaan untuk menentukan pilihan (keputusan) yang disandarkan pada spektrum moralitas. Otonomi pribadi manusia mencipta...

 

memilah ilmu dan iman

Manusia dibekali kekuasaan untuk menentukan pilihan (keputusan) yang disandarkan pada spektrum moralitas. Otonomi pribadi manusia menciptakan penghargaan dan tanggung jawab untuk memilih kebaikan dan keburukan secara relatif. Keterikatan sosial antar manusia yang kemudian menciptakan standar moralitas komunal. Menyusun aturan untuk disepakati meskipun kadang bertolakbelakang dengan hati nurani.

Guru dan pelajaran paling diharapkan adalah implementasi dari kebijaksanaan yang diperoleh dari berbagai ilmu. Informasi menjadi data yang diterima dan direkam secara konsisten oleh otak manusia. Pengetahuan mengaktualisasikan informasi agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Terkadang melubernya informasi yang ditampung otak sering tidak bisa ditransfer menjadi pengetahuan. Risikonya menyebabkan kecacatan informasi sekunder yang berorientasi pada konflik.

Keluasan ilmu seseorang tidak serta merta menjadikan manusia berlaku sesuai kapasitas keilmuannya. Ilmu yang diterima terkadang hanya menjadi sampah yang terselip. Sehingga perilakunya tidak sinkron dengan perkataannya. Labil dan memaksakan kebenaran yang kontradiktif dengan keyakinannya. Sampai pada kesimpulan berilmu berarti beriman dan sebaliknya.

Iman erat kaitannya dengan aspek keagamaan seseorang. Agama dianggap berpijak pada kepercayaan, sedangkan ilmu berpijak pada akal budi. Keilmuan manusia didapatkan melalui berbagai cara seperti pengamatan, pengalaman, dan pencarian wawasan (membaca literatur). Sedangkan iman muncul sebab taklid, pengolahan informasi, lingkungan, dan kecenderungan nurani.

Banyak kejadian manusia lebih mengedepankan iman daripada ilmu untuk melemparkan wacana perdebatan. Iman kerap dijadikan dalih keterbatasan ilmu. Menggantungkan kebodohan (kurangnya pengetahuan) kepada Tuhan. Kegaiban dijadikan landasan fundamental beriman. Sedangkan kematangan berilmu akan meningkatkan kualitas keimanan. Sebab esensi ilmu adalah memecah, sedangkan iman menyatukan. Bukan sebaliknya.

Semakin berilmu, seseorang akan semakin tergelitik untuk mengulik segala fenomena yang tertangkap oleh indera manusia. Hasilnya tentu perdebatan karena perbedaan konsep memahami kebenaran ilmu. Iman menjadi jalan tengah dengan pengakuan diri atas ketidakmampuannya meraih jagad ilmu. Iman akan menyatukan persepsi ketidaktahuan kepada sesuatu yang sifatnya tidak terjangkau.

Dalam kajian filsafat Timur, iman tidak datang dari taklid (kepercayaan buta), tetapi dari eksperimen yang berkepanjangan. Ilmu dan iman adalah jalan menuju pencerahan dan pembebasan. Konflik terjadi karena hasil dari kesalahan cara berpikir. Puncak dari iman adalah kesadaran yang dicapai melalui kemapanan berilmu. Kesadaran tersebut menciptakan ajaran cinta untuk melawan kebencian akibat kedangkalan ilmu dan ketidakmampuan mengimplementasikan ilmu.

Agama harus berkorelasi dengan keberagaman (perbedaan). Agama yang menolak keberagaman sebagai keniscayaan membuktikan kedangkalan ilmu untuk meyakini sesuatu. Ilmu hanya dijadikan alat bereksistensi dan iman dijadikan kampanye mempopulerkan keeksistensiannya. Padahal setiap orang punya keimanan murninya masing-masing yang didapatkan dari pengalaman yang sudah dicapai.

Namun kadang banyak orang yang sering meragukan keimanannya dengan memilih melibatkan porsi keimanan kepada orang lain. Gampang dipengaruhi dan dimanipulasi keimannya karena rendahnya ilmu. Selebihnya hanya menjadi manusia egois dan pemarah kepada siapapun yang berbeda dengannya. Merasa paling benar padahal masih miskin pengetahuan.

Setiap orang bisa memilih siapapun dan apapun ilmu untuk dimasukan ke dalam otaknya. Namun banyak di antaranya yang tidak mau dan tidak mampu memilah kualitas ilmu yang baik untuknya. Membebek kepada yang lain. Akal sehat dikorbankan demi iman yang setengah-setengah. Doktrin dari sana-sini dibiarkan merusak kejernihan pengetahuan yang berpotensi pada kerusakan keimanan.

Manusia butuh filter untuk memilah ilmu dan iman. Tidak semua ilmu berguna bagi keimanan seseorang, begitu juga sebaliknya. Semakin berilmu seharusnya mengubah paradigma keterbukaan seseorang terhadap iman. Menyadari bahwa setiap orang punya klaim kebenaran masing-masing. Memaksakan orang lain beriman sesuai keyakinan kita adalah cara usang yang tidak relevan dengan zaman sekarang.

Keterbukaan informasi punya dampak positif bagi manusia untuk memperolah ilmu sebanyak mungkin. Di sisi lain akan mengaburkan iman seseorang sebab melimpahnya sudut pandang terhadap kebenaran. Ketika ilmu tidak tersusun dengan baik di otak manusia, sampai di persimpangan iman seseorang akan mempertimbangkan lagi kebenarannya. Kalau dalam istilah Islam, mualaf dan murtad sudah menjadi budaya.

Setelah selesai memilah iman, seseorang akan mudah menentukan iman. Sehingga iman dicapai melalui proses pencaraian, bukan sebab keturunan (warisan). Kebodohan bisa menjadi jalan manusia kehilangan keimanan. Biasakan belajar menerima pengetahuan yang tersebar di sekitar kita. Anggap semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, dan semua kejadian adalah pelajaran. Selamat beriman, manusia-manusia berilmu.

Kasus seorang anak kiai Jombang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena kasus pencabulan menjadi kegelisahan saya sebagai warga...

skeptisisme pondok pesantren

Kasus seorang anak kiai Jombang yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) karena kasus pencabulan menjadi kegelisahan saya sebagai warga nahdliyin. Citra pondok pesantren menjadi “kawah candradimuka” bagi santri yang digembleng akidah iman dan takwa tercoreng dengan perilaku kontras pengurus atau pengelola ponpes.

Bahkan sebelum kasus di Ponpes Shiddiqiyah, ada yang lebih miris dengan kasus pemerkosaan 13 santriwati oleh ketua forum pondok pesantren pondok tahfiz al-Ikhlas, Yayasan Manarul Huda Antapani dan Madani Boarding School Cibiru Bandung. Pelaku akhirnya divonis hukuman mati di Hakim Pengadilan Tinggi (PT) Bandung.

Di Depok juga ada kejadian serupa setelah polisi menetapkan tiga ustaz dan seorang santri sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencabulan terhadap belasan santriwati di Pondok Pesantren Istana Yatim Riyadul Jannah, Depok. Belum lagi kasus lainnya yang belum diangkat di media.

Pondok pesantren merupakan wajah dari Nahdlatul Ulama dalam membentengi ajaran masyarakat dari kekuatan Islam fundamentalis. Bahkan kantong politik pondok pesantren menjadi daya tawar partai dan politikus meraup banyak suara di pileg maupun pilpres. Ketika mulai bangkit seiring kepemimpinan Jokowi yang mendukung program pondok pesantren, kasus pelecehan seksual atau pencabulan menciptakan sikap skeptisisme masyarakat untuk memondokan anaknya.

Apalagi lingkungan pondok pesantren yang jauh dari pengawasan orang tua. Santri harus bermukim dengan doktrin sami’na waatho’na kepada kiai atau ustaz. Orang tua yang berharap menyekolahkan anak ke pondok pesantren agar jadi alim dibayangi ketakukan pada sikap predator seksual pengawas atau pengelola pondok.

Tentu tidak adil menyatakan bahwa satu atau dua kasus pelecehan seksual di lingkungan pondok pesantren bakal mewakili mayoritas ponpes di Indonesia. Apalagi laporan Kementerian Kementerian Agama menunjukkan, ada 26.975 pondok pesantren di Indonesia per Januari 2022. Jumlah sebanyak itu memungkinkan beberapa di antaranya tidak menerapkan kaidah-kaidah kepesantrenan dengan perilaku bejat.

Seperti nasehat Imam Al Ghazali bahwa manusia akan selalu bergulat dengan hawa nafsunya sendiri. (1) Orang yang sepenuhnya dikuasai oleh hawa nafsunya. “Maka, pernahkah kamu melihat orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya.” (Al-Jatsiyah: 23).

(2) Orang yang senantiasa bertarung melawan hawa nafsu. Nabi Muhammad bersabda, “Berjuanglah kamu melawan hawa nafsumu sebagaimana kamu berjuang melawan musuh-musuhmu.” (3) orang yang sepenuhnya dapat menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya. Itulah orang yang mendapatkan rahmat Allah Swt.

Mengiming-imingi agama untuk perilaku bejat di lingkungan pondok pesantren merupakan masalah besar yang dihadapi bukan hanya NU sebagai representasi organisasi, namun juga kepada budaya dan bangsa Indonesia yang dikenal menganut nilai-nilai spiritual.

Meskipun di sisi lain, penetapan DPO dianggap sebagai kriminalisasi pondok pesantren, namun pengaruh media membawa persepsi miring mengenai kredibilitas ponpes menciptakan santri yang berkualitas secara sosial dan spiritual. Ketika NU dianggap sebagai mitra pemerintahan, seharusnya tersangka berani datang ke pengadilan untuk membuktikan ketidaksalahannya.

Proses menghindar dan lari dari proses hukum menambah keyakinan masyarakat bahwa pelaku memang melakukan perbuatan yang dituduhkan. Kemudian berlindung di balik nama besar bapaknya yang merupakan seorang kiai semakin mendestruksi kualitas pondok pesantren yang tidak taat hukum.

Polisi menyatakan bahwa penegakan hukum terhadap kasus pencabulan santriwati merupakan masalah individu dan bukan sebagai kriminalisasi pondok pesantren. Namun kasus tersebut berdampak terhadap pandangan negatif masyarakat terhadap pondok pesantren. Apalagi bagi mereka yang memondokan anak atau keluarganya.

Pemerintah atau pihak terkait harus terlibat mengangkat kembali kredibilitas pondok pesantren yang nyaman dan aman bagi santrinya. Ustaz atau kiai di pondok pesantren merupakan cerminan perilaku santrinya. Jika ada perilaku yang bertolakbelakang dengan ajaran agama, maka rusaklah citra pondok pesantren, agama Islam, dan budaya bangsa.

Tujuan orang tua menyekolahkan anaknya di pondok pesantren adalah agar anak lebih mandiri, memahami agama, melatih bersosialisasi, dan terlindung dari pengaruh buruk lingkungan. Apalagi kehidupan pergaulan bebas semakin marak di lingkungan anak-anak. Ketika sekolah atau kampus tidak mampu mengontrol perilaku anak didiknya, pondok pesantren adalah tempat yang pas untuk mencetak generasi unggulan.

Namun harapan itu akan hancur ketika kasus-kasus pelecehan, pencabulan, dan pemerkosaan malah terjadi di lingkungan yang seharusnya mengharamkan dan mengutuk perilaku seperti itu bermunculan di media sosial. Ketika citra pondok pesantren rusak oleh beberapa oknum pengelola pondok pesantren, kemana lagi harus menitipkan anak agar terhindar dari bahaya pelecehan seksual dan ancaman predaktor seksual?***

  Pemerintah memberangkatkan 92.825 jemaah haji asal Indonesia akan diberangkatkan ke Arab Saudi pada tahun ini. Mereka berangkat dari 13 em...

 

Deprimordialisasi Haji dan Kurban

Pemerintah memberangkatkan 92.825 jemaah haji asal Indonesia akan diberangkatkan ke Arab Saudi pada tahun ini. Mereka berangkat dari 13 embarkasi haji, dengan 241 penerbangan. Haji menjadi impian seorang muslim sebagai penggenap rukun Islam dengan keterangan “jika mampu”. Realitanya, banyak masyarakat yang dipandang “tidak mampu” justru bisa berangkat haji daripada mereka yang sebenarnya sudah sangat mampu.

Sebagai bagian rukun, ibadah haji harus diniatkan dalam keadaan apapun. Perkara kelak bisa terlaksana atau tidak merupakan hak Allah. Dari niat harus dimulai dengan menyisihkan harta untuk bisa berkunjung ke kakbah. Niat dan istikamah itulah yang memudahkan jalan mereka yang bisa berangkat haji meski tidak punya penghasilan lebih.

Berharap setiap ritual ibadah haji menghasilkan output kemabruran yang tercermin dalam dua dimensi, yakni ilahiah dan sosial masyarakat. Dimensi ilahiah adalah kemabruran haji berdasarkan persepsi Allah. Sehingga tidak pantas orang lain  menghakiminya sebagai pemburu gelar haji. Sementara dimensi kedua adalah sosial masyarakat yang merupakan manifestasi dari perilaku sosial dari kemabruran haji.

Dalam struktur peribadatan rukun Islam sebelum berhaji adalah puasa dan zakat. Puasa merupakan bentuk ibadah vertikal tentang pengabdian hamba kepada Tuhan. Sedangkan zakat adalah manifestasinya dengan pengabdian kepada sesama. Demikian halnya dengan haji yang harus mencerminkan kedua dimensi tersebut secara spiritual, moral, dan sosial.

Meskipun dipahami sebagai ibadah eksklusif dari kacamata biaya, para ulama menyusun kitab yang menjelaskan manfaat ibadah lain yang setara dengan ibadah haji. Misalnya tidak meninggalkan salat jamaah di masjid, zikir setelah salat subuh berjamaah sampai terbit matahari kemudian menjalankan salat sunah dua rakaat, dan pergi ke masjid untuk menuntut ilmu atau mencari kebaikan.

Namun ibadah haji tetap harus diniatkan dan diusahakan oleh setiap muslim sebagai penyempurnaan agama. Kesempatan berhaji adalah peluang untuk menyelenggarakan penjernihan diri kembali. Tercerahkan pada empat tataran: intelektual (objektivitas berpikir), spiritual (kejernihan jiwa, kebersihan hati, ketulusan perasaan, serta kepekaan rohani), mental (ketenteraman, elastisitas dan relaksitas, kedamaian, keseimbangan), serta moral (integritas sosial, kemanusiaan, sikap demokratis).

Deprimordialisasi disimbolkan dalam ibadah ihram. Menurut Profesor Quraish Shihab, ihram terambil dari kata haram yang dari segi bahasa berarti sesuatu yang terhormat atau terlarang akibat kehormatannya. Allah ingin menunjukan kepada makhluk-Nya bahwa tidak sepanjang hidupnya manusia boleh memelihara kebodohan untuk hanya pernah mencapai tingkat primordialisme hidup.

Manusia harus melepaskan segala aksesori kehidupan seperti popularitas, jabatan, kekayaan, dan lain sebagainya ketika memutuskan melaksanakan ibadah haji. Ihram harus bisa dimaknai sebagai proses hidup bahwa segala hal yang bersifat keduniawian adalah sementara.

Seharusnya haji memiliki ketajaman untuk menyaksikan betapa sejarah kita terlalu bergelimang primordialisme budaya, primordialisme negara dan ras, dan primordialisme yang menerjemahkan dirinya melalui formalitas kekelompokan. Seperti halnya ihram, ibadah haji mengajak manusia untuk kembali sungguh-sungguh menjadi manusia.

Ada orang yang tak pernah punya kesanggupan ekonomi untuk berhaji, tapi kualitas kepribadiannya mencapai tingkat haji. Bahkan ada seseorang yang sudah bertahun-tahun menabung uang untuk naik haji, tapi menjelang berangkat, ia terpanggil untuk menolong keterdesakan darurat ekonomi tetangganya. Sebaliknya, tidak sedikit orang yang rajin berkali-kali naik haji, tapi kualitas kepribadiannya, mentalitas pribadi, dan moralitas sosialnya tak kunjung haji.

 
Baca Juga : Berburu Gelar Haji

Primordialisme Kurban

Idul Adha atau hari raya kurban merupakan peringatan mengenang peristiwa pengorbanan Nabi Ibrahim atas mandat Allah untuk menyembelih anaknya, Nabi Ismail. Pesan di balik peristiwa tersebut adalah bagaimana seseorang mesti rela dan ikhlas melakukan apapun untuk Allah.

Kurban berasal dari kata qaraba-yaqrabu, bermakna mendekat. “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, agar kamu beruntung.” (QS. Al-Maidah: 35). Esensi pendekatan kepada Allah adalah dengan berjihad atau mengorbankan segala hal untuk agama dan kemaslahatan umat.

Dalam kaidah fikih, kurban adalah prosesi penyembelihan hewan ternak seperti; kambing, sapi, dan onta. Hewan ternak sesungguhnya tamsil dari dominasi hawa nafsu dan syahwat. Tamsil segala kesesatan dan keburukan, kebodohan, kedengkian, buruk sangka, kemalasan, ketakaburan, kecintaan pada hal-hal material dan aspek lainnya yang harus disembelih.

Haji dan kurban merupakan deprimordialisasi budaya manusia agar kembali fitri. Berangkat haji berarti proses kembalinya manusia ke asal untuk kembali menjadi Abdullah (hamba Allah, di atas sekadar humanisme), kemudian Khalifatullah (wakil Allah untuk memanajemen sejarah), syukur kemudian Najibullah (mewakili visi-visi), dan Waliyullah (mandataris utama yang diserahi sejumlah kecil rahasia-Nya).***

  Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin mendorong MUI untuk menerbitkan fatwa ganja medis. Mahkamah Konstitusi (MK) akan melakukan uji materi y...

 

legalisasi ganja

Wakil Presiden KH. Ma'ruf Amin mendorong MUI untuk menerbitkan fatwa ganja medis. Mahkamah Konstitusi (MK) akan melakukan uji materi yang diajukannya atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebelumnya Thailand menjadi negara ASEAN pertama yang melegalkan ganja untuk konsumsi minuman dan makanan.

Meski demikian, legalisasi ganja medis punya batasan penggunaan agar tidak disalahgunakan. Ganja merupakan jenis tumbuhan yang mempunyai manfaat untuk mengobati penyakit seperti alzheimer, sklerosis lateral amiotrofik (ALS), HIV-AIDS, penyakit crohn, epilepsi dan kejang, glaukoma, multiple sclerosis dan kejang otot, sakit parah dan kronis, mual atau muntah parah yang disebabkan oleh pengobatan kanker (sumber: Mayoclinic).

Dua tahun yang lalu, pemerintah memutuskan untuk mencabut Kepmentan RI Nomor 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang di dalamnya menyebutkan ganja sebagai tanaman obat binaan Dirjen Hortikultura. Pencabutan tersebut dilakukan sebab bertentangan dengan Undang-Undang Narkotika yang menyatakan ganja bukanlah tanaman obat.

Pada dasarnya tumbuh-tumbuhan atau produk nabati yang ada di bumi itu halal dan boleh dikonsumsi. “Dan Dia (Allah) telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. 45: 13)

Ganja merupakan obat yang bersifat simtomatik, bukan bersifat menyembuhkan. Lebih kepada keingingan untuk menikmati halusinasi yang disebut psikoaktif untuk mempengaruhi kejiwaan seseorang. Ganja mengandung unsur psikotropika  tetrahidrokanabinol (THC) yang dapat menyebabkan perubahan pada aktivitas dan mental seseorang.

Dari sisi medis, ganja dapat mengakibatkan kerusakan otak, penyakit paru-paru, gangguan pada sistem peredaran darah, ganguan mental, dan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Gaanja bisa memicu efek samping berupa perasaan paranoid, mual, hingga gangguan persepsi.

Meskipun begitu, ganja memiliki manfaat secara medis. Ganja dapat digunakan untuk mengatasi dan mencegah mata dari glaukoma. Selain itu juga bisa mencegah kejang karena epilepsi, mematikan beberapa sel kanker, mengurangi nyeri kronis, mengatasi masalah kejiwaan, hingga memperlambat perkembangan alzheimer. Demikian yang menjadikan beberapa negara kemudian mencabut larangan peredaran ganja.

Dari segi agama, secara nash tidak ada ketetapan atau larangan penggunaan daun ganja. Konsumsi ganja nyatanya masih banyak digunakan untuk bumbu masak tradisional. Misalkan Aceh yang dikenal sebagai penghasil ganja terbesar di Indonesia. Label haram penggunaan ganja terletak pada kuantitas ganja yang dikonsumsi. Boleh jika takarannya sesuai (sedikit), haram jika berlebihan.

Di Indonesia, ganja memiliki potensi besar secara ekonomi. Optimalisasi ganja tidak hanya digunakan untuk kepentingan medis, namun juga menjadi alternatif sumber pendapatan negara. Pada tahun 2019, Riset Precedence Research mencatat pasar ganja legal senilai US$ 17,5 miliar dan diperkirakan mencapai US$ 65,1 miliar atau hampir 1.000 triliun pada tahun 2027.

 
Baca Juga : Kemerdekaan Sains

Risiko

Legalisasi ganja terhalang oleh persepsi masyarakat yang masih tabu mengonsumsi ganja. Apalagi jika tanpa pendampingan, ganja dapat menyebabkan banyak penyakit. Indonesia yang mayoritas beragama Islam mengharapkan ada fatwa tegas dari MUI mengenai legalisasi ganja, minimal untuk keperluan medis.

Melegalkan rokok dan melarang ganja adalah ketidakkonsistenan kebijakan pemerintah menjalankan amanah konstitusi untuk menjamin kesehatan dan keselamatan warga negara. Keduanya sama-sama menyebabkan kecanduan atau ketagihan. Secara medis juga sama-sama membahayakan bagi diri sendiri. Tapi ada diskriminasi peredaran di antara keduanya. Fatwa agama hanya menilai secara preventif konsumsi barang yang dianggap membahayakan tubuh.

Padahal ganja malah punya manfaat dari segi hukum, kesehatan dan ekonomi. Secara hukum legalisasi ganja jika diterapkan di Indonesia akan melonggarkan beban penjara menampung pengguna dan pengedar ganja. Benturan kepentingan politik, kesehatan, dan agama tidak akan pernah menemukan titik terang jika masih kolot terhadap kepentingan masing-masing daripada utnuk kemaslahatan umat dan negara.

Misalpun ganja dilarang dengan alasan kekhawatiran konsumsi tanpa arahan medis, produksi ganja seharusnya dipertimbangkan sebagai potensi pendapatan negara dengan mengekspor ke negara-negara yang membutuhkan. Sedangkan penegak hukum malah sering terlibat pemusnahan tanaman ganja di berbagai daerah.

BNN terus meningkatkan strategi hard power approach atau pemberantasan jaringan sindikat narkoba di berbagai wilayah. Tahun kemarin, Tim penyelidikan Direktorat Narkotika Deputi Pemberantasan BNN berhasil memusnahkan 2 hektar ladang ganja, dengan jumlah tanaman sebanyak ± 20.000 pohon, berat tanaman basah ± 15 ton. pada ketinggian 424 mdpl dengan luas 1 hektar, dan pada ketinggian 835 mdpl dengan luas yang sama, yakini 1 hektar.

Indonesia diberkahi lahan yang subur untuk berbagai komoditas pertanian, termasuk tembakau dan ganja. Secara internasional, ganja masih dilarang peredarannya. Namun kemajuan ilmu sains di bidang kesehatan membuktikan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Tuhan mempunyai manfaat. Pemerintah harus jeli melihat peluang dan potensi pasar ganja global. Selain dapat membantu kesejahteraan petani ganja, negara juga bisa mendapatkan banyak keuntungan dari ekspor ganja.

Meskipun demikian, butuh pengawas yang punya kompetensi untuk mengatur peredaran dan ekspor ganja jika nanti dilegalkan. Jangan sampai perdaran ganja malah dijadikan gaya hidup yang berpotensi merusak masa depan generasi muda. Tentu segala sesuatu punya risiko. Sebab yang berlebihan akan selalu menyebabkan kekecewaan.

  Jagat media maya menyajikan beragam informasi yang berpotensi menimbulkan kefanatikan dan berujung konflik sosial. Menyimpulkan fragmen op...

 

jangan mudah terpengaruh

Jagat media maya menyajikan beragam informasi yang berpotensi menimbulkan kefanatikan dan berujung konflik sosial. Menyimpulkan fragmen opini dan perspektif yang belum tentu kebenarannya. Mudah terpengaruh untuk mengikuti sebuah narasi yang dibangun untuk memecah belah persatuan.

Eksistensialisme manusia menghendaki terjadinya konflik. Mengalahkan satu sama lain untuk bisa berkuasa. Beragam metode dilakukan untuk menghimpun massa menyetujui pendapatnya. Menggiring opini dan mengaburkan fakta untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Manusia-manusia modern yang masih saja mudah ditipu. Sementara informasi dan ilmu pengetahuan berserakan di internet.

Hidup bersosial tentu membutuhkan adanya aturan. Namun, aturan tersebut tidak boleh berpijak pada kekuasaan belaka, melainkan pada keadilan dan kebenaran. Padahal kebenaran sifatnya relatif. Apa yang didengar manusia sebenarnya adalah sebuah opini, bukan fakta. Apa yang dilihat manusia sebenarnya adalah perspektif, bukan kebenaran.

Sedangkan saat ini, manusia sudah kehilangan keautentikan diri dengan menggantungkan kebenaran pada perspektif dan opini orang lain. Setiap orang punya perspektifnya masing-masing, ketika sudah diucapkan adalah opini, bukan kebenaran itu sendiri. Sehingga setiap orang punya hak menentukan konsep kebenarannya. Namun kadang banyak yang malas merumuskan kebenaran dan menyandarkannya kepada mereka yang dianggap mengetahui kebenaran.

Metode dekonstruksi akan melihat kebenaran sebagai jejak. Manusia tidak akan pernah mampu memahami kebenaran secara mutlak. Setiap jejak kebenaran selalu bersifat tidak pasti dan terbuka. Bisa berubah sesuai perubahan waktu dan peristiwa. Selalu terbuka untuk pertanyaan dan sanggahan, sampai muncul kemungkinan lain yang dianggap lebih baik. Mungkin kebenaran manusia saat ini adalah kesalahan yang belum dipahami.

Kebenaran yang disampaikan seseorang bisa disebut sebagai tafsiran. Dalam kajian filsafat, setidaknya ada tiga teori tentang kebenaran. (1) teori kebenaran korespondensi yang dipandang sebagai kesesuaian antara pikiran, perkataan, perasaan, dan realitas yang sesungguhnya. (2) teori kebenaran koherensi yang artinya suatu pernyataan disebut benar, jika pernyataan itu masuk akal dan memiliki keterkaitan logis dengan premis-premis yang membentuk pernyataan itu. (3) teori kebenaran konsensus, yang disepakati secara komunal sebagai kebenaran.

 
Baca Juga : "Aku Tidak Tahu"

Menyoal Agama

Isu tentang kaitan antara agama (iman) dan ilmu pengetahuan selalu menjadi bahasan di ruang publik. Agama dianggap berpijak pada kepercayaan. Sementara, ilmu berpijak pada akal budi. Hubungan keduanya rumit, sangat radikal dan sulit didamaikan apalagi disatukan.

Penganut agama meyakini bahwa kitab suci adalah sumber kebenaran dari Tuhan yang disaranakan melalui nabi. Seiring waktu, sandaran kebenaran terhadap kitab suci diinterpretasikan menjadi sebuah tafisiran tanpa hak untuk menyanggah pada sebuah kebenaran. Ajaran agama yang sudah terreduksi oleh tafsir dijadikan alat untuk menyimpulkan kebenaran secara mutlak tanpa ruang diskusi.

Padahal kebenaran yang sudah bersinggungan dengan manusia hanya akan menjadi persepsi dan opini masing-masing orang. Hingga ada kasus memanipulasi agama untuk popularitas, ekonomi, dan seksualitas. Kemalasan mencari konsep kebenaran menjadikan manusia mudah terpengaruh. Mempercayakan kebenaran pada orang yang dianggap ahli.

Misalkan dalam ranah kajian tafsir kitab suci. Upaya manusia untuk menafsirkan kehendak atau perintah Tuhan berdasarkan perspektif yang pernah didengar atau dilihat (dibaca). Kemudian muncul opini-opini yang dijadikan rujukan dalam menjalankan ajaran agama. Umat mempercayai satu dari banyak tafsir yang berbeda-beda.

Di dunia maya misalkan, manusia disuguhkan dengan banyaknya informasi dan opini menyoal agama. Opini yang dianggap berseberangan dengan konsep kebenarannya akan ditolak dan dimusuhi, sedangkan opini yang dianggap sejalan akan menambahkan semangat untuk melawan mereka yang berbeda pandangan. Hingga akhirnya agama dijadikan alat untuk berkonflik dan melegalkan kekerasan terhadap sesamanya.

Hilangnya kepakaran sebab melimpahnya ruang untuk semua orang beropini soal agama menjadikan pencarian kebenaran semakin sulit ditemukan. Akan muncul banyak persepsi dan opini yang membawa manusia dalam konflik yang tidak pernah berakhir. Saling menyalahkan dan memvonis salah orang lain.

Manusia menjadi mudah terpengaruh dan mereka yang punya kuasa akan bebas mempengaruhi banyak orang. Buta informasi untuk menentukan kebenaran yang beragam. Perspektif dan opini tunggal kadang dianggap kebenaran mutlak dari Tuhan sesuai amanah kitab suci. Manusia terbuai dengan opini-opini yang kerap menjejali telinga manusia yang malas menemukan perpesktif atas kebenaran lainnya.

Perlu belajar memahami hakekat kebenaran dengan mencari informasi yang sebanyak-banyaknya. Jangan mudah terpengaruh dengan narasi dari opini seseorang. Apalagi opini tersebut rentan bertentangan dengan ajaran agama yang katanya luhur. Risiko melubernya informasi adalah bagaimana manusia bisa memilih dan memilah informasi yang selaras dengan jejak-jejak kebenarannya.

  Berkali-kali terdengar peringatan tentang teror keadaan dan situasi akhir zaman. Siasat untuk rekrutmen jamaah secara masal. Mengancam den...

 

Media Dakwah Digital

Berkali-kali terdengar peringatan tentang teror keadaan dan situasi akhir zaman. Siasat untuk rekrutmen jamaah secara masal. Mengancam dengan hukuman pascakematian dan mengiming-imingi kenikmatan pada kesalehan. Modernitas membawa manusia dalam angan-angan kemajuan dan kesejahteraan. Namun modernitas belum cukup mampu menjawab persoalan sejarah dan tantangan beragama di masa depan.

Digitalisasi kehidupan memaksa manusia menghibahkan waktu dan pikirannya untuk bermedia sosial. Perihal pendapatan ekonomi, pemenuhan informasi terkini, isu politik, hingga kebutuhan rohani digantungkan pada sistem media komunikasi. Kemudian dijadikan sarana artikulatif seseorang untuk mengekspresikan dirinya. Sampai pada gelora dakwah untuk memasarkan ideologi ke pasar yang lebih luas.

Kontestasi dakwah bukan hanya tentang ideologi, melainkan pada motif popularitas dan ekonomi. Membanjirnya informasi patut disyukuri sebagai keniscayaan kemajuan teknologi, sebaliknya menjadi kegelisahan ketika media menjadi objek hilangnya kepakaran dan intelektualitas informasi. Masyarakat dicekoki hoaks yang gampang menyulut emosi. Menajamkan konflik hingga perilaku anarkisme.

Tidak ada standar nilai dakwah yang ideal untuk dikonsumsi masyarakat. Perpecahan semakin nyata terjadi ketika agama semakin masif terkotak-kotak. Media menjadi penyebab kesenjangan penampilan formalitas dan kualitas dakwah. Ditambah fanatisme umat yang rendah literasi dan malas berpikir secara kontekstual. Akibatnya agama bisa dengan mudah ditunggangi politik untuk mengantongi suara di pemilu. Politik identitas beberapa tahun ke belakang adalah bukti konkret gagapnya masyarakat yang belum siap dengan pesatnya kemajuan teknologi digital.

Mengidolai tokoh tanpa mengetahui kepribadian (personalitas) aslinya. Meyakini dan mengakui kualitas pengetahuan dan keimanan seorang dari media yang penuh manipulatif. Dakwah didesain sedemikian rupa untuk mempengaruhi (doktrin) masyarakat agar fanatik dan berani melawan musuh (yang berbeda ideologi). Setidaknya hingga saat ini, konflik agama masih menjadi konsumsi utama di dunia digital.

Perang narasi, adu argumen, dan caci maki mewarnai riuh media sosial sebab ketidakmauan menerima perbedaan pandangan. Pendakwah juga banyak yang tidak berperilaku sebagai seorang tokoh spiritual yang mementingkan persatuan daripada perpecahan. Penyataan provokatif sering menyulut konflik yang jika dikelola bisa menjadi perdebatan nasional. Media sedikit-banyak menghilangkan esensi dakwah yang mengajak pada kedamaian namun dimanipulasi menjadi ajakan kekerasan.

 
Baca Juga : Konstruksi Identitas Gerakan Hijrah

Risiko Artificial Intelligence

Artificial Intelligence atau kecerdasan buatan adalah produk teknologi yang bisa mengancam manusia itu sendiri sebab ketidakmampuan untuk mengendalikannya. Aktivitas pengguna direkam menggunakan sistem tertentu yang datanya diolah oleh mesin untuk mempengaruhi (menaklukan) konsumen media digital. Kapitalisme media berhasil menguasai emosi hingga perilaku manusia modern dengan memanfaatkan algoritma media sosial.

Media sosial memberikan parameter kepuasan personal bagi pengguna melalui berbagai fitur yang ditawarkan. Sehingga nilai seseorang dilihat dari tingkat popularitas di media sosial. Bahkan banyak di antaranya aktif mengumbar sensasi agar diperhatikan banyak orang. Semuanya menjadi budak media sosial yang selalu butuh pengakuan dari yang lain.

Ketika popularitas dijadikan parameter kepakaran seseorang, maka kekacauan sosial akan sering terjadi. Dalam ranah agama yang sifatnya sensitif bisa mengubah paradigma banyak orang melalui dakwah-dakwah tanpa kompetensi yang memadai. Setiap orang bisa mengklaim dirinya sebagai pendakwah. Setiap orang juga punya potensi yang sama untuk mengikuti dan dipengaruhi oleh pola pikir “pendakwah abal-abal”.

Artificial Intelligence tidak menyediakan wadah bagi orang yang punya kapasitas tertentu untuk berdakwah. Semua punya peran dan fungsi yang sama di pasar media sosial. Mereka yang menawarkan dagangan menarik akan mudah mendapat atensi dari masyarakat luas, meski tanpa diketahui taraf keilmuannya. Makanya banyak yang cenderung mengejar popularitas dulu sebelum meningkatkan kualitas.

Ketika sudah punya pengaruh dan bisa mempengaruhi banyak orang, barulah melakukan prosesi peningkatan kualitas ilmu dan iman sebagai syarat dasar menjadi pendakwah. Jamaah atau masyarakat menjadi korban kegagapan ilmu pengetahuan pendakwah ketika menjelaskan agama yang rancu dan keliru. Apalagi kekeliruan tersebut dianggap sebagai kebenaran mutlak yang sering berseberangan dan menimbulkan konflik.

Dakwah di era digital harus fokus mempertimbangkan keilmuwan seorang pendakwah. Membagiakan kajian sesuai kapasistas pengetahuannya. Tidak boleh memaksa lantaran status popularitas dan sandangan gelar ustaz atau ulama. Media merupakan alat yang bisa membantu ketika dimanfaatkan dengan baik, sebaliknya bisa menimbulkan malapetaka ketika salah digunakan.

Media dakwah digital mulai tersebar di banyak platform media sosial. Banyak tokoh yang muncul tanpa standarisasi pendakwah yang kompeten. Mengandalkan visual dan popularitas yang dicapai bukan sebab kepakaran, melainkan pengaruh alogaritma yang menjadikannya tokoh berpengaruh.

Saat ini, bukan hanya manusia yang mudah diatur dan dipengaruhi oleh media, agama dan keyakinan pun bisa dikontrol oleh media. Entah ingin dibuat konflik atau perang sekalipun. Manusia yang terlanjur “terhipnotis” akan kehilangan akal sehat sebab susahnya keluar dari candu media digital. Mari melihat perspektif yang lebih luas tentang media dakwah digital yang berperan penting terhadap perubahan peradaban.

  Tuhan menciptakan agama agar tercipta kedamaian dan kebahagiaan penghuninya. Manusia diperintah untuk menjadi pemimpin di bumi dengan kapa...

 

ancaman-agama

Tuhan menciptakan agama agar tercipta kedamaian dan kebahagiaan penghuninya. Manusia diperintah untuk menjadi pemimpin di bumi dengan kapasistas otak yang diberikan. Mengelola dan mengeksplorasi alam untuk bertahan hidup dan menjaga ekosistem di dalamnya. Namun, kekerasan dan peperangan memuturabalikan angan tersebut.

Agama begitu melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Apapun aktivitas selalu dikaitkan dengan peribadahan. Politik agama, ekonomi syariah, dan budaya islami adalah beberapa kampanye yang kerap muncul di lini massa. Menggunakan simbol-simbol agama untuk membenarkan keyakinan dengan perilaku melegalkan kekerasan.

Agama menjadi ruang eksklusif untuk beberapa orang. Hingga puncaknya adalah premanisme agama dengan perilaku anarkisme hingga terorisme. Setidaknya ada 5 alasan yang mendasari kesalahan memahami esensi beragama. Pertama, pola pikir terbelakang yang kerap mengiming-imingi uforia kejayaan masa lampau. Ideologi konservatif disebarluaskan ke ruang publik untuk mempengaruhi pemikiran generasi milenial yang masih labil dalam menentukan pilihan hidup dan keyakinan beragama.

Narasi yang disampaikan seputar khilafah dan sistem kepemerintahan. Sebab itu, ideologi konservatif menghendaki adanya perubahan tata nilai sistem kepemerintahan. Berusaha mengubah dasar negara beserta instrumen di dalamnya. Bernegara diimajinasikan berlandaskan syariah agama agar tercipta keadilan dan kesejahteraan rakyatnya.

Kedua, gagal menyesuaikan dengan kemajuan zaman yang mengakibatkan kondisi keterbelakangan. Bodoh dan miskin yang membuatnya merasa tertindas dengan mencari kambing-hitam atas kemalangan nasibnya. Biasanya pemerintah dijadikan sasaran utama yang diikuti dengan kelompok-kelompok besar lainnya. Ketidakmampuan menyesuaikan zaman membuatnya putus asa dan melakukan hal-hal ekstrem seperti teror dan aksi bom bunuh diri dengan harapan balasan surga.

Ketiga, takut pada perbedaan. Alasan ini yang menyebabkan aksi intoleranisme menyebar ke berbagai daerah. Menyerang umat-umat agama lain, bahkan menyerang yang seagama namun berbeda ideologi atau aliran. Ketidakrelaan melihat persatuan (kedamaian) yang dirusak dengan memancing isu konflik agama menyebabkan kekerasan atas nama agama masih sering terjadi.

Perbedaan dianggap ancaman yang menganggu kelanggengan ideologi atau aliran kelompoknya. Menghendaki atau memaksa untuk sama adalah keniscayaa terciptanya konflik. Intoleran terjadi sebab keterbatasan ilmu pengetahuan (wawasan) memahami agama secara kompleks. Bahwa banyak kebenaran yang diyakini setiap orang. Menuntut sama, berarti menuntut perselisihan.

Keempat, hilangnya sikap empati. Kalau simpati hanya berupa ungkapan (basa-basi) memberikan semangat dan turut berduka cita, empati lebih punya kesadaran ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Demikian yang selalu dihidupkan dalam lingkungan pondok pesantren tentang hakekat memanusiakan manusia.

Ketiadaan sifat dan sikap empati membuatnya tidak peduli pada kepentingan bersama. Menyebabkan sikap egoisme dan kesombongan diri sebab keringnya perasaan dan hati nurani. Egoisme ditunjukan dengan keinginannya hidup bahagia sendiri. Merasa paling benar sendiri. Acuh tak acuh pada pilihan hidup orang lain. Berbeda berarti dilawan.

Terakhir, taklid buta dan fanatisme berlebihan. Dampaknya adalah kehilangan nalar logis dan kematian nurani. Tidak meliha kejadian atau permasalahan secara objektif. Sehingga kebodohan semakin tampak diperlihatkan. Agama malah menjadi candu manusia untuk berkembang sebab ketidakmampuan memahami ajaran. Agama terlihat kaku dan kering kerontang.

Kebodohan umat yang dipenjara pada ideologi konservatif dan nilai-nilai fanatisme malah menjadi alasan rusaknya agama. Pemeluk agama harus sering kontemplasi diri daripada menuduh faktor eksternal yang dianggap menjadi penyebab konflik agama. Meningkatkan pengetahuan dan wawasan berpikir luas agar tidak mudah dibodohi dengan simbol atau ornamen yang mengatasnamakan agama sebagai barang dagangan dan alat berpolitik praktis.

Umat agama harus bisa lepas dari belenggu penindasan. Melepaskan dari penderitaan konflik seputar perbedaan cara pandang memaknai agama. Umat beragama harus semangat belajar agar menjadi cerdas dan kritis. Muaranya adalah terciptanya keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan dunia akhirat.

Semua punya peran mengentaskan masalah klasik umat beragama. Pemerintah harus bijak menentukan aturan bernegara. Penegak hukum harus bersikap adil mengatasi tidak kriminal. Sistem pendidikan harus keluar dari penyusup narasi ideologi fundamentalis yang punya motif memecah belah bangsa. Masyarakat juga harus menjadi filter kematangan beragama agar tidak mudah terprovokasi dan diintimidasi ajaran yang punya tendensi menciptakan konflik.

Agama menjadi bahasan paling sensitif dan mudah untuk menimbulkan konflik. Kesadaran, wawasan yang tinggi, dan kedewasaan bersikap merupakan langkah mendasar terhindar dari konflik agama. Jika masih bodoh beragama, maka ancaman konflik dan peperangan akan selalu menjadi isu yang akan dibahas di forum formal maupun informal.

  Mengagamakan budaya dan membudayakan agama menjadi gagasan kontekstual membinekakan Indonesia. Mengambil dasar nilai pancasila melalui dia...

 

agama-dan-budaya

Mengagamakan budaya dan membudayakan agama menjadi gagasan kontekstual membinekakan Indonesia. Mengambil dasar nilai pancasila melalui dialektika kebudayaan dan agama sebagai instrumen utama kemerdekaan Indonesia. Sejalan dengan cita-cita bangsa tentang keimanan, kerukunan, dan keadilan. Bukan tanpa alasan, dikenal memiliki budaya yang adi luhung, Indonesia juga merupakan negara paling religus di dunia.

Meskipun sifatnya abstrak untuk menilai kemajuan sebuah negara, budaya dan agama yang saling terikat menjelaskan keutuhan bangsa yang langgeng tanpa intervensi asing. Ketika negara lain tercerai berai akibat konflik domestik, Indonesia masih gagah mengampanyekan persatuan. Aktualisasi budaya luhur bangsa adalah kepatuhan terhadap anjuran tokoh yang dianggap punya kapabilitas mengatasi sebuah permasalahan. Penanganan pandemi adalah salah satu dari banyak kesediaan masyarakat untuk jatuh dan bangkit bersama.

Kebinekaan dalam tubuh Indonesia adalah keniscayaan yang coba diikat dalam kesepakatan pancasila. Sila pertama dijadikan representasi keberagaman kepercayaan dengan disimbolkan unsur ketuhanan. Selebihnya dijadikan cita-cita bangsa dengan memperhatikan aspek budaya bangsa seputar kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.

Pancasila merupakan mahakarya founding fathers Indonesia. Menyusun diksi yang tidak memuat unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ketika ada yang menyinggung unsur tersebut akan dilawan secara kompak dan bersama. Penghinaan atau pelecehan sara bukan cerminan budaya bangsa. Sebab dalam prakteknya kebudayaan Indonesia senang menghargai perbedaan dan mengindahkan rasa persaudaraan. Semua suku, agama, dan ras punya andil memerdekakan Indonesia dan menjaga keutuhan bangsa.

Agama merupakan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan, sedangkan budaya merupakan hubungan horizontal manusia dengan manusia (sosial). Aplikasinya dibingkai dalam konsep ekasila: Gotong Royong. Dalam ajaran agama juga menghendaki adanya persatuan dan kedamaian yang sebenarnya sudah jauh diajarkan dalam budaya Nusantara. Tanpa kedatangan agama pun, bangsa Indonesia sudah menerapkan nilai-nilai keagamaan yang dibingkai dalam kebudayaan bangsa.

 
Baca Juga : Nasib Kesenian Tradisi di Tengah Pandemi

Problem

Permasalahan saat ini adalah pemaksaan kehendak kebenaran relatif yang diserap dari budaya asing. Budaya bangsa Indonesia banyak ditinggalkan generasi milenial yang lebih bangga menggunakan atribut luar negeri. Budaya bangsa dianggap kuno, usang, dan tertinggal. Pengaruhnya sampai kepada selera musik, makanan, pakaian, hingga gaya hidup.

Agama puritan juga aktif mendoktin generasi milenial dengan tidak mengehendaki adanya akulturasi budaya. Ideologi konservatif dengan memaksakan kesakralan sistem dan tata cara beragama masa lampau. Keinginan pemurnian ajaran agama yang kemudian bentrok dengan akulturasi budaya yang sudah mengakar erat di masyarakat. Iming-iming kejayaan masa lampau terbentur dengan kedigdayaan kejayaan kerajaan Nusantara.

Memanfaatkan kemajuan teknologi, doktrin agama mewabah ke berbagai sendi kehidupan berbangsa. Agama menjadi bahasan yang sensitif di tengah budaya yang mulai perlahan kehilangan identitasnya. Mudah tersinggung yang berimplikasi pada pelaporan dugaan penistaan. Merasa tertindas dengan narasi bela agama dan kriminalisasi ulama. Agama yang semula diharapkan menjadi jiwa bangsa berubah menjadi alat politik untuk merebut kekuasaan.

Ketidakpercayaan pada nilai religius dan kebudayaan bangsa sendiri sering dimanfaatkan oknum tertentu untuk memperkeruh konflik di tengah masyarakat. Menawarkan isu untuk digoreng atau diviralkan di platform media sosial dengan semangat militansi agama. Bahkan, tren budaya berubah drastis menjadi tren agama yang dimulai dari ornamen-ornamen dan simbol-simbol agama.

Pakaian budaya ditinggalkan sebab tidak mencerminkan ajaran agama tentang batas aurat. Pakaian budaya tidak mendapat panggung untuk mempromosikan diri. Identitas bangsa digadaikan oleh nilai-nilai agama puritan. Perang argumen sudah menjadi budaya baru yang sudah jauh dari budaya asli bangsa. Cacian, makian, umpatan atas nama agama semakin nyaring terdengar. Agama sudah tidak lagi berbudaya.

 
Baca Juga: Peradaban yang Tidak Beradab

Solusi

Masifnya gerakan Islam puritan dan budaya ketersinggungan menjadi pekerjaan rumah yang berat bagi pemerintah. Namun, potensi pecah belah bangsa harus dijadikan tanggungjawab semua pihak. Kemajuan bangsa tidak hanya dinilai dari seberapa tinggi investasi dalam negeri, namun juga seberapa konsisten menjaga romantisme agama dan budaya dalam bingkai kebinekaan.

Konflik di Timur Tengah seharusnya bisa dijadikan pelajaran tentang bahaya agama dijadikan alat untuk berpolitik (berkuasa). Potensi sumber daya alam dan laut Indonesia sangat besar untuk memakmurkan seluruh masyarakat. Kesejahteraan akan menjamin adanya keadilan sesuai yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Namun, risiko perang saudara sangat mungkin terjadi sebagai strategi menguasai melimpahnya sumber daya di Indonesia. Menciptakan isu nasional yang berpotensi menjadi konflik dan peperangan.

Masyarakat harus kembali mengagamakan budaya dan membudayakan agama seperti sedia kala. Mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dengan sikap moderat. Tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosi menerima informasi yang belum tentu kebenarannya. Kecerdasan sebab melimpahnya informasi harus diimbangi dengan sikap kebijaksanaan dalam bersikap.

Agama adalah aspek fundamental bagi manusia, namun juga bisa menjadi malapetaka jika tidak mampu menguasainya. Agama harus dikembalikan sesuai ruhnya, tidak hanya sebatas manipulatif pakaian dan pergerakan atas nama Tuhan. Esensi dalam beragama adalah kemampuan memanusiakan manusia yang sudah tercermin dalam budaya bangsa Indonesia untuk disakralkan dalam pancasila.

Peran pemerintah juga perlu mendapat perhatian agar tidak hanya berfokus pada pendapatan negara, namun juga harus mampu menjaga persatuan. Jangan sampai agama dan budaya yang seharusnya dijadikan pondasi kemajuan bangsa malah diprovokasi oleh tokoh dari pemerintahan itu sendiri. Pemerintah harus selalu memposisikan sebagai orang tua yang mengasuh dan menasehati anaknya yang berbeda cara pandang menyikapi sebuah kejadian.

Agama dan budaya memang punya peran strategis menjaga wibawa bangsa, namun instrumen lain harus juga meningkatkan kredibilitas lembaganya. Mulai dari penegakan hukum, keadilan, dan ketimpangan sosial. Agama adalah jiwa bangsa dan tubuhnya adalah budaya. Politik, sosial, hukum, ekonomi adalah pakaian yang menghiasi kehidupan yang ideal.

 

Pernah dimuat Dunia Santri

https://www.duniasantri.co/romantisme-agama-dan-budaya-dalam-bingkai-kebinekaan/

 

  Konflik yang terjadi di dalam Islam merupakan reaksi terhadap aksi sebelumnya. Permasalahan saat ini sebenarnya reaksi atas ketidakadilan ...

 

islam-kontemporer


Konflik yang terjadi di dalam Islam merupakan reaksi terhadap aksi sebelumnya. Permasalahan saat ini sebenarnya reaksi atas ketidakadilan di masa lalu yang dirasa belum terselesaikan. Kekerasan, terorisme, dan ajakan berperang sering dikumandangkan sebagai solusi dari ketertindasan dan ketidakadilan. Sehingga perilaku destruktif sering dijadikan dalih untuk memperkuat basis dan memperbaiki nasib muslim dunia.

Sekte Islam moderat moncoba mengembalikan citra Islam yang kadung tercoreng dengan perilaku anarkisme atas nama agama. Ayat-ayat peperangan disembunyikan untuk lebih menonjolkan ayat-ayat perdamaian dan keadilan. Saling serang narasi sesama muslim seakan menjadi aib bahwa beragama dengan banyak keyakinan kebenaran punya potensi salah ketika ditafsirkan.

Disadari atau tidak, modernitas berperan banyak pada konflik internal dalam tubuh Islam. Angan-angan kejayaan masa lampau sering dijadikan motivasi untuk melegalkan perilaku anarkis. Perlawanan atas ketidakadilan dan penjajahan kapitalisme modern memunculkan sikap ekstrem di sebagian umat muslim.

Islam harus bisa “disembuhkan” kembali dari “penyakit-penyakit” yang merusak sistem dan konsep beragama yang damai. Pemujaan atau fanatisme terhadap ketokohan yang diklaim ulama menjadi pintu menyebarkan doktrin-doktrin Islam fundamentalis yang menghendaki permusuhan hingga peperangan. Dengan slogan pemurnian agama dan jihad, sebagian umat Islam berhasil digiring untuk memusuhi sesamanya.

Penyakit di tubuh Islam cepat menular ke bagian lain yang mengancam kedamaian dunia. Meskipun hanya “sedikit”, namun aksi nekatnya (teror dan bom bunuh diri) berhasil mengusik keamanan negara. Mereka yang merasa menjadi korban atas kebengisan terorisme selalu merasa terancam di negeri yang mayoritas berpenduduk Islam. Meskipun dialasi teror bukan ajaran Islam, namun identitas dan personalitas pelaku menunjukan bahwa pelaku memang seorang muslim.

Wajah Islam tercoreng. Sedangkan pelaku masih kokoh berpendirian memusnahkan sistem kekafiran dengan jalan terorisme. Tidak ada yang ditakuti, mati pun sekalian. Ketika doktrin sudah tertancam kuat di otak pelaku, keyakinan atas kebenaran relatif terorisme akan selalu dibenarkan. Masa bodoh dengan perbedaan tafsir dan pandangan dalam memahami Islam, sebab impian surga dengan jalan terorisme sudah diimani kebenarannya.

 

Baca Juga : Citra Islam Anarkisme

Pencekokan Wahabisme

Sekte wahabisme beberapa tahun terakhir muncul sebagai “ancaman baru” konflik abadi Sunni dan Syiah. Mengusung pemurnian Islam dengan ajakan kembali ke Alquran dan hadis menambah daftar konflik internal di dalam Islam. Mohammad Ibn Abd al-Wahhab adalah tokoh yang dijadikan acuan dalam memahami kompleksitas Islam. Meskipun bukan pemikir (ulama) dominan ketika itu, kemanangan politik di Arab Saudi berhasil membawa pengaruh besar pada ajaran Islam modern.

Wahabisme kemudian diadopsi keluarga bangsawan di Arab Saudi untuk digunakan sebagai alat politik pada abad ke-18. Pada pertengahan abad ke-20, Arab Saudi berkembang pesat akibat industri minyak dan berhasil menyebarkan ajaran wahabisme secara masif di dunia pendidikan dan sosial-politik. Dampaknya, banyak jebolan kampus di Arab Saudi yang menjadi tangan panjang ideologi wahabisme di banyak negara, termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri, gairah belajar agama mulai digemari dan menjadi tren di kalangan umat muslim. Di lingkungan pendidikan, perkantoran, dan organisasi-organisai lainnya mulai aktif mengaji melalui ustaz-ustaz media sosial. Mengundang ulama dan membagikan ceramahnya di media sosial. Islam menjadi kekuatan politik yang besar seperti aksi 212 di monas tahun 2016.

Pergerakan lainnya dengan mempengaruhi dan mengajak artis dan influencer untuk ikut mempromosikan ideologi dan ajaran wahabisme. Ulama wahabisme di Indonesia cepat dikenal dan diundang di berbagai kegiatan keagamaan. Setelah sedikit-banyak berhasil merekrut jamaah digital, sekte wahabisme coba masuk ke dunia politik. Tujuannya tuntu untuk menciptakan sistem syariah sebab dominasi muslim di Indonesia.

Masifnya gerakan wahabisme di dunia Islam kontemporer bisa menjadi ancaman keutuhan bangsa dan pondasi dasar negara. Meskipun tidak secara gamblang menjadi bagaian wahabisme, namun ajaran dan ritual ibadah menunjukan bahwa Islam fundamentalis sudah menjadi doktrin mengikat dalam keyakinannya. Perekrutan SDM unggul dan aliran dana dari sekte yang bersangkutan menjadi kekuatan penyebaran sekte wahabisme di Indonesia.

Pemerintah dan organisasi Islam harus bisa membuka ruang-ruang komunikasi yang bebas dominasi, egaliter, dan inklusif. Menunda prasangka negatif yang menjangkiti benak kolektif benar dan salah dalam memahami agama. Semua punya hak meyakini sesuatu, namun perlu keluasan wawasan agama dan kebesaran hati menerima perbedaan. “Penyakit” yang sesungguhnya adalah pemaksaan kehendak, sehingga tidak ada pilihan lain untuk menentukan keyakinan.

 

Pernah dimuat Dunia Santri

https://www.duniasantri.co/dunia-islam-kontemporer/ 

 

  Memahami konsep beragama manusia bisa mendewasakan mengatasi konflik perbedaan ideologi. Agama saat ini menjadi candu yang rentan terhadap...

 

fase-manusia-beragama

Memahami konsep beragama manusia bisa mendewasakan mengatasi konflik perbedaan ideologi. Agama saat ini menjadi candu yang rentan terhadap perpecahan sebab tidak menerimanya keyakinan atau pemahaman kebenaran yang lain. Keyakinan menuntut persamaan yang beberapa di antaranya dipaksakan kepada orang lain. Fase manusia beragama adalah tahapan menuju kedewasaan dalam beragama.

Perkara metafisika (gaib) tentang sebuah keyakinan mendasari orang melakukan hal-hal militan memperjuangkan kebenarannya. Bahkan dalam kondisi tertentu rela mengorbankan segala kehidupannya untuk mempertahankan keyakinannya. Agama menjadi dogma dan dokrin yang mengakar pada manusia sebab ketidakmampuan menerima kebenaran keyakinan yang lain.

Luasnya ilmu agama yang selalu berubah berdasarkan konteks peradaban, menjadikan pelajaran bahwa pemahaman konservatif akan melakukan tindakan yang ekstrem untuk melawan perubahan zaman. Mengingatkan kejayaan masa lampau dengan narasi keadilan dan kemakmuran ketika menerpakan sistem syariah dalam bernegara. Perlawanan dilakukan melalui jalan dakwah di berbagai media, jalan pergerakan melalui bidang pendidikan dan instansi publik, dan jalan politik melalui partai.

Jalan dakwah mulai gencar dilakukan di berbagai platform digital dengan memunculkan tokoh-tokoh yang diulamakan. Melakukan kajian dakwah secara modern dengan memanfaatkan kemajuan teknologi. Sasarannya adalah pemuda yang ingin belajar agama secara instan dan tidak terikat ruang waktu.

Jalan pergerakan dilakukan dengan membentuk berbagai komunitas atau organisasi dengan memanfaatkan momentum hijrah milenial dan fanatisme kampanye ketauhidan. Masuk pada ruang pendidikan dan instansi untuk merektrut sumber daya unggul. Pemuda potensial dijadikan senjata untuk menarik massa (jamaah) dengan iming-iming kenikmatan surga. Setelah selesai dicekoki kajian agama, mereka diterjunkan untuk menguasai masjid atau musala daerah-daerah sebagai strategi menyebarkan ideologi secara masif.

Jalan politik dengan menciptakan narasi kontrapemerintahan. Menentang segala kebijakan yang dianggap tidak memuat unsur syariah. Menekan penerapan sistem syariah di berbagai lembaga pemerintahan. Hingga penciptaan konflik sosial dengan narasi politik identitas. Menarik perhatian umat muslim yang merasa pantas mendominasi kebijakan. Membanggakan kelompok mayoritas (muslim) untuk terus bertaklid kepada ulama.

 

Baca Juga : Salah Kaprah Memperjuangkan Identitas Agama

Fase Beragama Manusia

Tahap religiusitas (iman) seseorang pernah diteliti oleh James Fowler pada motivasi menemukan makna hidup. Ia membagi perkembangan iman dalam 6 fase dalam hidupnya. Tujuannya sebagai bahan refleksi atau kontemplasi diri. Selain itu juga bisa menjadi pembelajaran memaklumi keyakinan orang yang sedang berada di tahap apa.

Pertama, fase intuitif-proyektif atau intuitive-projective faith. Fase ini terjadi di usia anak-anak awal. Pada tahap ini manusia memasrahkan hidupnya pada pengasuh (orang tua). Meniru perkataan dan perilaku orang di sekitarnya. Kaitannya dengan iman, tahap ini mulai memasuki tahap praoperasional dimana dunia kognitifnya mulai terbuka terhadap berbagai kemungkinan baru. Benar dan salah dilihat menurut konsekuensi bagi dirinya kemudian mulai mempercayai adanya hal-hal gaib.

Kedua, mistis-literal atau mythicalliteral faith. Fase ini terjadi di usia anak-anak dan remaja (sekitar usia 8 - 19 tahun). Tahap ini mulai bernalar secara lebih logis dan konkret namun tidak abstrak. Menginterpretasikan kisah-kisah religius secara literalis. Pandangan mereka mengenai Tuhan sangat menyerupai gambaran mengenai orang tua yang memberikan hadiah ketika berbuat baik dan memberikan hukuman ketika berbuat jahat.

Ketiga, sintesis-konvensional atau synthetic-conventional faith. Tahapan mulai mengembangkan pemikiran operasional formal dengan mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari mengenai agama ke dalam suatu sistem keyakinan yang koheren. Mereka lebih menggantungkan kebenaran kepada orang yang dianggap lebih alim (taklid). Mulai berafiliasi dengan kelompok dan bersikap militan apabila ada yang ingin mengganggu atau menyerang kelompoknya. Tahap ini juga mulai menjadi kebimbangan seseorang tentang tidak korelasinya keyakinan dengan realita.

Keempat, individuatif-reflektif atau individuative-reflectivefaith. Tahapan pertama kalinya individu mampu sepenuhnya bertanggung jawab terhadap keyakinan imannya. Pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang nilai-nilai dan ideologi religius individu. Tahapan dimana manusia mulai menyadari bahwa kebenaran atas keyakinan dimiliki setiap orang. Mulai mempertanyakan kebenaran dan keyakinannya sendiri.

Kelima, konjungtif atau conjunctivefaith. Pada tahap ini, seseorang lebih terbuka terhadap dimensi paradoks dan mengandung berbagai sudut pandang yang saling bertolak-belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran seseorang mengenai keterbatasan mereka. Manusia mulai melakukan introspeksi diri.

Keenam, Iman universal atau universal faith. Tahap tertinggi dari perkembangan iman melibatkan transendensi dari sistem keyakinan tertentu untuk mencapai penghayatan kesatuan dan komitmen untuk mengatasi berbagai masalah yang tidak berfokus pada konsep kedamaian. Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan konflik tidak lagi dipandang sebagai paradoks. Seseorang menjadi lebih bijaksana menerima perbedaan sebagai keniscayaan.

 

Pernah dimuat Milenialis

https://milenialis.id/fase-manusia-beragama/ 

 

Iblis berasal dari kata al-balas  yang artinya tidak ada kebaikan padanya. Sebagian kaum sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba yang paling ...

iblis-bertopeng-manusia

Iblis berasal dari kata al-balas yang artinya tidak ada kebaikan padanya. Sebagian kaum sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama ketauhidannya. Iblis adalah bagian dari malaikat yang tidak mau bersujud kepada Adam dan hanya mau bersujud kepada Allah. Bahkan, jauh sebelum Nabi Adam diciptakan, iblis sudah membuktikan cinta kasihnya pada Allah. Ketaatan serta ketauhidan tidak mampu ditandingi oleh para malaikat. Iblis tidak pernah berhenti beribadah kepada Allah.

Iblis selalu menjadi objek antagonis oleh manusia. Perkataan dan perilaku buruk adalah dalih godaan iblis. Sedangkan Iblis hanya menjalankan perintah Allah sebagai bentuk penghambaan untuk istikamah menggoda manusia. Iblis rela selamanya untuk menjauhkan manusia dari kebaikan sebab perintah-Nya. Takdir yang membawanya ke neraka hanyalah sebab ketidakmauan bersujud kepada Adam (manusia), sedangkan banyak yang menafsirkan sebab kesombongan (keangkuhannya) di hadapan Allah.

Sebelum dikenal sebagai iblis, dulunya disebut Azazil karena pernah terkenal dengan kealimannya dan memperoleh ilmunya malaikat. Kemudian keluar dari wilayah kemuliaan itu karena faktor kesombongan dan berputus asa dari rahmat Allah. Demikian yang menjelaskan betapa cerdas dan alimnya iblis. Bahkan mulai ada seloroh di akhir zaman bahwa iblis sudah menikmati masa tua, tanpa bekerja pun manusia kelakuannya menyerupai iblis.

Pembeda iblis dengan malaikat adalah perkara kesombongan. Iblis kerap memamerkan kesombongannya, sebab manusia tidak lebih cerdas dan alim daripadanya. Namun demikian, iblis rela mendekam di neraka dengan konsekuensi harus menjadi musuh manusia di dunia. Bagi orang yang belajar hikmah, tentu setiap pelajaran tidak melulu diambil yang baik-baik. Kemungkaran bisa dijadikan pelajaran untuk tidak mengikutinya, termasuk mengibliskan diri.

Iblis bisa dijadikan media kontemplasi mengenai hakikat kebaikan dan keburukan. Keburukan atau kemaksiatan selalu disimbolkan dengan sesuatu yang indah dan enak, sebaliknya kebaikan disimbolkan bentuk ketaatan yang melelahkan, menjenuhkan, dan sering mengorbankan kebahagiaan. Kenapa semua yang asyik-asyik itu diharamkan? Kenapa semua yang enak-enak itu yang dilarang? Setiap yang akan menyesatkan. Sepintas lalu menyenangkan.

 
Baca Juga : Drama Politik Indonesia

Belajar Menjadi Iblis

Disadari atau tidak, manusia sekarang sudah mulai sibuk belajar menjadi iblis. Malaikat adalah tanda kepatuhan, iblis adalah tanda pembangkangan. Sedangkan manusia sudah terbiasa melanggar perintah dan mendekati larangan Allah. Iblis berhasil membuat perangkap untuk manusia lebih senang untuk mengikutinya.

Kemaksiatan merajalela, pembunuhan hal biasa, korupsi (mencuri) membudaya, dan ingkar janji dimaklumi. Namun lebih menariknya, iblis sekarang memanipulasi dengan kebaikan. Perilaku iblis adalah menyombongkan kecerdasan dan kealiman di hadapan yang lain. Sedangkan manusia berlomba-lomba terlihat cerdas dan alim di media sosial. Bahkan ada pula yang mengustazkan atau mengulamakan diri agar diakui di masyarakat, sedangkan banyak yang masih awam belajar agama.

Iblis-iblis sudah piawai bertopeng manusia. Dikiranya ulama tapi iblis, dikiranya iblis malah sejatinya ulama. Agama dijadikan proyek bisnis dan politik. Manusia tidak mau belajar dari kisah iblis yang dihukum neraka jahanam sebab kesombongan atas kealimannya. Menyombongkan agama sedangkan ia tidak paham agama jauh lebih hina derajatnya daripada iblis.

Manusia harus membiasakan diri membuka topeng agar mengetahui siapa yang bersemayam di dalam dirinya. Bersyukur kalau malaikat, namun celaka kalau ternyata adalah iblis yang laknat. Kecerdasan iblis tidak mungkin dikalahkan manusia, sedangkan keunggulan manusia dibanding iblis adalah perkara ketaatan. Sedangkan ketaatan sering dijadikan sarana untuk bersifat iblis (sombong).

Manusia diberikan kekuasaan selama hidup dunia untuk memilih kebaikan dan keburukan. Tugas iblis adalah menggiring manusia dalam keburukan. Manusia yang manut dengan iblis akan membersamainya di neraka. Sedangkan yang menolak ajakan iblis dijanjikan surga. Namun yang membingungkan zaman sekarang adalah banyaknya iblis bertopeng manusia. Mereka yang mau belajar agama menjadi bimbang belajar agama dengan siapa. Benarkah semua yang mengaku ulama tidak dihinggapi perasaan sombong di dalam dirinya? Atau hanya pura-pura alim agar terlihat populer, dihormati, dan memiliki banyak pengikut?

Kisah Azazil menentang perintah sujud kepada Adam dapat diambil hikmat tentang prosesi ketauhidan tanpa perantara. Keikhlasan menerima takdir Allah sebagai penghuni neraka yang kekal. Menghindari segala bentuk kesombongan (termasuk agama), apalagi untuk dipamerkan kepada mereka yang lebih ahli agama. Iblis adalah pengejawantahan diri kita yang masih sering terdapat kesombongan meskipun hanya sebesar biji dzarrah. Kebenaran bisa berpotensi menjadikan kita terjerumus dalam kesesatan, namun berpotensi pula mengantarkan pada jalan hidayah.

 

Pernah dimuat Dunia Santri

https://www.duniasantri.co/iblis-bertopeng-manusia/