CATEGORIES

Showing posts with label sosial. Show all posts

Kita sering merangkai ilmu pengetahuan sebagai kesatuan diksi. Ilmu diperoleh manusia untuk menyusun model pengetahuan melalui sensor pancai...

Ilmu (untuk) Pengetahuan

Kita sering merangkai ilmu pengetahuan sebagai kesatuan diksi. Ilmu diperoleh manusia untuk menyusun model pengetahuan melalui sensor pancaindera yang diolah oleh otak. Tanpa model pengetahuan, manusia akan sulit untuk mengantisapasi dan memprediksi sebuah kejadian. Sementara pengetahuan merupakan model yang diperoleh berdasarkan pengalaman atau eksperimen setiap manusia agar punya  illusion of control terhadap dunia.

Pengalaman manusia merupakan bagian ilmu yang berkembang dengan adanya interaksi dan komunikasi, meski dalam prakteknya ada limitasi pengetahuan. Komunikasi mempunyai level yang berbeda dengan pengalaman meskipun mampu membangun model pengetahuan manusia. Konsep pengetahuan yang belum dialami manusia bisa diantisipasi dengan ilmu yang didapat dari cerita orang, gambar atau video, dan referensi bacaan.

Ilmu berfungsi untuk mengakusisi informasi sebanyak mungkin untuk membuat mental model terhadap dunia agar punya respon yang tepat dan terarah. Sebab manusia menyadari bahwa ia tidak mungkin dapat mengalami semuanya. Masalahnya adalah ketika ilmu malah dijadikan representasi dari dunia itu sendiri. Sedangkan pada dunia kita hanya bisa mengalami dan berinteraksi, sementara ilmu digunakan untuk menjadi model dalam diri agar bisa seakurat mungkin menghadapi situasi.

Setiap pengalaman manusia bisa mengakuisisi ilmu sebanyak mungkin, termasuk dari obrolan, tontonan, atau kejadian yang dialaminya. Ilmu bisa menjadi akumulasi dari apa yang dialami untuk menentukan model yang tepat dalam diri mansuia. Sehingga segala bentuk ilmu (pelajaran) tidak akan menjadi pengetahuan jika tidak tersistem dalam model kehidupan manusia.

Model pengetahuan yang dibangun dari ilmu akan terus berkembang seiring pengalaman manusia yang selalu berubah. Jika ilmu adalah informasi membangun model, maka ilmu yang paling penting adalah ilmu untuk melihat model itu sendiri yang kemudian disebut ilmu metakognitif. Manusia tidak hanya punya kesadaran, namun menyadari kesadarannya sendiri.

Ketika manusia sudah memahami konsep metakognitif, keyakinan akan kebenaran ilmu yang dialaminya akan punya potensi untuk salah (tidak akurat). Melihat model pengetahuan dari kacamata model pengetahuan lainnya. Menarik ke luar spektrum yang lebih luas tentang kompleksitas ilmu dan kebenaran. Manusia yang tidak memahami model pengetahuannya akan sulit menyunsun metodologi untuk mengembangkan dirinya.

Manusia harus bisa mengambil jarak yang berbeda untuk melihat dirinya. Mereka harus mampu menjadi sutradara untuk dirinya sendiri agar paham limitasi pengetahuan yang dimiliki. Sehingga dalam aktualisasinya tidak gampang menyalahkan keyakinan atas kebenaran orang lain. Bisa jadi anggapan salah terhadap orang lain sebab kesalahan atau kekurangcakapan model yang dialaminya. Kebenaran kita saat ini mungkin bisa menjadi kesalahan yang belum kita pahami.

Kesadaran akan limitasi pengetahuan membuat manusia lebih gampang menolak atau merevisi kebenarannya sendiri. Perdebatan terjadi karena lawan mengetahui apa yang kita tidak tahu atau kita mengetahui apa yang tidak diketahui lawan. Ilmu tidak akan pernah bisa berdiri sendiri. Sehingga bagi mereka yang tidak menyadari model pengetahuan meskipun banyak belajar hanya akan menjadi gudang pengetahuan, bukan model pengetahuan.

Kemampuan menganalisis model dari kumpulan informasi yang ditimbun manusia akan bermanfaat untuk merespon kejadian dan memperlakukannya dengan lebih bijaksana. Sementara orang yang mudah menyalahkan orang lain biasanya tidak mampu melihat model pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu yang masuk ditata secara random tanpa metodologi yang jelas. Tidak paham tentang konsep kedisiplinan metakognitif. Sehingga kebenaran mutlak hanya miliknya, sementara yang lain dianggap salah.

 

Baca Juga : Dekonstruksi Fungsi KPI

Dunia Pendidikan

Metode pendidikan formal di Indonesia tidak mengajari secara fundamental mengenai ilmu metakognitif. Banyak yang “pandai” dalam salah satu mata pelajaran akademik namun dalam aplikasinya pengetahuan yang didapat tidak berguna bagi kehidupan. Ilmu yang dipupuk sejak sekolah dasar hanya menjadi memori atau file sampah karena ketidakmampuan menyusun model yang tepat untuk merespon kejadian di dunia.

Manusia dicekoki dengan teori-teori sebagai parameter keluasan ilmu. Sementara teori sendiri merupakan simbol untuk menjelaskan suatu keadaan atau kejadian. Teori menjadi bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia. Bahkan teori hanya penyempitan (reduksi) dari kenyataan dan mengaburkan pengetahuan manusia atas kenyataan.

Dunia akademik merupakan dunia imajinasi yang berisi kata, simbol, dan teori. Realita kehidupan selalu ditutupi dengan rumusan, formula, ataupun teori yang disepakati sebagai pengetahuan. Pendidikan sebagai penyedia ilmu pengetahuan mengajarkan kepada manusia untuk bertindak sebagai subjek, selainnya adalah objek. Mengajari manusia cara berpikir untuk memisahkan dan membeda-bedakan segala hal secara teoritis.

Sulit menjelaskan level objektivitas mansuia sebab pengetahuan adalah hasil konstruksi individu maupun lingkungan sosial yang terbatas pada ruang dan waktu tertentu. Bagi penganut paham objektivisme menyatakan bahwa realitas berada secara bebas dari kesadaran manusia. Manusia bisa mencapai pengetahuan yang objektif dan universal tentang realitas dengan menggunakan pendekatan ilmiah.

Dunia pendidikan harus mampu menyediakan model yang tepat sebagai bahan ajar menghasilkan pengetahuan. Ketika ilmu melihat segala hal secara berbeda, pengetahuan harus hadir dengan kacamata kesadaran akan persamaan. Setiap orang yang berbekal ilmu bisa menyebut detail berbagai jenis pohon dan membandingkannya, namun pengetahuan secara bijaksana akan mengatakan bahwa itu semua adalah pohon.

Keluasan dan keluwesan cara berpikir, kerelaan mengkritik keyakinannya sendiri, dan kedasaran akan keterbatasan diri dan tidak terbatasnya ilmu akan melahirkan nilai dalam diri manusia untuk menciptakan harmoni kehidupan. Meminimalisir perdebatan berdsarkan limitasi pengetahuan yang belum menjadi pengalaman. Ilmu metakognitif hasilnya adalah sikap toleransi apabila setiap orang menerapkan modelnya dengan tepat.

Ilmu yang menjadi pengalaman akan selalu berguna bagi manusia. Namun jika ilmu hanya sebagai syarat formalitas pendidikan akan mudah dilupakan (tidak berguna). Betapa banyak ilmu dan pelajaran yang didapat dari pendidikan wajib belajar 12 tahun, namun berapa persen ilmu yang diingat dan dipakai dalam kehidupan?

Ilmu seharusnya membantu manusia merespon dan mengantisipasi kejadian di dunia. Parameter orang berpendidikan bukan diukur dari seberapa lama seseorang menempuh pendidikan formal, melainkan seberapa berguna ilmu yang didapat untuk dirinya, orang lain, dan alam semesta. Banyak orang berilmu namun tidak mengetahui manfaat dari ilmu yang didapat.

Kurikulum dan sistem pendidikan formal belum mampu mengaplikasikan teori sebagai pengalaman. Lembaga pendidikan malah dijadikan ajang persaingan untuk mendapatkan prestasi yang berdampak kepada karakter suka meyalahkan orang lain. Iklim kompetisi dibangun dari dunia pendidikan hingga lingkungan kerja. Manusia dibimbing untuk saling bermusuhan satu dengan yang lain, bukan untuk bekerjasama.

Dunia pendidikan harus melakukan revolusi konsep dan sistem untuk membangun manusia yang punya kesadaran terhadap ilmu dan pengetahuannya. Elemen pendidikan termasuk guru, pemerintah, dan kurikulum ajar. Dunia pendidikan selain bisa mencerdaskan kehidupan berbangsa juga harus melahirkan generasi yang bermoral dan berbudaya.***

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai i...

Wong Cilik dan Wong Gede

Pencitraan politik menggunakan istilah wong cilik tampaknya masih menjadi primadona pemilihan umum. Tokoh dan partai politik kerap memakai idiom wong cilik sebagai basis massa mayoritas bangsa Indonesia. Bahkan melekatkan diksi tersebut dalam kesatuan partai: partainya wong cilik.

Wong cilik merupakan istilah dalam Bahasa Jawa yang berarti “orang kecil”. Menggambarkan keadaan masyarakat miskin (kurang mampu) yang didominasi pekerja kelas bawah. Simbolisasi wong cilik biasanya ditujukan kepada masyarakat pedesaan atau pinggiran kota yang jauh dari bingar kekuasaan dan kekayaan material. Dominasi masyarakat menengah bawah yang membuat tokoh politik memanfaatkan nama wong cilik untuk menggaet massa saat pemilu.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang pertama memproklamirkan sebagai partai wong cilik dengan implementasi aksi tokoh-tokoh strategis (pemangku kebijakan) terlibat aksi blusukan. Joko Widodo, Ganjar Pranowo, dan Risma Tri Maharini adalah segelintir tokoh PDIP yang aktif berinteraksi dengan masyarakat bawah.

Anak pimpinan partai sekaligus ketua DPR RI, Puan Maharani memantik isu eksploitasi istilah wong cilik ketika pamer kesederhanaan di “warung pecel” bersama ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Puan juga menambahkan idiom partainya wong sandal jepit untuk menambah kesan melarat dan menarik sisi empati masyarakat (rasa iba).

Namun citra PDIP sebagai simbol partai wong cilik mulai memudar ketika Jokowi menjadi presiden selama dua periode. Kemudian kehadiran sosok sentral Puan Maharani yang berkuasa di parlemen. Gairah memperjuangkan nasib masyarakat miskin menghilang dengan pengesahan berbagai kebijakan yang justru menyengsarakan rakyat.

Sebelum ramai kenaikan Bahan Bahar Minyak (BBM), Jokowi kerap mendapat aksi demonstrasi terkait kebijakan yang tidak memihak rakyat seperti UU Perlindungan Pekerja/Buruh, Upah Minimum Regional (UMR), kenaikan iuran BPJS, larangan ekspor minyak, hingga genosida kebijakan nelayan. Seolah ketika berkuasa, tokoh politik lupa semua janji dan atraksi pencitraan semasa kampanye.

Tidak merasa tergelitik dengan suara sumbang kegagalan merepresentasikan partai wong cilik, tokoh-tokoh politik yang berkuasa malah sibuk merayakan euforia demonstrasi menolak kenaikan harga BBM. Esensi politik adalah siasat mengelabuhi rakat, kebetulan wong cilik dianggap kantong suara terbesar karena gampang dibodohi oleh bualan politikus partai.

 

Baca Juga : Politik Kerakyatan Desa Wadas

Partai Wong Gede

Dikotomi wong cilik adalah wong gede sebagai pengejawantahan dari kekuasaan, kekayaan, dan popularitas seseorang. Jurang pembatas keduanya disandarkan pada kondisi ekonomi seseorang. Namun masyarakat kerap dijadikan alat bagi mereka yang tidak masuk dalam kategori miskin untuk berkampanye. Padahal kekayaan tokoh-tokoh partai yang duduk di parlemen atau di pemerintah jauh dari kata wong cilik apalagi sandal jepit yang mungkin hanya difungsikan saat hendak beribadah.

Apa yang diharapkan wong cilik dari keberadaan partai yang pura-pura berpihak kepadanya, selain amarah karena merasa dibohongi saat kampanye?

Begitu lugunya rakyat menengah bawah yang jauh dari level pendidikan tinggi, dimanfaatkan partai politik untuk memberikan harapan-harapan palsu kepada wong cilik. Ketika berkuasa akan menerima hasil kekecewaan yang sama. Demikian yang menjadikan banyak masyarakat memilih golongan putih (golput) melihat fenomena politikus Indonesia. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari keberadaan partai politik yang bisa mewakili aspirasi wong cilik.

Sementara masih banyak masyarakat yang tidak sadar bahwa mereka yang mengaku wong cilik sebenarnya adalah wong gede. Keinginan apa pun bisa dipenuhi, mengambil kebijakan semena-mena, dan mengabaikan nasib jutaan rakyat miskin. Wong gede yang butuh banyak pencitraan untuk mencari jalan punya kekuasaan yang lebih otoriter (presiden).

Demokrasi hanya menjadi landasan politik berfoya-foya di atas realita nestapa rakyat miskin di Indonesia. Menempatkan citra wong cilik sebagai gagasan publik menganggap tidak sejahteranya mayoritas masyarakat Indonesia. Membangun sikap pesimistis tentang kemajuan bangsa Indonesia. Mempertahankan penderitaan nasib rakyat sebagai langkah mempertahankan ideologi partai yang mendukung keberlangsungan nasib wong cilik.

Kemuakan masyarakat miskin tidak bisa ditutupi ketika melihat adegan Puan dan Muhaimin merakayan kemiskinan di sebuah tempat mewah dengan sebutan warung pecel dengan embel-embel partai wong cilik dan partai wong sandal jepit. Sementara masyarakat masih berjuang bertahan hidup dari himpitan ekonomi akibat kebijakan menaikan BBM yang berimplikasi pada kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Wong cilik masih dan akan terus dimanfaatkan untuk medium berkampanye. Wong cilik (orang miskin) akan semakin cilik (miskin), sedangkan wong gede (orang kaya) akan semakin gede (kaya). Itulah realitanya.***

  Insecurity adalah kondisi ketika seseorang dipenuhi rasa keraguan atas dirinya sendiri dan merasa tidak percaya diri. Penyebab insecurity ...

 

Insecuriy bangsa

Insecurity adalah kondisi ketika seseorang dipenuhi rasa keraguan atas dirinya sendiri dan merasa tidak percaya diri. Penyebab insecurity adalah merasa bodoh (hina), tidak bermanfaat (berguna), dan suka menyalahkan diri sendiri. Ketidakmampuan mengembangkan dan mengendalikan potensi diri yang terjebak dalam problem matinya kreaktivitas dan kelebihan yang dimiliki masing-masing orang.

Budaya Indonesia, khususnya Jawa, seringkali mempraktekan sikap insecurity sebagai sesuatu yang dianggap bagian dari kesopanan dan kesantunan. Dalam istilah agama disebut sikap tawaduk. Padahal konsep rendah hati dan rendah diri jauh berbeda. Sikap yang selama ini dianggap sebagai kerendahhatian sebenarnya adalah bentuk kerendahdirian.

Perilaku tersebut tergambar dalam sebuah perkumpulan untuk menentukan seorang pemimpin. Banyak di antaranya menolak dengan dalih ketidakmampuan atau ketidakcakapan. Melihat orang lain lebih sempurna dari dirinya. Padahal setiap orang mempunyai pandangan serupa. Sehingga aktivitas saling lempar posisi terjadi beberapa saat.

Entah apa yang kemudian menciptakan perilaku insecurity malah dianggap baik oleh masyarakat. Menjadi cerminan budaya yang kemudian dijadikan paramater kebaikan seseorang. Sebab dengan merasa percaya diri, akan ada persepsi sifat sombong dari yang lain. Sementara banyak masyarakat yang ingin berada di posisi “aman” (menghindari risiko konflik).

Budaya insecurity yang akhirnya menghambat potensi seseorang mengaplikasikan kemampuannya. Tidak percaya diri mengambil risiko dan memnafaatkan keahliannya untuk kebermanfaatan bersama. Di sisi lain, iri dengki adalah mayoritas sifat manusia untuk menjatuhkan yang lain. Dalam hati ada kesombongan (merasa lebih baik), sedangkan dalam tampilan luar berperilaku insecure.

Seolah insecure disepakati sebagai sikap rendah hati oleh masyarakat. Padahal masing-masing manusia punya kelebihan yang tidak dimiliki yang lain. Namun itu semua tertutup dengan budaya insecurity. Membelenggu masyarakat agar terhindar dari labelisasi sombong.

Dampak dari insecurity adalah kemunculan orang-orang yang jauh dari kapabilitas menjadi pemimpin atau imam mendapat panggung besar di masyarakat. Mereka didengar dan diikuti oleh banyak orang meski kapasitas keilmuan dan keahlianya jauh di bawah rata-rata. Kepakaran menjadi sulit ditentukan di ruang publik yang semakin luas sebab sarana media dan teknologi.

Orang-orang yang lebih memprioritaskan popularitas daripada kesadaran akan kapasitas dirinya sendiri. Sementara mereka yang dianggap punya kompetensi terpenjara dalam budaya insecurity. Dampak luasnya adalah ketertindasan, penjajahan, dan kemiskinan akibat tidak punya medium menyalurkan potensi diri.

 

Baca Juga : “Aku Tidak Tahu”

Insecurity Panggung Politik

Budaya insecurity tidak menyeluruh di semua bidang. Politik misalnya. Banyak politikus malah memproklamasikan diri sebagai sosok terbaik dan seolah paling mampu mengatasi problem bangsa. Mereka sama-sama adu kelebihan disertai janji-janji yang rupanya banyak diingkari.

Politik tidak mengenal budaya insecurity. Menjadi baik jika kepercayaan diri seseorang sesuai dengan kapasitasnya. Namun seringkali, politikus yang jauh dari sikap kepemimpinan dan kepedulian melenggang mulus di kursi-kursi pemerintahan. Sementara mereka yang seharusnya memiliki kompetensi memperbaiki iklim politik memilih menghindar sebab perasaan insecurity yang terlanjur membudaya.

Pertaruhan masa depan bangsa menjadi taruhan ketika banyak politikus yang terpilih berdasarkan popularitas dan elektabilitas tanpa disertai kapabilitas kepemimpinan. Merasa mampu, sedangkan kondisi masyarakat (sosial-politik) bawah tidak kondusif. Tidak ada lagi politik kesopanan dan kesantunan yang dibungkus dalam nuansa insecurity.

Politik 2024 yang masih dua tahun ke depan sudah dijadikan ancang-ancang deklarasi diri menjadi pemimpin. Padahal politik adalah panggung yang cukup rumit diprediksi. Mengelola beragam masalah domestik. Pemimpin politik tidak hanya sebatas mengaplikasikan teori manajemen kepemimpinan. Butuh kepribadian tegas, gaya komunikasi yang tepat, dan keberanian mengambil keputusan. Tuntu juga wajib mempertimbangkan kepentingan rakyat.

Sebab budaya insecurity yang pada akhirnya melihat panggung politik sebagai cerminan kesombongan seseorang. Dalam perilaku masyarakat kepemimpinan sering ditolak atau dilemparkan kepada yang lain, yang dianggap mampu. Sementara di panggung politik malah diperebutkan dengan segala cara.

Masyarakat dan bangsa dikorbankan karena banyak di antaranya yang sebenarnya tidak mampu tapi nekat menjadi pemimpin melalui jalur politik. Kecerdasan, keahlian mengelola sistem, dan kepakaran menyelesaikan masalah disingkirkan dengan jalur politik praktis bermodal uang dan ketenaran. Kemudian aturan membatasi demokrasi dengan penerapan undang-undang yang menghalangi tokoh potensial menjadi pemimpin negeri tanpa jalur politik.

Ketika budaya insecurity menghilang di arena politik domestik, konsep pencitraan sering digunakan untuk menunjang popularitas dan memuluskan jalan menjadi pemimpin tanpa adanya tes kepakaran akademin dan kemampuan mental mengendalikan konflik. Insecurity bukanlah sifat yang baik dalam segala situasi dan kondisi. Namun menyadari kapasitas diri perlu direnungkan sebelum memutuskan menjadi politikus yang hanya bermodal nyali.***

 

Badan Pusat Statistik (BPS) baru ini merilis data kemiskinan tingkat provinsi di Indonesia. Papua masih menduduki urutan pertama provinsi te...

kemiskinan dan ketidakmampuan

Badan Pusat Statistik (BPS) baru ini merilis data kemiskinan tingkat provinsi di Indonesia. Papua masih menduduki urutan pertama provinsi termiskin di Indonesia dengan presentase 27,38 persen. Disusul Papua Barat (21.82%) dan NTT (20,44%). Sementara di DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin bertambah 3.750 orang dibandingkan September 2021 atau meningkat 4,69 persen dari total jumlah penduduk Jakarta.

Menjelang tahun politik, data kemiskinan dapat menjadi parameter kesuksesan pemimpin daerah maju atau lanjut menjadi pemimpin negara. Apalagi Anies Baswedan yang mempunyai elektabilitas cukup stabil selama menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Meskipun banyak yang tidak atau kurang paham mengenai kalkulasi kemiskinan absolut, realtif, kultural, hingga struktural, narasi politik di media sosial mempengaruhi elektabilitas tokoh yang kemudian dibandingkan dengan pencapaian tokoh politik pesaing.

Sebut saja Ganjar Pranowo yang berhasil membawa Jawa Tengah menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,32 persen, dari sebelumnya 11,25 persen (September 2021), menjadi 10,93 persen (Maret 2022). Sementara presentase kemiskinan nasional mengalami penurunan sekitar 340 ribu orang dari posisi September 2021 lalu dan turun 1,38 juta orang jika dibandingkan Maret 2021 lalu.

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan Absolut merupakan pendapatan yang diperoleh seseorang di bawah USD 1$ per hari (Rp 449.760 per bulan) dan Kemiskinan Menengah dengan pendapatan di bawah USD 2$ per hari (Rp 899.520 per bulan). Ada dua penyebab kemiskinan yakni kemiskinan alamiah akibat rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, terbatasnya Sumber Daya Alam, rendahnya penggunaan teknologi, dan bencana alam.

Kedua terjadi sebab pejabat atau lembaga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan fasilitas lain yang tersedia. Hal ini yang menjadi problematika ekonomi makro yang menilai keberhasilan pembangunan berdasarkan pencapaian pertumbuhan, bukan pemerataan. Ada urgensi nasional lain daripada pembagunan infarastruktur yang menggelontorkan banyak dana negara, semantara banyak warganya hidup di bawah garis kemiskinan.

 

Baca Juga : Keluarga Be(re)ncana

Tetap Miskin

Saya tergelitik dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa generasi milenial semakin sulit memiliki rumah (tempat tinggal) karena kenaikan harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan. Tarik ulur upah minimun selalu menjadi kajian alot antara perusahaan dan buruh yang difasilitasi oleh pemerintah. Nyatanya, kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan bahan pokok.

Sebelum bermimpi memiliki rumah, masyarakat yang didominasi bekerja menjadi buruh perusahaan dipaksa bertahan hidup dengan upah secukupnya. Berdasarkan PP 36/2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja, perhitungan upah minimun masih distandarkan komponen kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan untuk mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang ditinjau setiap tahun mengikuti laju inflasi.

Perubahan budaya dan sosial masyarakat mempengaruhi iklim kerja masyarakat. Apalagi bencana pandemi Covid-19 yang menciptakan aktivitas dunia kerja baru melalui sistem teknologi digital. Banyak perusahaan yang terpaksa memecat pegawainya. Beberapa di antaranya rela dipotong gajinya asal masih bisa bekerja. Tidak ada lagi kesan simbiosis mutualisme selain pegawai yang butuh perusahaan. Sebaliknya perusahaan tidak begitu membutuhkan karyawan yang menuntut standar pendapatan sesuai kinerjanya sebab melihat banyaknya calon pegawai potensial baru yang rela digaji sesuai standar upah minimum daerah.

Sepeti yang digelisahkan Sri Mulyani, generasi milenial yang tidak didukung authorized capital dari orang tua atau keluarga (warisan) akan sulit memiliki rumah di masa mendatang. Apalagi nilai industri properti yang cepat meningkat dibandingkan upah pekerja (buruh). Jika ukuran kemiskinan disederhanakan dengan ketidakmampuan, maka mayoritas penduduk Indonesia yang bekerja sebagai buruh swasta masuk dalam kategori kemiskinan.

Padahal yang dihadapi generasi milenial bukan hanya perkara kemampuan membeli rumah. Mereka juga dihadapkan pada masalah finansial lain seperti, biaya perikahan, pembelian alat transportasi untuk bekerja, hingga gadget sebagai kebutuhan primer di era teknologi informasi. Belum lagi berbagai cita-cita lain seperti liburan keluarga, naik haji, hingga membantu finansial orang tua (keluarga).

Kemiskinan selalu menjadi masalah klasik pembangunan ekonomi. Apalagi tuntutan industri yang menghendaki iklim kapitalisme. Kekuatan modal akan berjaya, sementara masyarakat yang terbiasa hidup seadanya tetap akan kesulitan keluar dari zona kemiskinan dan ketidakmampuan. Tidak ada kesejahteraan selain usaha untuk bertahan hidup menunggu kematian dan keberuntungan pada generasi berikutnya (anak).***

  Ada kesalahan sistem kehidupan yang membuat kejahatan dianggap sebagai kewajaran. Ketika transformasi digital mengarahkan manusia cinta po...

 

kewajaran banalitas

Ada kesalahan sistem kehidupan yang membuat kejahatan dianggap sebagai kewajaran. Ketika transformasi digital mengarahkan manusia cinta popularitas, sikap menyalahkan menjadi budaya yang begitu kentara di lini masa media sosial. Kegemaran menyalahkan sikap dan prinsip orang lain menyamarkan esensi kebenaran dan kebaikan yang sebelumnya menjadi nilai dan norma bermasyarakat.

Dalam kasus politik, setiap kebijakan menciptakan pro dan kontra. Fanatisme mengukung manusia mengabaikan banalitas kejahatan untuk mengolok-olok lawan politik atau kubu yang berseberangan. Menyalahkan kebijakan sudah menjadi kewajaran yang dibungkus dengan narasi demokrasi. Padahal setiap kebijakan diambil pemerintah melalui konsensus musyarawah di tingkat parlemen, dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara DPR adalah representasi rakyat yang di dalamnya ada kita sendiri.

Ketika dialasi wakil rakyat dipilih bukan karena keinginannya, sistem akhirnya mendukung bahwa rakyat harus patuh pada asas dan aturan negara. Seolah sistem menghendaki bahwa menyalahkan orang lain (pemerintah) berarti menyalahkan diri sendiri. Kemalasan berpikir dan doyan menyalahkan orang lain merupakan kewajaran banalitas yang tanpa disadari sudah menjadi budaya di era teknologi informasi.

Demikian halnya dengan perilaku kejahatan lain seperti korupsi, pencurian, pembunuhan, hingga pemerkosaan. Ketika habituasi komunal melakukan kejahatan, maka kejahatan akan dianggap sebagai kewajaran. Meskipun jika dipikir dengan berdialog antara “aku dan diriku”, semua orang akan menyepakati tentang indikator kebaikan dan keburukan (kejahatan). Koruptor dan pencuri tahu bahwa korupsi dan mencuri itu merupakan tindakan jahat. Apalagi kalau dilihat dari tingkat pendidikan yang diraihnya.

Namun karena korupsi dianggap kewajaran, kejahatan bisa dilakukan tanpa perasaan takut dan khawatir. “Ah, cuma mengambil sekian kok,” pikirnya. Memaklumi kejahatan yang pada akhirnya menciptakan kewajaran banalitas di segala bidang kehidupan. Bahkan dalam kontestasi politik, semua orang yang duduk berkuasa punya potensi besar melakukan kejahatan kebijakan.

Reformasi yang diidamkan seluruh rakyat Indonesia hanya euforia sesaat ketika para pejabat pada akhirnya juga melakukan sikap diktator dan otoriter. Demikian juga dengan pergantian presiden atau pemerintahan yang terkesan sama saja ketika mulai menjabat. Ketika rakyat memberontak, sistem akan mengembalikan otoritas kekuasaan kepada rakyat. Bahwa terpilihnya pejabat terjadi karena juga keinginan rakyat.

Sementara dalam kaitan agama, kewajaran banalitas kerap melanggar batas-batas norma keagamaan. Seakan membenci, mengolok, melakukan kekerasan, hingga pembunuhan dengan labelisasi jihad dilegalkan. Sedangkan tanpa pakaian agama pun, setiap perbuatan yang mencederai sesama atau lingkungan itu merupakan kejahatan. Namun legitimasi agama atas ideologi tertentu malah mendukung praktek kejahatan atas nama agama.

Ada kecacatan fundamental dalam berpikir bahwa kebaikan dan keburukan mulai tersamarkan akibat budaya membanjirnya informasi kewajaran banalitas. Butuh waktu agar setiap orang melakukan kontemplasi atau muhasabah bahwa sumber konflik berasal dari diri kita sendiri, bukan dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain.

Sikap saling menyalahkan ketika dianggap kewajaran hanya akan menciptakan konflik identitas yang bermuara pada kekerasan atau bahkan peperangan mempertahankan ideologi. Sisi fanatisme juga menjadi faktor brutalnya bersikap memusuhi lawan politik atau kelompok yang berbeda pandangan. Mengambinghitamkan pemerintah atau tokoh publik tidak akan menyelesaikan budaya kewajaran banalitas.

Menyelesaikan masalah tidak dengan cara menyalahkan orang lain. Setiap orang punya masalahnya masing-masing dan punya metode tersendiri mengatasinya. Menyalahkan berarti sikap insecure pada diri sendiri karena tidak pernah mau dianggap salah. Namun ketika kejahatan dilakukan dalam ranah publik dengan mudah diklaim sebagai kewajaran. Seolah setiap orang tidak punya tanggung jawab menyelesaikan masalahnya sendiri.

Dalam kasus pemakai narkoba bisa saja mengelak bahwa perilaku yang dilakukan atas kesadaran diri dengan kesediaan menanggung risiko yang akan terjadi. Tidak merugikan orang lain, apalagi negara. Namun tetap direhabilitasi atau ditangkap sebab aturan yang sudah disepakati oleh pemerintah, meski dalam penyusunannya tidak melibatkan pelaku. Ada juga kewajaran banalitas ketika berkendara motor tidak menggunakan helm, melakukan hubungan seks di luar nikah, hingga aktif dalam lingkaran buzzer.

Melakukan kejahatan karena tuntutan aturan yang kemudian dianggap kewajaran mengubah persepsi mengenai parameter kebaikan dan keburukan. Kebiasaan mayoritas orang yang melakukan kecurangan atau kejahatan akan menghilangkan nilai moral masyarakat. Setiap orang berhak melakukan kejahatan dalam batasan prinsip yang dipegang masing-masing individu. Esensi kejahatan akan direduksi sesuai kesepakatan komunal.***

  Akhir ini, lini masa Twitter ramai dengan perdebatan seputar komedi yang menyinggung aspek feminsime. Dimulai dari cuitan Popon Kerok (@po...

 

Ulah Komedi Feminisme

Akhir ini, lini masa Twitter ramai dengan perdebatan seputar komedi yang menyinggung aspek feminsime. Dimulai dari cuitan Popon Kerok (@poponkerok), “feminis sejatinya hanyalah sekumpulan cewek males dan ribet.” yang berdampak pada hilangnya kontrak kerja dengan salah satu brand. Popon menganggap bahwa cuitannya tentang feminisme sejatinya tidak menjadi sorotan publik apabila tidak ada serangan masif dari sebagian orang.

Belum kelar konflik Popon dengan gerakan feminisme di Indonesia, muncul sosok baru Patra Gumala (@patragumala) sebagai bentuk solidaritas sesama komika (sebutan pelaku stand up comedy). Ia menawarkan beberapa potongan video tentang feminisme, termasuk menganalogikan parkir khusus perempuan dengan parkir khusus difabel. Patra mempertanyakan esensi eksklusivitas perempuan dalam hal parkir memarkir yang tidak punya tendensi pelecehan seksual seperti pengkhususan gerbong penumpang transportasi umum.

Dua konteks cuitan mengenai feminisme yang dibungkus dengan narasi komedi membuat warganet punya perspektif yang unik dan menarik mengenai kasus tersebut. Dari pihak yang mendukung, komedi adalah soal selera yang di dalamnya ada konsekuensi atas apa yang disampaikan di atas panggung (ruang publik). Dari pihak lain mengatakan bahwa kebebasan berkespresi menjadi dalih perilaku kelompok superior mengejek kelompok inferior yang dapat menyebabkan konflik sosial.

Dalam kasus feminisme, komika memberikan opini dari sudut pandang pria yang menjadi subjek “mengolok-olok” perempuan sebagai objek. Pihak perempuan pun sebenarnya punya ruang untuk menyampaikan keresahannya kepada pihak pria. Namun faktor dominasi panggung (ruang publik) yang dimiliki pria membatasi ruang perempuan untuk melempar opini balik.

Misalpun ada kesempatan, ajang adu argumen saling merendahkan kelompok lain tidak akan pernah berakhir. Dampaknya adalah kesenjangan sosial yang mengarah pada konflik kekerasan. Sementara masih banyak yang tidak sadar bahwa internet atau media digital merupakan sarana mengekspresikan gagasan atau opini yang pasti dikonsumsi oleh publik. Sehingga risiko ketersinggungan dan ancaman nonverbal gampang dialami oleh pelaku yang dianggap menyerang pihak lainnya.

Sedangkan pencarian kebenaran atas opini yang disampaikan tidak akan pernah bertemu sebab kebenaran yang sudah bersinggungan dengan manusia akan hilang. Kebenaran yang dilihat akan menjadi perspektif dan kebenaran yang diucapkan akan menjadi opini. Sifatnya subjektif. Mendiskusikan perihal feminisme tidak akan pernah menemukan kebenaran sebab kedua belah pihak punya argumen masing-masing berdasarkan perspektif dan opini yang didapatkan.

 

Baca Juga : Normalisasi KDRT?

Komedi Cerdas

Saya merupakan pengaggum stand up comedy di Indonesia. Selain menyajikan aneka ragam teknik komedi, komika juga bisa membawakan keresahan yang relate dengan kehidupan banyak orang. Meskipun bukan sebagai pelaku, saya pemerhati stand up comedy sejak tahun 2013 yang kemudian mulai dikenal di berbagai film dan acara talkshow di televisi. Perkembangan stand up cukup mendominasi industri hiburan di tanah air.

Bahkan komika mudah melebur dengan komedian senior yang awalnya terlihat ada perselisihan karena anggapan stand up comedy adalah komedi cerdas dibandingkan jenis komedi lain. Tentu argumen tersebut relevan ketika komika “diwajibkan” rajin menulis materi sebelum dibawakan di atas panggung. Kebiasaan menulis dan memahami konteks komedi bisa dijadikan parameter bahwa komika punya sisi kecerdasan menggali komedi yang absurd dan sarkastik.

Dari variabel menulis, ada nilai wawasan dan kecermatan melihat sudut pandang untuk dijadikan materi komedi. Penulis yang baik adalah mereka yang paham etika jurnalistik harus memuat unsur cover both side. Penulis harus mengabaikan sikap fanatisme kelompok dan melihat segala sesuatu secara objektif. Melakukan riset yang mendalam mengenai isu sosial yang akan dibicarakan. Jadi komika yang dianggap cerdas masih tetap relevan dengan masyarakat.

Tweet Ge Pamungkas mengutip rumus komedi dari Abdur Arsyad bahwa yang sebaiknya dilakukan komedian yakni melihat kekacauan ditambah komedi untuk menciptakan kedamaian. Bukan sebaliknya bahwa kedamaian ditambah komedi malah menciptakan kekacauan. Kasus Popon dan Patra menjadi pelajaran bagi komika lain bahwa komedi memang erat dengan ketersinggungan. Sehingga setiap materi besar kemungkinan menimbulkan konsekuensi.

Penulis komedi yang dianggap cerdas harus mampu menerapkan prinsip kebijaksanaan, bahwa segala keresahan harus dilihat dari dua perspektif. Memaksakan argumentasi secara egois sudah pasti akan menimbulkan konflik ketika dibawa ke ranah publik. Setiap orang punya keresahan, komedi seharusnya membungkus keresahan agar bisa dinikmati semua orang. Bukan malah memercik sensasi atas nama solidaritas sesama komika. Apalagi era teknologi informasi yang mulai banyak menyadari akan pentingnya kesetaraan.

Di sisi lain, kasus ini setidaknya mengangkat popularitas Popon dan Patra yang kurang begitu dikenal di layar televisi. Namun terlalu naif mengalihkan motif perang konsep feminisme dengan misi engagement komika yang kurang terkenal. Namun beragam tanggapan komika senior terhadap kasus feminisme tersebut menjadi angin segar bagi saya (penikmat stand up comedy) tentang batasan keresahan yang patut dikomedikan atau dibawakan di atas panggung.***

  Sejak perseteruan dengan Samsudin, nama Marcel Radhival (Pesulap Merah) berseliweran di media sosial. Kerap diundang dalam talkshow televi...

 

pesulap merah dan benturan budaya

Sejak perseteruan dengan Samsudin, nama Marcel Radhival (Pesulap Merah) berseliweran di media sosial. Kerap diundang dalam talkshow televisi dan podcast di YouTube. Beberapa memujinya, di sisi lain ada yang mencacinya. Aksi Pesulap Merah tidak hanya perihal kompetisi konten “sulap”, melainkan mendekonstruksi agama, sosial, dan budaya.

Dari sisi atraksi, Pesulap Merah mulai meninggalkan aksi panggung dengan cara membongkar trik sulap. Seniman sulap menjadi kekurangan panggung sebab penonton sudah mulai sadar akan “konsep kebohongan” dalam permainan sulap. Kemudian mulai merambah ke dunia mistis dengan alibi menyadarkan masyarakat dari kemusyirkan (kesesatan).

Lalu kenapa aksi membongkar kesesatan dukun bisa menjadi bahasa menarik di masyarakat?

Ada kebudayaan yang mengakar kuat di masyarakat seputar kepercayaan mistis yang kemudian menjadi daya tawar produksi kesenian seperti film, musik, hingga pertunjukan teater. Masyarakat masih antusias mendiskusikan perkara gaib seputar santet (penyengsaraan), pelet (pengasihan), dan kepet (pesugihan). Sementara dalam tradisi kebudayaan, masyarakat sudah lama diberi khasanah kegaiban di tempat angker atau mistis.

Kepercayaan hantu penunggu rumah, pemakaman, hingga gedung-gedung tua masih menjadi daya tarik masyarakat. Memberikan tontonan uji nyali dan jalan-jalan malam dengan sedikit bumbu drama kesurupan. Sementara tontonan yang bernuansa saintifik kurang diminati. Masyarakat Indonesia lebih suka mengunggulkan kepercayaannya daripada logikanya dalam melihat fenomena yang tidak populer. Kemalasan berpikir inilah yang menyebabkan tradisi kebudayaan mengenai hal mistis masih relevan di masyarakat.

Implikasi dari kemalasan berpikir pada akhirnya mengarah pada doktrinasi agama yang menyandarkan keyakinan kepada otoritas tertentu. Ada nilai kekastaan (yang diulamakan) dalam memberikan fatwa yang “wajib” diikuti oleh masyarakat. Relasi agama dan kebudayaan seputar hal-hal di luar logika yang menjadi pondasi berperilaku fanatis. Bahkan, mengabaikan kebenaran faktual dengan menyandarkan kesadaran kepada tokoh yang dipercayainya.

Agama menjadi alat melegalkan kekerasan dan ambisi kekuasaan tanpa melihat spektrum sosial, budaya, dan politik. Agama juga menjadi alat untuk menjajah agama atau ideologi lain yang dianggap menghambat tujuan. Bahkan agama kerap menjadi senjata menghilangkan tradisi dan kebudayaan setempat, termasuk praktek perdukunan.

Pesulap Merah menjadi tokoh antitesis budaya Indonesia yang terbelenggu dalam kepasrahan berpikir. Membuka mata masyarakat yang malas berikhtiar dan malah memasrahkan nasibnya kepada dukun. Sementara ada dimensi kekuatan supranatural yang kadang juga disandarkan pada kiai (ulama) atau yang dianggap kiai. Maka, perseteruan Pesulap Merah juga berpotensi pada sikap sinisme masyarakat pada kalangan kiai yang dianggap punya karomah.

 

Baca Juga : HAM dan Nikah Beda Agama

Kecacatan Berpikir

Fenomena Pesulap Merah memberikan pesan tentang kesadaran berpikir agar tidak gegabah mengambil kesimpulan. Di sisi lain, bahaya menyandarkan agama pada logika akan melemahkan iman seseorang akan adanya mukjizat, karomah, maunah, istidraj. Bahkan sampai pada indikator kekafiran dari kepercayaan terhadap makhluk gaib. Sedangkan dunia gaib sendiri merupakan bagian dari rukun iman.

Manusia harus mampu memanfaatkan modal kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual melihat fenomena benturan budaya dan agama. Memutuskan untuk mencari kebenaran fakual atau hanya menyandarkan pada kekuasaan Tuhan. Sehingga ada keseimbangan pikiran dan keyakinan dalam beragama. Tidak gampang taklid buta, namun tidak juga menyepelekan kapablitias ulama.

Bukan hanya kebudayaan praktek perdukunan yang hanya mengancam kecacatan berpikir rasional, namun juga fanatisme terhadap agama yang berdampak pada konflik di masyarakat. Padahal ada kesamaan orientasi antara agama dan budaya dalam mengembangkan keimanan sesorang. Ketika agama mengajarkan batasan dalam dimensi spiritual, budaya mengajarkan masyarakat melalui dimensi sosial.

Dari perspektif agama, aksi Pesulap Merah tentu diapresiasi secara kaidah syariat yang menyadarkan manusia dari praktek perdukunan. Sementara dari sisi sosial kebudayaan, aksi Pesulap Merah bisa menimbulkan konflik di masyarakat dan menghilangkan sisi kebaktian terhadap seseorang yang ditokohkan. Destruksi kebudayaan yang akan membawa dampak besar pada pola pikir masyarakat mengenai hal-hal metafisika.

Sementara tidak seluruhnya aksi Pesulap Merah mendapat dukungan dari umat beragama, Islam khususnya. Bukan karena embel-embel “gus” yang disematkan pada Samsudin, melainkan pada fakta bahwa di lingkungan pondok pesantren ada kajian ilmu laduni dan ilmu kanuragan yang dalam aplikasinya kerap bersinggungan dengan hal-hal mistis. Bahkan Pesulap Merah dengan terang-terangan siap membongkar trik ilmu laduni yang kebetulan menjadi basis muslim pesantren.

Jadi tidak semua bersumber pada kecacatan berpikir rasional. Ilmu pengetahuan barat modern perlahan akan mendominasi struktur berpikir masyarakat Indonesia yang mulai meninggalkan nilai agama dan kebudayaan. Mengandalkan kemampuan logika dan mulai mengabaikan keyakinan pada otoritas keulamaan atau ketokohan di masyarakat. Sisi positifnya, masyarakat tidak lagi mudah tertipu dengan segala intrik yang dilakukan oleh tokoh tertentu. Menyaring informasi yang ditengarai hoaks atau modus penipuan.***

  Manusia dibekali kekuasaan untuk menentukan pilihan (keputusan) yang disandarkan pada spektrum moralitas. Otonomi pribadi manusia mencipta...

 

memilah ilmu dan iman

Manusia dibekali kekuasaan untuk menentukan pilihan (keputusan) yang disandarkan pada spektrum moralitas. Otonomi pribadi manusia menciptakan penghargaan dan tanggung jawab untuk memilih kebaikan dan keburukan secara relatif. Keterikatan sosial antar manusia yang kemudian menciptakan standar moralitas komunal. Menyusun aturan untuk disepakati meskipun kadang bertolakbelakang dengan hati nurani.

Guru dan pelajaran paling diharapkan adalah implementasi dari kebijaksanaan yang diperoleh dari berbagai ilmu. Informasi menjadi data yang diterima dan direkam secara konsisten oleh otak manusia. Pengetahuan mengaktualisasikan informasi agar bisa bermanfaat bagi orang lain. Terkadang melubernya informasi yang ditampung otak sering tidak bisa ditransfer menjadi pengetahuan. Risikonya menyebabkan kecacatan informasi sekunder yang berorientasi pada konflik.

Keluasan ilmu seseorang tidak serta merta menjadikan manusia berlaku sesuai kapasitas keilmuannya. Ilmu yang diterima terkadang hanya menjadi sampah yang terselip. Sehingga perilakunya tidak sinkron dengan perkataannya. Labil dan memaksakan kebenaran yang kontradiktif dengan keyakinannya. Sampai pada kesimpulan berilmu berarti beriman dan sebaliknya.

Iman erat kaitannya dengan aspek keagamaan seseorang. Agama dianggap berpijak pada kepercayaan, sedangkan ilmu berpijak pada akal budi. Keilmuan manusia didapatkan melalui berbagai cara seperti pengamatan, pengalaman, dan pencarian wawasan (membaca literatur). Sedangkan iman muncul sebab taklid, pengolahan informasi, lingkungan, dan kecenderungan nurani.

Banyak kejadian manusia lebih mengedepankan iman daripada ilmu untuk melemparkan wacana perdebatan. Iman kerap dijadikan dalih keterbatasan ilmu. Menggantungkan kebodohan (kurangnya pengetahuan) kepada Tuhan. Kegaiban dijadikan landasan fundamental beriman. Sedangkan kematangan berilmu akan meningkatkan kualitas keimanan. Sebab esensi ilmu adalah memecah, sedangkan iman menyatukan. Bukan sebaliknya.

Semakin berilmu, seseorang akan semakin tergelitik untuk mengulik segala fenomena yang tertangkap oleh indera manusia. Hasilnya tentu perdebatan karena perbedaan konsep memahami kebenaran ilmu. Iman menjadi jalan tengah dengan pengakuan diri atas ketidakmampuannya meraih jagad ilmu. Iman akan menyatukan persepsi ketidaktahuan kepada sesuatu yang sifatnya tidak terjangkau.

Dalam kajian filsafat Timur, iman tidak datang dari taklid (kepercayaan buta), tetapi dari eksperimen yang berkepanjangan. Ilmu dan iman adalah jalan menuju pencerahan dan pembebasan. Konflik terjadi karena hasil dari kesalahan cara berpikir. Puncak dari iman adalah kesadaran yang dicapai melalui kemapanan berilmu. Kesadaran tersebut menciptakan ajaran cinta untuk melawan kebencian akibat kedangkalan ilmu dan ketidakmampuan mengimplementasikan ilmu.

Agama harus berkorelasi dengan keberagaman (perbedaan). Agama yang menolak keberagaman sebagai keniscayaan membuktikan kedangkalan ilmu untuk meyakini sesuatu. Ilmu hanya dijadikan alat bereksistensi dan iman dijadikan kampanye mempopulerkan keeksistensiannya. Padahal setiap orang punya keimanan murninya masing-masing yang didapatkan dari pengalaman yang sudah dicapai.

Namun kadang banyak orang yang sering meragukan keimanannya dengan memilih melibatkan porsi keimanan kepada orang lain. Gampang dipengaruhi dan dimanipulasi keimannya karena rendahnya ilmu. Selebihnya hanya menjadi manusia egois dan pemarah kepada siapapun yang berbeda dengannya. Merasa paling benar padahal masih miskin pengetahuan.

Setiap orang bisa memilih siapapun dan apapun ilmu untuk dimasukan ke dalam otaknya. Namun banyak di antaranya yang tidak mau dan tidak mampu memilah kualitas ilmu yang baik untuknya. Membebek kepada yang lain. Akal sehat dikorbankan demi iman yang setengah-setengah. Doktrin dari sana-sini dibiarkan merusak kejernihan pengetahuan yang berpotensi pada kerusakan keimanan.

Manusia butuh filter untuk memilah ilmu dan iman. Tidak semua ilmu berguna bagi keimanan seseorang, begitu juga sebaliknya. Semakin berilmu seharusnya mengubah paradigma keterbukaan seseorang terhadap iman. Menyadari bahwa setiap orang punya klaim kebenaran masing-masing. Memaksakan orang lain beriman sesuai keyakinan kita adalah cara usang yang tidak relevan dengan zaman sekarang.

Keterbukaan informasi punya dampak positif bagi manusia untuk memperolah ilmu sebanyak mungkin. Di sisi lain akan mengaburkan iman seseorang sebab melimpahnya sudut pandang terhadap kebenaran. Ketika ilmu tidak tersusun dengan baik di otak manusia, sampai di persimpangan iman seseorang akan mempertimbangkan lagi kebenarannya. Kalau dalam istilah Islam, mualaf dan murtad sudah menjadi budaya.

Setelah selesai memilah iman, seseorang akan mudah menentukan iman. Sehingga iman dicapai melalui proses pencaraian, bukan sebab keturunan (warisan). Kebodohan bisa menjadi jalan manusia kehilangan keimanan. Biasakan belajar menerima pengetahuan yang tersebar di sekitar kita. Anggap semua orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, dan semua kejadian adalah pelajaran. Selamat beriman, manusia-manusia berilmu.

  Darurat literasi. Diksi yang sering saya pakai untuk menggambarkan situasi membanjirnya informasi saat pandemi. Malas membaca dan berpikir...

 

Esensi, Eksistensi, dan Sensasi

Darurat literasi. Diksi yang sering saya pakai untuk menggambarkan situasi membanjirnya informasi saat pandemi. Malas membaca dan berpikir mengulik sebuah berita yang berdampak pada konflik di tengah masyarakat. Perbedaan tidak lagi dilihat sebagai hal yang lumrah ketika semua berkehendak untuk memaksa yang lainnya sama.

Media sosial sudah menjadi kebutuhan, khususnya bagi kalangan milenial. Menghibahkan waktu dan pikiran untuk berkreasi sesempurna mungkin di medsos. Barharap banyak yang memuji (like) dengan memamerkan segala hal yang dipunyainya. Konseptualisasi eksistensialisme menjamur sejak dini ketika anak-anak sudah mulai mahir “menjual diri” di media sosial.

Setiap orang sibuk mencari jati dirinya. Aktualisasi diri banyak dikembangkan melalui sarana digital. Sampai pada titik dimana pasar ekonomi ada di pundak teknologi. Berlomba mencari penghasilan dari internet hingga melakukan aktivitas di luar kemanusiaan seperti pelecehan seksual, penipuan, politik adu domba, penyebaran aib, dan lain sebagainya.

Di dunia nyata dikenal sebagai orang pendiam, di dunia maya menjadi beringas dengan mengumbar umpatan dan caci maki. Budaya kebencian dipupuk sejak informasi dibuka lebar di internet. Belum siap menerima beragamnya perbedaan sudut pandang dalam menilai sesuatu. Berbeda dianggap musuh. Tokoh nasionalis berjuang menyatukan bangsa, kemudian dipecah belah sebab rendahnya literasi dan kapabilitas berpikir.

Judul yang kontroversial menjadi konsumsi masyarakat untuk menguatkan argumen dan menyalurkan hasrat kebencian kepada yang dianggap musuh. Maramu kata yang dapat menyugesti masyarakat agar antusias berjuang di dalam kelompoknya. Malas mengumpulkan informasi lain dan mengecek kebenarannya. Masyarakat hanya menjadi budak yang tidak mau melawan terhadap perilaku penjajahan digital.

Hanya tertarik pada eksistensi (bentuk) daripada esensi (fungsi dan tujuan). Menjadi manusia yang tekstualis dari banyak konteks yang bisa dijadikan rujukan dalam menilai sebuah permasalahan. Media sosial yang seharusnya menjadi alat komunikasi malah jarang digunakan untuk berdiskusi, selain ujaran kebencian dan caci maki.

Data mengenai pengguna internet mungkin bisa diketahui, namun data pengguna internet yang bijak menyikapi permasalahan masih sulit diketahui. Hanya kesimpulan bahwa warganet di Indonesia disinyalir paling tidak sopan di dunia. Bagaimana bisa sopan kalau penggunanya masih minim literasi dan malas mencari konteks permasalahan.

 

Baca Juga : Konflik, Dampak Rendah Literasi

Tokoh Publik

Pengaruh media sosial menjadi jalan pintas seseorang untuk menjadi tokoh publik. Banyak artis dan politisi yang diberikan tempat bukan karena prestasi, namun karena sensasi. Ketika manusia tidak cukup dengan eksistensi yang disediakan media sosial, mereka berlomba mengumbar sensasi agar jangkauan eksistensinya lebih luas.

Era teknologi digital, prestasi tidak lagi didapat dari perjuangan panjang berlatih dan menimba ilmu dari berbagai pendidikan. Media sosial seolah menjadi jalan pintas untuk meraih ketenaran dan kekayaan. Terkenal adalah bentuk cita-cita masyarakat modern saat ini. Melakukan apapun yang disukainya dengan mendapat atensi yang besar dari masyarakat.

Buruh atau karyawan mulai mengaktifkan diri di media sosial. Ketika jenuh dengan rutinitas pekerjaan, media sosial menjadi alat menyalurkan hasrat eksistensinya. Gelisah menunggu respon dan bergairah untuk berdebat (adu argumen). Kebijaksanaan manusia terdistorsi pada bentuk tampilan luar tanpa sudi mengupas esensi di dalamnya. Manusia menjadi penipu dan gampang ditipu.

Dalam konsep dasar ekonomi, keinginan manusia tidak terbatas. Mengabaikan esensi, meninggalkan eksistensi, dan sibuk membuat sensasi. Bahkan ketika sadar bahwa konsep dasar ekonomi berbanding terbalik dengan kebutuhan sumber daya alam yang terbatas, teknologi kembali menyediakan impian kehidupan visual yang dinamai: Dunia Metaverse.

Akibatnya sering muncul kesalahpahaman dan silang pendapat sebab menurunnya keinginan mencari tahu esensi di balik sebuah kejadian. Menyimpulkan sesuatu dengan ringan berdasarkan apa yang dilihat dan didengar saat itu juga. Masyarakat modern benar-benar ingin dimanjakan dan dimudahkan melakukan segala sesuatu, tanpa kemauan berpikir lebih.

Menduduki posisi tokoh publik membuatnya bisa mempengaruhi banyak orang agar sama (mendukung argumennya). Menjadi populer meskipun dengan risiko mengumbar aib (sensasi) dirinya sendiri. Semakin berani melontarkan pernyataan dan perilaku yang kontroversial, semakin besar potensinya untuk terkenal.

Dari problematika budaya bermedia sosial di atas menunjukan bahwa betapa tidak pentingnya pendidikan dan pelatihan bagi manusia. Kekayaan dan kepopuleran tidak diukur dari rajinnya seseorang belajar di sekolah maupun serius ikut pelatihan. Percuma berprestasi kalau masyarakat lebih antusias memperhatikan sensasi. Percuma dipaksa membeli buku sekolah kalau ketika dewasa malas membaca.

Ruang pendidikan tidak menyediakan anak didiknya untuk mengaktualisasikan diri dan membekalinya pemahaman tentang pentingnya berliterasi. Sehingga mereka mencari ruang yang lain untuk mengekspresikan diri. Pamer diri agar tetap eksis di ruang publik. Kalau perlu dengan membuat sensasi.***

  Sebab tanpa tendensi politik, hampir semua masyarakat Indonesia (cebong dan kampret) sepakat mengadili Mariana sebagai musuh bersama. Simb...

 

coklat alfamart

Sebab tanpa tendensi politik, hampir semua masyarakat Indonesia (cebong dan kampret) sepakat mengadili Mariana sebagai musuh bersama. Simbol penindasan konglomerat terhadap buruh bergaji sedang-sedang saja. Tanpa isu agama pun, pencurian coklat tetap melanggar batas norma yang patut diberikan sanksi sosial: perundungan massal di media sosial.

Sedikit informasi, Mariana Ahok Ahong merupakan wanita tajir pemilik Boy Celluler di ITC BSD. Kasusnya mengemuka semenjak ia “secara tidak sadar” mengambil 3 coklat dan 2 sampo di Alfamart. Sebab ketidaksadarannya, ia lupa membayar barang bawaannya ke kasir yang kemudian viral di media sosial. Amelia, sosok yang merekam dan memergoki ibu pengendara Mercy tersebut kicep saat hendak masuk ke mobil.

Bukannya meminta maaf, Mariana malah memanggil pengacara untuk mengintimidasi Amelia agar meminta maaf secara terbuka sebab dianggap mencemarkan nama baik: pelanggara UU ITE. Namun kemurahan hati Mariana tidak melanjutkan ke proses hukum, sehingga masalah bisa diakhiri secara kekeluargaan. Padahal jika masuk ke ranah hukum, Mariana jelas unggul telak dibandingkan kasir Alfamart yang gajinya di kisaran UMK setempat.

Netizen geram dan gercep (gerak cepat) memberikan rating bintang satu Boy Celluler di Google. Bahkan, sekalas Hotman Paris Hutapea (rajanya pengacara Indonesia) harus turun gunung menyelamatkan korban yang seolah ditersangkakan. Bahkan, Hotman rela tidak dibayar Amelia ketika menawarinya membantu secara proses hukum. Setidaknya bisa menjadi engagement di media sosial. Pesannya bahwa orang miskin berhak mendapat perlindungan ekslusif dari Hotman harus melalui proses viral dulu di media sosial.

Belum sampai 3 hari sejak kejadian, Mariana menangis menyesal di ruang Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Tangerang Selatan. Mobil Mercy pun tidak kuasa menahan gagahnya Lamborghini milik Hotman Paris Hutapea. Bahkan pengacara Haji Amir yang sempat mengintimidasi Amelia terpaksa “cium tangan” sama Frank Hutapea SH LLB (anak Hotman Paris).

Mariana tidak sadar bahwa tindakan melakukan intimidasi terhadap kasir Alfamart untuk meminta maaf dapat membersihkan namanya, namun malah menjadi viral yang akhirnya menghancurkan karir dan usahanya (bakulan HP) sebab ulasan buruk dan citra klepto pemilik toko ponsel. Padahal dengan meminta maaf dan membayar usai dipergoki akan segera menyelesaikan masalah.

Kaya dan Miskin

Di luar tuduhan bermata sipit seperti cukong-cukong di Indonesia, perilaku Mariana sedikit memberi pesan bahwa kapitalisasi dagang perlu diruntuhkan. Mungkin motif Mariana untuk menyelamatkan toko kelontong dari penjajahan mini market seperti Alfamat, Indomaret, Alfamidi, K-Circle, dan lain sebagainya. Mariana memberikan contoh kalau belanja itu lebih baik di toko atau warung dekat rumah, sementara untuk mini market pantas untuk kita curi.

Dikotomi kaya dan miskin tidak relevan dalam kasus pencurian coklat Mariana di Alfamart. Sebab keduanya sama-sama punya banyak uang buat bayar pengacara. Pegawai Alfamart sudah pasti mendapat perlindungan hukum dari perusahaan yang pada akhirnya menggandeng maestro Hotman Paris Hutapea. Mariana yang semula dituduh kaya mendadak miskin di hadapan pihak Alfamart yang meminta bantuan sang Raja Pailit Indonesia.

Bos besar Alfamart adalah Djoko Susanto, pria keturunan Tionghoa yang menjadi salah satu taipan di Indonesia. Dilansir dari halaman Forbes, Djoko Susanto bertengger di posisi ke-22 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaannya pada tahun 2022 sebesar USD1,9 miliar atau setara Rp27,1 triliun. Alfamart berada di bawah naungan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk dan diketahui memiliki lebih dari 16.000 cabang di seluruh Indonesia.

Menjamurnya mini market seperti halnya Alfamart tentu akan mematikan UMKM di daerah-daerah. Ketika kasus Mariana pengutil coklat keluar, Alfamat terkesan menjadi pihak yang terzalimi. Padahal Mariana ingin membuka mata masyarakat Indonesia untuk jangan beli produk di mini market, tapi belanjalah di toko kelontong. Selain harga lebih murah, juga aman dari “tukang parkir setan” yang kadang muncul di saat selesai belanja.

Jadi kasus Mariana ini bukan perkara si kaya dan si miskin, tetapi lebih kepada kesadaran bahwa kekuatan korporasi bisa melakukan apapun untuk menegaskan kedigdayaannya. Lhawong, keduanya yang sama-sama berselisih itu berkategori kaya dan sangat amat kaya. Netizen malah di pihak yang sangat amat kaya dengan tumbal kasir bernama, Amelia.

Misal alasan pembelaan Mariana tentang kepeduliannya terhadap toko klontong tidak bisa diterima, mari kita bicara tentang kleptomania mantap. Kleptomania termasuk ke dalam kelompok gangguan kendali impulsif, yaitu gangguan yang menyebabkan penderitanya sulit mengendalikan emosi dan perilaku untuk mencuri di tempat umum. Mencuri itu ibarat masturbasi bagi penderita kleptomania. Nah, kadang penderita tidak sadar kalau perilaku mencuri sebagai tindak kriminal.

Meski baru dugaan, misal Mariana benar menderita kleptomania, maka harus ada pemakluman perilaku mencuri beliau. Apalagi setelah diingatkan, Mariana juga langsung membayar. Merekam dan menyebarkan ke media sosial merupakan langkah gegabah menghakimi seseorang yang mungkin menderita kleptomania. Padahal Amelia bisa dengan menegur dan mengingatkan ketika hendak memasuki mobil, kenapa harus direkam? Apa juga butuh engagement seperti Hotman Paris Hutapea?

Hari Pembantu Rumah Tangga (PRT) Internasional jatuh pada 16 Juni yang ditetapkan bersamaan dengan pengesahan Konvensi ILO 189 dan Rekomenda...

Demokrasi PRT

Hari Pembantu Rumah Tangga (PRT) Internasional jatuh pada 16 Juni yang ditetapkan bersamaan dengan pengesahan Konvensi ILO 189 dan Rekomendasi 201 tentang Kerja Layak bagi PRT. Konvensi ini merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap PRT yang belum diakui sebagai pekerja dan masih terpinggirkan dari skema perlindungan pekerja. Konvensi ILO 189 dikuatkan dengan Konvensi ILO 190 tentang Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.

Berdasarkan data survei ILO dan Universitas Indonesia (UI) tahun 2015, warga negara Republik Indonesia yang tercatat sebagai PRT berjumlah 4,2 juta. Sementara PRT merupakan wilayah kerja bersifat domestik dan privat sehingga tidak ada kontrol dan pengawasan dari pemerintah yang rawan dan rentan terhadap diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan.

Secara kuantitas jumlah PRT di Indonesia menjadi yang tertinggi di dunia, jika dibandingkan oleh beberapa negara di Asia seperti India (3,8 juta) dan Filipina (2,6 juta). Persentase PRT mayoritas di dominasi perempuan (84%) dan anak (14%) yang rentan eksploitasi dan resiko terhadap human trafficking.

PRT adalah kaum pekerja yang rentan, karena bekerja dalam situasi yang tidak layak seperti jam kerja panjang (tidak dibatasi waktu), tidak ada istirahat, tidak ada hari libur, tidak ada jaminan sosial (kesehatan PBI dan ketenagkerjaan). Bahkan masih banyak kekerasan secara ekonomi, fisik, dan psikis (intimidasi, isolasi). PRT juga Rawan diskriminasi, pelecehan, dan perendahan terhadap profesi.

Sampai saat ini, PRT masih dianggap pekerjaan tanpa pengakuan. Persepsi di masyarakat yang dipandang sebagai pekerjaan kelas bawah. Tidak ada Undang-Undang (UU) yang melindungi hak dan kewajiban PRT secara hukum. Hidup di negara demokrasi namun jauh dari konsep kesejahteraan dan keadilan.

Padahal amanat konstitusi menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat (2) UUD 1945). Pekerjaan dan penghidupan yang dimaksud harus sesuai dengan harkat, martabat, dan asasinya sebagai manusia. Dalam aplikasinya, negara harus hadir melindungi pekerjaan segenap warganya, termasuk dalam lingkup PRT.

PRT harus bisa mendapatkan kedudukan yang setara sebagai warga negara yang bekerja seperti halnya buruh pabrik atau kuli bangungan yang banyak mendapatkan perhatian dari pemerintah. PRT bukan pengangguran yang tidak memiliki jaminan keselamatan kerja dan perlindungan hukum. Mereka juga bagian dari tenaga kerja yang harus diberikan hak yang sama seperti jenis pekerjaan lainnya.


Baca Juga :  Normalisasi KDRT?

Nasib UU PRT

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah diajukan sejak tahun 2004 silam dan selalu masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tiap masa bakti DPR RI. Namun sampai sekarang masih belum juga disahkan. Seolah nasib kesejahteraan dan keselamatan PRT tidak menjadi prioritas bagi pemerintah.

Ketidakadilan berikutnya mengenai program pemerintah yang mengasingkan PRT sebagai kelompok bukan tenaga kerja. Menurut Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), PRT tidak ada yang mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) selama pandemi. Mereka tidak masuk dalam data pekerja pemerintah. Padahal ada sekitar 1.500 PRT di Indonesia yang sudah terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan secara mandiri.

Macetnya pengesahan UU PRT menyebabkan nasib jutaan asisten rumah tangga menggantung di tengah isu pemutusan kontrak sepihak akibat pandemi. PRT tidak punya payung hukum untuk melawan atas jaminan penghidupan setelah pemecatan atau pemberhentian kerja. Pemerintah juga angkat tangan sebab kurangnya atensi terhadap nasib PRT.

Demokrasi tampaknya hanya slogan basa-basi. Amanat konstitusi juga mulai biasa diingkari. PRT merupakan kasus yang nyata dan faktual bagaimana demokrasi tidak lagi melidungi warganya sendiri. Di luar negeri dihormati sebagai pahlawan devisa, sementara di dalam negeri haknya dikebiri. Pemerintah dilarang menutup mata terhadap realita ketidakadilan perlakuan terhadap PRT.

PRT juga bagian dari warga negara yang butuh mendapat penghidupan yang layak. Mereka mempunyai keluarga untuk dicukupi kebutuhannya. Menghadapi risiko yang serupa dengan pekerja lain. PRT bukan pekerjaan yang hina, apalagi sampai diasingkan dari perhatian pemerintah. Masyarakat juga butuh edukasi untuk mengangkat martabat PRT agar tidak tersiksa dalam persepsi miring pekerjaan kelas bawah.

Tidak ada alasan mengabaikan pengesahan RUU PRT mengingat gesitnya pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja yang bisa dikebut sedemikian rupa. Meskipun jauh dari perhatiaan mereka yang merasa berpendidikan dan tergolong masyarakat kelas menengah dan atas, demokrasi harus menunjukan komitmennya dalam penerapan pemerataan keadilan bagi seluruh warga negara.

 

Baca Juga : Pendidikan Kekerasan pada Anak

Kekerasan PRT

Survei Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) pada Desember 2020 menunjukkan sekitar 60 persen atau 417 dari 668 PRT yang didampingi Jala PRT melaporkan bahwa mereka tidak menerima upah, di-PHK sepihak tanpa upah dan pesangon, dan tidak menerima tunjangan hari raya (THR). Kemudian ada 82 persen atau 548 PRT tidak dapat mengakses Jaminan Sosial.

Selain itu, Jala PRT mencatat terdapat jumlah kasus kekerasan terhadap PRT yang naik dua kali lipat pada tahun 2020 jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terutama kekerasan secara ekonomi. Belum lagi kekerasan seksual disertai ancaman yang masih belum terungkap akibat tidak jelasnya payung hukum terhadap PRT.

Banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT, pemerintah pada akhirnya menerapkan Hari PRT Nasional yang diperingati setiap 15 Februari sejak 2007 sebagai refleksi atas tragedi yang menimpa PRT berusia 14 tahun bernama Sunarsih, korban perdagangan orang yang dipaksa bekerja di Surabaya. Hingga Desember 2021, rata-rata terjadi 400-an kekerasan terhadap PRT dari berbagai aspek seperti psikis, fisik, ekonomi, pelecehan seksual, dan perdagangan manusia.

Angka yang cukup signifikan untuk menjadi alasan pembahasan prioritas di parlemen. Demokrasi harus ditegakan oleh mereka yang mempunyai tanggung jawab mengamplikasikan sistem ketatanegaraan secara beradab dan berkeadilan. Demokrasi melarang segala bentuk kekerasan meski dalam ranah domestik dan privat seperti yang menimpa PRT di dalam dan luar negeri.

PRT bukanlah pekerjaan yang dicitakan oleh setiap orang, namun bukan juga pekerjaan hina yang diabaikan dari perhatian negara. Masyarakat yang memperkejakan PRT juga harus punya kesadaran dan tanggung jawab mengenai hak-hak pekerja. Memperhatikan kesejahteraan dan menghindari terjadinya kekerasan terhadap PRT.

Korelasi antara PRT, majikan, dan pemerintah harus berjalan seimbang untuk menciptakan sistem kerja yang ideal di negara yang menganut asas demokrasi. Seperti halnya buruh yang diberikan jaminan sosial, keselamatan kerja, dan perlindungan hukum. Demokrasi menghendaki adanya kesetaraan dan kebebasan berekpresi dalam mewujudkan amanat konstitusi. Jangan sampai ada anggapan dari PRT yang merasa asing dengan konsep berdemokrasi di negeri sendiri.***

  Sebagai pengurus RT di salah satu desa di Klaten, saya begitu antusias mengikuti rapat formal maupun informal untuk mengimplementasikan pr...

 

kualitas desa ternak

Sebagai pengurus RT di salah satu desa di Klaten, saya begitu antusias mengikuti rapat formal maupun informal untuk mengimplementasikan program bantuan dana desa sebesar 10 juta/ RT. Infonya, program tersebut dimaksudkan untuk pencapaian ketahanan pangan dan hewani. Menunggu pencairan dana atas proposal yang sudah diajukan, saya mulai mencari informasi mengenai anggaran, tujuan, dan manfaat program tersebut.

Sejak pandemi, pemangkasan dana desa cukup signifikan untuk dialihkan ke Bantuan Langsung Tunai sebesar 40% dari total anggaran. Kemudian 8% untuk mendukung kegiatan penanganan Covid-19, 32% untuk program prioritas hasil Musyawarah Desa, dan 20% untuk ketahanan pangan dan hewani. Fokus kebijakan dana desa untuk peningkatan ekonomi dan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Pagu Dana Desa tahun 2022 sebesar 68 triliun rupiah akan dialokasikan kepada 74.961 desa di 434 kabupaten/kota seluruh Indonesia. Secara keseluruhan, Dana Desa sudah memotong APBN sebesar 400,1 triliun rupiah sejak tahun 2015. Namun, besaran anggaran dana desa lebih terfokus pada pembangunan infrastruktur seperti jalan desa, irigasi, jembatan, pasar desa, drainase, sumur, dan lain sebagainya.

Belum ada tujuan terstruktur penggunaan dana desa untuk ketahanan pangan desa dan peningkatan kualitas SDM. Beberapa desa masih terlihat sama seperti sebelum adanya kebijakan dana desa. Bahkan ada indikasi distribusi anggaran dana desa dijadikan lahan basah para koruptor. Berdasarkan data ICW, sejak 2015 hingga 2020, terdapat 676 terdakwa kasus korupsi yang dilakukan perangkat desa dengan perkiraan kerugian mencapai total 111 miliar rupiah.

Dalam Pasal 11 PP No 60/2014, formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten cukup transparan, yakni dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Namun, pada PP No 22/2015 pasal 11, 90 persen anggaran dialokasikan merata ke semua desa. Sisanya, dibagikan menggunakan formula berdasarkan variabel jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.

Pemerintah masih berharap banyak kebijakan dana desa mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat dan negara. Evaluasi sering dilakukan untuk perbaikan formulasi perhitungan klaster alokasi dasar, percepatan proses penyaluran langsung dari RKUN ke RKDes, dan penguatan fokus dan prioritas program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat pandemi Covid-19. Semuanya merupakan bagian dari peningkatan kualitas taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa.


Baca Juga : Ilusi Negara Agraris

Budaya Masyarakat Desa

Desa bukanlah kumpulan masyarakat yang “berpendidikan”. Ada budaya erat gotong royong di lingkup tetangga tanpa ikut pusing memikirkan anggaran dan program pemerintah pusat maupun daerah. Mereka diberi bantuan pemerintah bersyukur, tidak pun sudah biasa. Masayarakat desa masih kurang kritis terkait program yang melibatkan hajat hidupnya.

Proses pemilihan kepala desa (kades) juga atas dasar pertimbangan kemasyarakatan (tokoh terpandang). Tidak ada debat terbuka mengenai program ketika akan dilakukan pemilu. Apalagi politik uang di desa sudah dianggap keniscayaan menjelang pencoblosan. Demokrasi yang usang masih membelenggu paradigma masyarakat desa untuk tumbuh secara moral dan pemikiran.

Dampaknya roduk yang dihasilkan atas pemilihan kepala desa tidak seberkualitas pemilihan bupati, gubernur, atau bahkan presiden. Kades dipilih bukan berlandaskan kapabilitas dan integritas sebagai seorang pemimpin. Ketika dana desa disalurkan, banyak aparatur desa yang kesulitan memanajemen anggaran hingga tersendatknya pembangunan infrastruktur dan SDM unggul. Bahkan beberapa di antaranya memanfaatkan untuk menumpuk kekayaan pribadi (korupsi).

Sistem demokrasi yang berbeda di tingkat desa dan di atasnya menjadikan permasalahan tersendatnya pembanguan desa. Berbeda dengan kelurahan yang status pemimpin (lurah) dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) dan ditunjuk langsung oleh bupati/ walikota, kepala desa merupakan tokoh non-ASN yang dipilih melalui pemilu. Tidak ada jaminan kualitas manajemen kepemimpinan dan anggaran.

Masyarakat pada akhirnya yang dirugikan sebab macetnya pencairan dana desa, ketidakefektifan pembangunan infrastruktur, dan kurang akuratnya pemerataan bantuan pemerintah. Fenomena seperti ini seharusnya dijadikan pertimbangan pemerintah menentukan kebijakan yang menguras kantong APBN. Mempercayakan desa mengelola anggaran secara mandiri, malah dijadikan lahan korupsi.

Namun demikian, program dana desa sedikit-banyak mampu menekan angka kemiskinan di Indonesia. Evaluasi selanjutnya tinggal bagaimana pemerintah mampu membimbing kades dengan memberikan sosialisasi untuk lebih bijak mengatur dana desa agar tepat sasaran. Isu yang beredar dari diskusi masyarakat, dana desa akan tiada seiring bergantinya kepemerintahan. Sehingga bantuan ketahanan pangan dan hewani yang dialokasikan tiap RT bisa dijadikan usaha mandiri warga jika nanti tidak ada lagi dana desa.

Namun ada yang lebih penting dari hanya pencapaian ketahanan pangan dan pembangunan infrastruktur, yakni peningkatan SDM. Pemerintah harus gencar memberikan arahan tentang pentingnya ruang literasi, pendidikan informal, dan kegiatan lain yang bisa dijadikan modal untuk menghadapi ancaman dunia digital. Menjadikan masyarakat yang melek internet, bijak memilah informasi, dan kreaktif menyusun ide untuk pembangunan desa di masa mendatang.