CATEGORIES

Showing posts with label politik. Show all posts

Molimo adalah ajaran sederhana Sunan Ampel untuk orang yang tidak mau melakukan lima perkara yang dilarang. Di antaranya adalah Emoh Main  (...


molimo calon presiden

Molimo
adalah ajaran sederhana Sunan Ampel untuk orang yang tidak mau melakukan lima perkara yang dilarang. Di antaranya adalah Emoh Main (tidak mau berjudi), Emoh Ngombe (tidak mau minum yang memabukkan), Emoh Madat (tidak mau mengonsumsi narkoba), Emoh Maling (tidak mau mencuri), dan Emoh Madon (tidak mau bermain wanita atau zina).

Ajaran tersebut sudah menjadi budaya bangsa, khususnya Jawa yang merupakan implementasi dari tujuan beragama. Tujuannya membentuk masyarakat yang berbudi luhur, bertata krama, dan berperilaku baik secara sosial dan spiritual. Molimo dijadikan prinsip hidup masyarakat untuk menjaga karakter dan moralitas personal dan komunal.

Sebagai bagian falsafah hidup, Komisi Pemilihan Umum (KPU) nantinya akan membuat peraturan mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden di Pemilu 2024. Para kandidat yang ingin maju dalam Pilpres 2024 mendatang tidak boleh memiliki riwayat melakukan tindakan tercela. Hal itu diatur dalam pasal 169 huruf j Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Aturan itu merinci bahwa maksud tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma asusila, dan norma adat seperti judi, mabuk, pecandu narkotika, dan zina (bunyi bagian penjelasan pasal 169 huruf j).

Hal tersebut menegaskan bahwa asas demokrasi pancasila masih menjadikan agama punya peran fundamental dalam dunia politik domestik. Unsur spiritualitas mempunyai dominasi terhadap pengambilan kebijakan dampak sensibilitas fanatisme keagamaan. Menepis anggapan sistem pemerintahan sekuler akibat narasi politik identitas.

Di luar prestasi akademik, pengalaman berpolitik, dan kapabilitas kepemimpinan, etika atau adab punya peran penting sebagai syarat menjadi calon presiden. Meskipun kebaikan bersifat subjektif, setidaknya molimo bisa dijadikan parameter menentukan kualitas pemimpin di masa mendatang.

Selain tidak melakukan tindakan tercela, tentu juga harus dibarengi dengan perilaku terpuji. Sementara dalam dunia politik, masyarakat lebih membutuhkan sikap tanggung jawab terhadap ucapan politikus (janji politik). Dalam rincian aturan KPU tidak merinci indikator kebaikan pemimpin dari kebiasaan tidak berdusta, menyebarkan fitnah, dan berlaku tidak adil.

 
Baca Juga : Jual-Beli Demokrasi

Ambiguitas Aturan

Aturan KPU pasal 169 huruf j Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu perlu kajian lebih mendalam. Pertama tentang relevansi etika dan kepemimpinan. Kedua tentang orientasi hukum dan agama. Terakhir tentang hermeneutika bahasa. Kejelasan aturan diharapkan tidak menghalangi setiap warga negara untuk punya hak yang sama mencalonkan presiden (di luar alasan politik praktis).

Politik di Indonesia masih dipandang sebagai praktik amoral. Perkara fungsi, tujuan, dan perilaku politik yang masih jauh dari konsep demokrasi keadilan. Sikap otoriter pemimpin setelah berkuasa menjadi indikator amoralnya kebijakan politik yang kerap diambil. Padahal esensi dari bermoral adalah memanusiakan manusia, sementara politik mebutakannya. Menjadi pertanyaan bagaimana relasi antara etika seseorang dengan konsep manajemen kepemimpinan politik.

Sedangkan dalam kacamata hukum, aturan tersebut membatasi hak setiap warga negara sebab tidak sulitnya mengetahui perkara belum dan tidaknya perilaku yang pernah dilakukan seseorang. Apakah aturan tersebut hanya diperuntukan untuk orang yang pernah ditangkap polisi karena pernah berjudi, mabuk, narkoba, mencuri, dan berzina?

Sementara dalam kacamata agama, aturan tersebut semakin menegaskan representasi dominasi Islam dalam urusan politik dan ketatanegaraan Indonesia. Meskipun molimo bisa dijadikan dalih sebagai parameter moralitas, implementasinya merupakan ajaran-ajaran agama Islam. Pengharaman alkohol tentu tidak diimani semua agama, begitu juga dengan konsep perzinahan.

Dari hermeneutika bahasa, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan lebih rinci seperti konsep mencuri, berjudi, mabuk, narkoba, dan zina. Bagaimana batasan tidak boleh mencuri? Seberharga apa sesuatu yang tidak boleh dicuri? Kapan mulai dan berhenti mencuri? Seberapa besar dampak dari pencurian yang dilakukan? Pertanyaan dasar sebagai pertimbangan bahwa hampir semua pasti pernah melakukan praktik pencurian.

Berjudi juga punya tafsir yang kompleks. Kalau belajar teologi Islam atau kajian filsafat, ditakdirkan hidup pun juga bagian dari perjudian. Tidak melulu tentang permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan. Kemudian muncul pertanyaan, apakah bermain trading dan investasi di bank juga bagian dari judi?

Mabuk dan narkoba pun demikian. Pelarangan bagi pelaku, pengedar, atau produsen? Lalu bagaimana parameternya? Apakah mencicipi alkohol juga sudah masuk kategori dilarang menjadi calon presiden? Atau misal minum alkohol tapi belum sempat mabuk masih bisa mendaftar sebagai calon presiden?

Terakhir adalah perzinahan. Dalam konsep agama Islam, zina punya beberapa jenis (1) Zina Al-Laman, yakni zina yang dilakukan dengan menggunakan panca indera. (2) Zina Muhsam, yakni zina yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah atau telah memiliki suami atau istri. (3) Zina Gairu Muhsan, yakni zina yang dilakukan oleh mereka yang belum sah atau belum pernah menikah. Zina yang apakah yang dimaksud dalam aturan KPU tersebut?

Ambiguitas aturan tersebut hendaknya dijelaskan lebih mendetail dan kontekstual agar sistem demokrasi bisa dijaga. Saya pun mengapresiasi aturan molimo sebagai syarat memilih pemimpin ketika melihat banyak pejabat yang banyak tersandung kasus korupsi. Moralitas harus ditegakan sebagai jalan mencari pemimpin yang bukan hanya unggul secara elektabilitas, tapi juga punya kapabilitas. Namun apakah molimo saja cukup dijadikan standar memilih pemimpin yang berkualitas?***

Badan Pusat Statistik (BPS) baru ini merilis data kemiskinan tingkat provinsi di Indonesia. Papua masih menduduki urutan pertama provinsi te...

kemiskinan dan ketidakmampuan

Badan Pusat Statistik (BPS) baru ini merilis data kemiskinan tingkat provinsi di Indonesia. Papua masih menduduki urutan pertama provinsi termiskin di Indonesia dengan presentase 27,38 persen. Disusul Papua Barat (21.82%) dan NTT (20,44%). Sementara di DKI Jakarta, jumlah penduduk miskin bertambah 3.750 orang dibandingkan September 2021 atau meningkat 4,69 persen dari total jumlah penduduk Jakarta.

Menjelang tahun politik, data kemiskinan dapat menjadi parameter kesuksesan pemimpin daerah maju atau lanjut menjadi pemimpin negara. Apalagi Anies Baswedan yang mempunyai elektabilitas cukup stabil selama menjabat menjadi Gubernur DKI Jakarta. Meskipun banyak yang tidak atau kurang paham mengenai kalkulasi kemiskinan absolut, realtif, kultural, hingga struktural, narasi politik di media sosial mempengaruhi elektabilitas tokoh yang kemudian dibandingkan dengan pencapaian tokoh politik pesaing.

Sebut saja Ganjar Pranowo yang berhasil membawa Jawa Tengah menurunkan angka kemiskinan sebesar 0,32 persen, dari sebelumnya 11,25 persen (September 2021), menjadi 10,93 persen (Maret 2022). Sementara presentase kemiskinan nasional mengalami penurunan sekitar 340 ribu orang dari posisi September 2021 lalu dan turun 1,38 juta orang jika dibandingkan Maret 2021 lalu.

Bank Dunia mendefinisikan Kemiskinan Absolut merupakan pendapatan yang diperoleh seseorang di bawah USD 1$ per hari (Rp 449.760 per bulan) dan Kemiskinan Menengah dengan pendapatan di bawah USD 2$ per hari (Rp 899.520 per bulan). Ada dua penyebab kemiskinan yakni kemiskinan alamiah akibat rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia, terbatasnya Sumber Daya Alam, rendahnya penggunaan teknologi, dan bencana alam.

Kedua terjadi sebab pejabat atau lembaga masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan fasilitas lain yang tersedia. Hal ini yang menjadi problematika ekonomi makro yang menilai keberhasilan pembangunan berdasarkan pencapaian pertumbuhan, bukan pemerataan. Ada urgensi nasional lain daripada pembagunan infarastruktur yang menggelontorkan banyak dana negara, semantara banyak warganya hidup di bawah garis kemiskinan.

 

Baca Juga : Keluarga Be(re)ncana

Tetap Miskin

Saya tergelitik dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang mengatakan bahwa generasi milenial semakin sulit memiliki rumah (tempat tinggal) karena kenaikan harga rumah yang tidak sebanding dengan pendapatan. Tarik ulur upah minimun selalu menjadi kajian alot antara perusahaan dan buruh yang difasilitasi oleh pemerintah. Nyatanya, kenaikan upah tidak sebanding dengan kenaikan kebutuhan bahan pokok.

Sebelum bermimpi memiliki rumah, masyarakat yang didominasi bekerja menjadi buruh perusahaan dipaksa bertahan hidup dengan upah secukupnya. Berdasarkan PP 36/2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Cipta Kerja, perhitungan upah minimun masih distandarkan komponen kebutuhan pangan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi, dan tabungan untuk mencapai Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang ditinjau setiap tahun mengikuti laju inflasi.

Perubahan budaya dan sosial masyarakat mempengaruhi iklim kerja masyarakat. Apalagi bencana pandemi Covid-19 yang menciptakan aktivitas dunia kerja baru melalui sistem teknologi digital. Banyak perusahaan yang terpaksa memecat pegawainya. Beberapa di antaranya rela dipotong gajinya asal masih bisa bekerja. Tidak ada lagi kesan simbiosis mutualisme selain pegawai yang butuh perusahaan. Sebaliknya perusahaan tidak begitu membutuhkan karyawan yang menuntut standar pendapatan sesuai kinerjanya sebab melihat banyaknya calon pegawai potensial baru yang rela digaji sesuai standar upah minimum daerah.

Sepeti yang digelisahkan Sri Mulyani, generasi milenial yang tidak didukung authorized capital dari orang tua atau keluarga (warisan) akan sulit memiliki rumah di masa mendatang. Apalagi nilai industri properti yang cepat meningkat dibandingkan upah pekerja (buruh). Jika ukuran kemiskinan disederhanakan dengan ketidakmampuan, maka mayoritas penduduk Indonesia yang bekerja sebagai buruh swasta masuk dalam kategori kemiskinan.

Padahal yang dihadapi generasi milenial bukan hanya perkara kemampuan membeli rumah. Mereka juga dihadapkan pada masalah finansial lain seperti, biaya perikahan, pembelian alat transportasi untuk bekerja, hingga gadget sebagai kebutuhan primer di era teknologi informasi. Belum lagi berbagai cita-cita lain seperti liburan keluarga, naik haji, hingga membantu finansial orang tua (keluarga).

Kemiskinan selalu menjadi masalah klasik pembangunan ekonomi. Apalagi tuntutan industri yang menghendaki iklim kapitalisme. Kekuatan modal akan berjaya, sementara masyarakat yang terbiasa hidup seadanya tetap akan kesulitan keluar dari zona kemiskinan dan ketidakmampuan. Tidak ada kesejahteraan selain usaha untuk bertahan hidup menunggu kematian dan keberuntungan pada generasi berikutnya (anak).***

Permainan politik sudah perlahan dimainkan dalam harmoni demokrasi. Panggung kampanye informal digelar di tengah lengangnya aturan ketat men...

konduktor politik


Permainan politik sudah perlahan dimainkan dalam harmoni demokrasi. Panggung kampanye informal digelar di tengah lengangnya aturan ketat mengenai pandemi yang membosankan. Tokoh-tokoh berpengaruh dibajak dengan mengibarkan atibut kepartaian.

Bahkan beberapa di antaranya sudah bergerilya menyuarakan nama calon presiden meski tanpa dukungan partai yang jelas. Politik domestik mengajari bahwa nyali adalah yang utama meskipun belum memiliki kejelasan perencanaan mengenai risiko presidential threshold, dukungan partai koalisi, anggaran kampanye, hingga analisis pesaing.

Namun itulah Indonesia yang suka euforia sebelum acara. Perkara tidak mendapat dukungan politik maka akan dengan senang hati menjadi pembantu calon presiden terpilih meski hanya ditawari pososi menteri atau kepala lembaga pemerintah. Tim sukses atau pendukung fanatik juga tidak ada perasaan malu sebab gagal memuluskan langkah idolanya maju menjadi calon presiden.

Di arena daring lebih ekstrem lagi. Berbagai isu kebijakan pemerintah pusat maupun daerah dengan mudah dinarasikan sebagai bentuk kejamnya politik demokrasi. Apapun kebijakan tokoh yang berpotensi menjadi lawan dalam kontestasi politik 2024 akan dihujat dan dipermasalahkan berdasarkan opini yang sarat kecacatan informasi.

Minimal narasi yang dibangun dari media sosial bisa menggiring masyarakat untuk semakin menebalkan keyakinan terhadap pilihan politiknya. Apalagi alogaritma media sosial yang mendukung perilaku kebencian terhadap seorang tokoh dengan rekomendasi konten yang serupa.

Semua tema sensitif diangkat ke permukaan untuk memanaskan keadaan politik. Beberapa di antaranya digunakan untuk memperoleh keuntungan finansial. Agama digunakan untuk menggiring suara rakyat di dalam arena politik. Keadilan dinisbatkan kepada kelompok mayoritas belaka. Bebas melakukan perilaku diskriminasi dan penindasan terhadap kelompok minoritas.

Pendidikan politik harus masif diajarkan kepada generasi milenial sebagai basis kantong suara di tahun politik 2024. Membentengi masyarakat dari doktrin sesat yang hanya bermodal ketidaksukaan atau kebencian sebab latar belakang agama, pakaian partai, atau afiliasi organisasi.

Generasi milenial harus cerdas menanggapi isu politik yang berorientasi menyebabkan perpecahan daripada usaha bekerjasama membangun peradaban bangsa. Politik identitas masih membekas dan akan menebal menjelang tahun politik 2024. Sementara budaya demokratis dan egaliter mulai ditinggalkan untuk menghalalkan segala cara memenangkan kontestasi politik.


Baca Juga : Trilema Jokowi

Konduktor Politik

Setidaknya sampai sejauh ini, popularitas Jokowi maih diakui oleh tokoh-tokoh politik nasional. Bahkan beberapa partai rela menghibahkan diri untuk “menjilat” kedigdayaan presiden asal Solo tersebut.

Meskipun sering dianggap boneka partai - PDI Perjuangan -, namun kualitas gaya komunikasi politik Jokowi perlu diapresiasi. Ia bisa membaur ke berbagai kalangan termasuk kepada mereka yang dianggap lawan politiknya. Terakhir dalam gelaran Formula E, Jokowi hadir membawa lanyard tanda pembelian tiket meskipun mendapat kartu undangan.

Karisma Jokowi tersebut yang sempat mengejutkan saat banyak yang mendukung pengubahan Undang-Undang memuluskan perpanjangan masa jabatan presiden atau kesediaan melakoni jabatan 3 periode. Meskipun Jokowi masih tegas menolak, iklim demokrasi saat ini menandakan betapa besarnya pengaruh Jokowi dalam kontestasi politik 2024.

Jokowi rupanya bukan boneka politik, melainkan konduktor politik. Punya kuasa memainkan ritme, irama, dan suasana politik. Bahkan beberapa ada yang menganggap presiden 2024 bergantung kepada restu Jokowi. Bahkan pengaruh PDI Perjuangan masih tidak sekuat Jokowi ketika bisa membawa mayoritas partai masuk dalam jajaran Kabinet Indonesia Maju.

Ketika Ganjar Pranowo yang kerap “berkampanye” melalui media sosial serta gerakan deklarasi calon presiden di berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah mulai banyak, PDI Perjuangan masih menimbang risiko politik atas keputusan pemilihan calon presiden. Apalagi PDI Perjuangan merupakan partai pemenang di dua pemilu tahun 2014 dan 2019.

Selanjutnya ada Erick Thohir yang dideklarasikan oleh Letho (Loyalis Erick Tohir) di Surabaya. Ada juga deklarasi dari Habiburokhman (wakil ketua umum Gerindra) untuk Prabowo Presiden 2024. Kemudian Sandiaga Uno yang dideklarasikan oleh Pemuda Bengkulu, Sedulur Sandi Uno Magelang, dan Sahabat Sandi Uno Garut. Terakhir adalah aksi Deklarasi Majelis Sang Presiden yang mendukung Anies Baswedan.

Apapun itu, Jokowi masih tetap menjadi magnet politik Indonesia. Sebab itu banyak yang masih mengkritisi hingga menghina presiden meskipun masa jabatannya akan segera berakhir. Dampak dukungan dari Jokowi akan memudahkan calon presiden menduduki RI 1 di tahun 2024.

Politik 2024 Jokowi bukan lagi menjadi aktor, melainkan akan duduk sebagai sutradara yang bisa memainkan drama, menciptakan konflik, menyusun alur sesuai keinginannya. Ia akan menjadi konduktor yang diikuti banyak tokoh politik.***

  Jokowi dikenal sebagai presiden yang paling doyan reshuffle kabinet. Terakhir pengangkatan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkif...

 

Politik Gonta-Ganti

Jokowi dikenal sebagai presiden yang paling doyan reshuffle kabinet. Terakhir pengangkatan ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan yang diberikan jabatan sebagai Menteri Perdagangan (Mendag). Selain juga Marsekal (Purn) TNI Hadi Tjahjanto sebagai Menteri ATR/BPN. Posisi wakil menteri juga mendudukan Wakil Menteri Dalam Negeri John Wempi Watipo, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor, dan Wakil Menteri ATR/BPN Raja Juli Antoni.

Tercatat sudah tujuh kali Jokowi melakukan bongkar pasang kabinet sejak pertama ia menjabat sebagai presiden. Alasannya tentu untuk memaksimalkan sistem dan program kerja yang sesuai target kabinet. Meskipun pada akhirnya, banyak dikritik lantaran diangkatnya para politisi untuk duduk nyaman di kursi kabinet.

Pemilihan Zulkifli Hasan sebagai Mendag banyak memicu polemik di masyarakat. Mendag merupakan jabatan strategis untuk memulihkan dan membangkitkan ekonomi masyarakat dan negara. Namun Jokowi malah memilih untuk melantik politisi daripada mencari kalangan profesional. Mengingat proses pemilu 2024 segera dimulai, agaknya motif politis atas penunjukan Zulkifli Hasan patut dianalisis. Apalagi PAN selama ini cenderung bersikap sebagai opisisi di pemerintahan.

Persepsi di masyarakat menciptakan keraguan akan kegagapan Jokowi menyusun kabinet hingga harus melakukan beberapa kali reshuffle kabinet. Apalagi kampanye periode pertama menjabat masih teringat tentang independensi Jokowi memilih pembantu dari kalangan profesional. Sekarang Jokowi malah terbelenggu dengan tekanan politik dari berbagai partai di jajaran Kabinet Indonesia Maju.

Dampak positifnya mungkin akan tercipta kestabilan politik jelang konstentasi 2024. Jokowi akan bertindak sebagai masinis yang bertugas mengendalikan arah kereta api beserta semua gerbang di belakangnya. Mengurangi intensitas konflik akibat politik identitas di 10 tahun terakhir.

Namun dampak negatifnya adalah pertaruhan masa depan bangsa akibat dipimpin oleh mereka yang bukan dari kalangan profesional atau dalam bahasa lain tidak memiliki kompetensi sesuai bidang yang ditugaskan. Dampaknya terhadap negara adalah merosotnya kesejahteraan masyarakat, kesenjangan keadilan, dan pertaruhan jaminan masa depan bangsa.

Skenario politik Jokowi adalah memberikan kesan ketegasan demi kepentingan bangsa. Sedangkan di dalam proses reshuffle kabinet diindikasikan memuat kompromi politik busuk (rotten compromise). Di sisi lain, Jokowi berambisi menjadi pemimpin yang otoriter dengan kemampuan mengendalikan semua elit politik partai demi memuluskan ambisi kebijakannya.

 
Baca Juga : Ganjaran bagi Ganjar

Revisi Kebijakan

Selain reshuffle kabinet, Jokowi juga dikenal sebagai “pahlawan rakyat” berkat kejeniusannya membatalkan sebuah kebijakan yang sekiranya tidak prorakyat. Kasus terbaru adalah pembatalan kebijakan kenaikan tarif masuk Candi Borobudur yang mencapai Rp750.000 bagi wisatawan domestik.

Sebelumnya, rencana kenaikan tiket masuk Candi Borobudur disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Hargat tiket untuk turis lokal dipatok Rp750.000 dan mancanegara US$ 100. Akibat kritik masal warganet di media sosial, akhirnya Jokowi menjadi sosok pembela rakyat dengan keputusan membatalkan kebijakan tersebut.

Sebelumnya juga sering terjadi pembatalan kebijakan yang dilakukan oleh para menterinya sendiri seperti Permenaker Jaminan Hari Tua (JHT), penerapan Full Day School, larangan Transportasi Online, Pembatalan kenaikan Harga Premium, dan mencabut surat imbauan menyayikan Lagu Indonesia Raya di bioskop.

Pembatalan kebijakan yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat luas tentu membuahkan apresiasi dari berbagai kalangan. Jokowi kembali menjadi sang juru selamat ketika muncul kebijakan “ngawur” dari para pembantunya. Di sisi lain, ada sentimen negatif bahwa menteri dan presiden tidak melakukan komunikasi yang baik perihal penentuan kebijakan.

Seolah kebijakan yang menimbulkan polemik diatur secara politis untuk mengangkat citra Jokowi yang selalu dipihak rakyat. Menteri dibiarkan bebas berkreasi menentukan kebijakan tanpa mempertimbangkan risiko terhadap kemaslahatan rakyat. Blunder kebijakan dianggap kewajaran sebagai bumbu demokrasi yang melibatkan interaksi rakyat dan pemerintah.

Politik adalah siasat mengelabuhi rakyat. Jurgen Habermas dalam buku klasiknya, Theory of Communicative Action (1988) menyatakan bahwa membangun demokrasi partisipatoris memerlukan kemampuan komunikasi politik yang kuat. Konteks ideal yang dibayangkan adalah terjadinya dialog antara pembicara dan penutur secara intensif, terbuka, dan setara.

Namun komunikasi politik Indonesia dilakukan sekedar menguatkan basis koalisi dan kekuasaan. Sementara komunikasi politik mengenai kebijakan dibiarkan mengambang menunggu respon masyarakat. Kemudian tokoh utama (Jokowi) muncul sebagai figur yang diidolakan untuk menyelamatkan rakyat.

Sehingga untuk memahami situasi politik domestik dibutuhkan uji kejelasan arti, kesungguhan maksud, dan kebenaran faktual. Namun keterampilan Jokowi dalam bertindak dan bertutur secara signifikan meminimalisasi konflik dalam pembangunan demokrasi. Mengurangi ruang dialog politik untuk tujuan pencitraan yang ideal sebagai pemimpin bangsa.***

 

  Sudah zaman iPhone 13, tetangga sebelah masih saja pakai radio. Alasannya nostalgia kebiasaan sebelum dijajah teknologi super cepat, selai...

 

suara radio

Sudah zaman iPhone 13, tetangga sebelah masih saja pakai radio. Alasannya nostalgia kebiasaan sebelum dijajah teknologi super cepat, selain lebih irit pengeluaran (kuota internet). Meskipun radio tidak bisa menghendaki selera musik pemiliknya, suara seraknya kadang membuat nyaman untuk sejenak berbaring melepas penat.

Radio-radio tetanggaku masih bersih terawat dengan antena menjulang ke langit-langit harapan. Radio tetaplah radio yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah untuk beralih ke digital. Kepemilikan radio dinilai bagian dari masyarakat ekonomi lemah yang hanya bisa menikmati audio tanpa visual, seperti televisi. Sedangkan perubahan selera hiburan saat ini sudah kembali menikmati fitur audio tanpa visual seperti podcast.

Podcast atau radio kekinian merupakan hiburan sederhana saat berkendaraan di jalanan yang macet, suara pengantar tidur, dan pelatihan imajinasi pendengar dari suara penyiar. Imajinasi tersebut di mana pendengar bisa menghayal sedemikian rupa tentang tokoh, cerita, dan pesan yang mungkin disampaikan. Tidak dengan tontonan audio visual yang bisa memalaskan seseorang untuk berimajinasi.

Namun kanal radio kian menipis seiring kurangnya diminati pendengar milenial. Kanal radio banyak yang gulung tikar dan memilih menggunakan medium lain agar lebih dijangkau oleh semua orang. Penyiar radio mulai beralih profesi menjadi pranatacara, YouTuber, dan pekerjaan serabutan lainnya. Radio saat ini paling hanya dinikmati bapak-bapak paruh baya yang gagal dan putus asa beradaptasi dengan perkembangan teknologi.

Padahal sekitar 20 tahun yang lalu, radio merupakan sarana ideal menyampaikan pesan dan meminta lagu paling populer. Penyiar radio menjadi profesi yang menarik untuk mengangkat popularitas dan kemapanan pendapatan. Bahkan banyak bermunculan kanal radio ilegal untuk sekedar eksis mengudara. Tidak dengan sekarang.

Radio sudah menjadi barang rongsokan di gudang, kecuali tetanggaku itu. Sepanjang hari tidak pernah mematikan radio yang ditaruh di meja teras rumah. Kadang suaranya dikencangkan pas ketemu lagu tembang Jawa favorit. Sesekali ikut berdendang mengikuti irama gamelan. Tidak peduli dengan omongan tetangga, asalkan suasana hati riang gembira. Penikmat radio punya alam sendiri untuk menghilangkan stres, kelelahan, dan kejenuhan menjalani hidup.

 
Baca Juga : Media Dakwah Digital

Sarana Berkampanye

Saat ditinggal keluar rumah, suara radio tetangga tetap stabil pada volume yang menganggu jam istirahat siang warga sekitar. Apalagi kanal yang diputar tidak lagi tembang-tembang klasik. Radio malah dijadikan sarana berkampanye politikus-politikus kurang terkenal. Paling realistis karena kurang dana untuk kampanye di monitor televisi atau diundang artis YouTube untuk mengangkat popularitas.

Mau pasang baliho juga sudah dipenuhi sama puan negara. Radio media paling efektif, efisien, dan murah untuk menyosialisasikan program dan janji-janji palsu. Meskipun pendengarnya relatif sedikit. Setidaknya bisa menyasar generasi tua yang malas mencari informasi ketokohan calon pejabat. Itulah alasan warga kurang begitu nyaman dengan suara sumbang radio tetangga.

“Kecilkan suara radiomu!” pinta salah seorang di depan gerbang tetangga itu. Tentu tidak ada jawaban. Sekeluarga sedang pergi healing entah ke mana. Ya begitulah, menciptakan masalah lalu ditinggal pergi. Bebas melakukan apapun, sedangkan yang lainnya melakukan sesuatu buru-buru dibungkam. Ah, tetanggaku sepertinya tidak sediktator itu.

Meskipun suaranya lantang, radio tetangga kadang juga enak dinikmati. Perkara kanal yang diputar tidak sesuai selera itu relatif. Harus toleransi: memaklumi. Suara radio yang dianggap menggangu akan berhenti kalau pemilik radionya sudah lengser (meninggal). Radio bisa menjadi simbol penyampaian pesan untuk mencoba menikmati sesuatu yang tidak diingini.

Radio tetaplah menjadi radio. Media hiburan rakyat miskin yang jauh dari keadilan sosial. Media hiburan menunggu kematian sebab tidak mampu membeli sembako yang kian malah. Jangan radio dikontaminasi dengan sumpah serapah politikus. Radio tidak boleh malantangkan suara mereka di desa-desa. “Tapi kita hidup di negara demokrasi. Kebebasan.”

Kebebasan bagi yang berkuasa dan bermodal. Ketertindasan bagi masyarakat yang mengemis bantuan sosial. Kalau memang sumua media sudah dijadikan sarana berkampanye, tolong kecilkan suara radiomu! Masih banyak mayarakat yang ingin hidup tenang dan bahagia. Semua hiburan boleh diambil politikus, namun tidak dengan hati nurani kami. Tanpa negara dan pemerintah pun, kami bisa hidup rukun: saling asah, saling asih, dan saling asuh.

  Di tengah invansi Rusia ke Ukraina, isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode menjadi tajuk pemberitaan ...

 

rusia-ukraina

Di tengah invansi Rusia ke Ukraina, isu penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode menjadi tajuk pemberitaan beberapa hari ke belakang. Ketika dunia sedang khawatir menghadapi ancaman perang dunia ketiga, politik domestik sibuk mengotak-atik undang-undang melenggangkan Jokowi kembali menjadi presiden.

Euforia reformasi ‘98 belum diimplementasikan oleh pemerintah dengan baik selain mereduksi demokrasi dan menggantinya dengan sistem oligarki. Nasib masa depan bangsa ada di tangan pimpinan partai politik dan pejabat elite yang saat ini berkuasa. Penolakan penambahan masa jabatan oleh Jokowi dianggap basa-basi melindungi konstitusi ketika kekuatan koalisi partai aktif menjilat kekuasaan.

Sedangkan di dunia sedang riuh memperdebatkan invansi Rusia ke Ukraina. Rusia menjadi sasaran kekuatan dunia yang disutradarai Amerika Serikat untuk mencekal seluruh aktivitas yang mengatasnamakan Rusia. FIFA dan UEFA memboikot Rusia dalam semua ajang turnamen sepakbola, perdagangan ekonomi dihentikan di beberapa negara, hingga penjegalan pasokan militer ke Rusia.

Di Indonesia, beragam pendapat muncul menanggapi invansi Rusia yang sudah menewaskan 752 warga sipil Ukraina per 2 maret 2022 (sumber: United Nations). Beberapa ada yang membandingkan sikap NATO terhadap invansi Israel ke Palestina. Siasat menyebar hoaks presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy yang dulunya seorang pelawak. Ada juga faktor keterlibatan Amerika Serikat yang sejak kasus Edward Snowden (2013) masih menimbulkan ketegangan di antara kedua negara super power tersebut.

Perang di Ukraina merupakan fragmen kecil dari konspirasi besar elite global. Menunjukan eksistensi dan kedigdayaan untuk menguasai dunia. Menciptakan sistem teknologi digital untuk mengatur masyarakat dunia agar tunduk pada kekuatan kapitalis. Menghancurkan masa depan masyarakat yang sudah bergantung pada “perangkap” konglomerat global. Oligarki tidak lagi membatasi sistem ketatanegaraan ketika dunia metaverse sudah di depan mata.

Rusia yang juga didukung China sebagai negara adidaya menentang keangkuhan Amerika Serikat dan sekutunya. Kemudian menjadikan Ukraina sebagai tumbal kebencian global dengan menciptakan narasi negatif di media massa terhadap Rusia. Provokasi negara lain dan retorika presiden Ukraina yang kemudian menjadikan perang akhirnya nyata terjadi.


Baca Juga: Me-Timur Tengahkan Indonesia

Representasi Presiden Milenial

Mengabaikan strategi politikus untuk menunda pemilu dan mengusulkan penambahan masa jabatan presiden, pemilihan presiden tahun 2024 menjadi representasi pilihan dominan masyarakat milenial. Melihat kasus perang di Ukraina, mayoritas warganet Indonesia malah berada di pihak Vladimir Putin. Dalam pandangan publik, popularitas Putin meningkat meskipun narasi tokoh antagonis diangkat terus-menurus di media barat.

Kejadian ini menandakan adanya perubahan pola selera pilpres tahun 2024 yang meninginkan presiden dengan karakter yang kuat, memahami peta geopolitik, dan punya latar belakang militer. Indonesia diramalkan akan kembali pada era presiden Ir. Soekarno yang mampun menjadi pemimpin di belahan dunia wilayah selatan. Pilpres tahun 2024 akan dipengaruhi bayang-bayang Putin dalam insepsi karakter calon presiden idaman masyarakat milenial.

Dalam peta politik dalam negeri, elektabilitas Jokowi juga kerap menjadi pertanyaan meski masih mendapat dukungan tertinggi (20,8%) dalam survei Indikator Politik yang dilakukan pada 6-11 Desember 2021. Banyak simpatisan Jokowi menyesalkan beberapa kebijakan pemerintah dari UU Cipta Kerja, UU KPK, hingga praktek “nepotisme”.

Sosok Putin akan menjadi magnet pilihan presiden berikutnya. Masyarakat tidak lagi membutuhkan presiden yang merakyat dan penuh retorika. Masyarakat membutuhkan presiden yang tegas dan berani melawan oligarki dan kapitalis global. Putin memberikan contoh ketegasan pemimpin dalam menghadapi penjajahan modern melalui sistem dan kecanggihan teknologi.

Meskipun berisiko terjadi krisis akibat sanksi ekonomi dan keuangan dari Amerika Serikat dan sekutu NATO di Eropa, manuver Putin membuka mata dunia tentang kongsi negara sekutu untuk menguasai dunia. Ketika media mengangkat isu Ukraina beridiri sendiri menghadapi invansi Rusia, saat ini Rusia malah berada di posisi sebaliknya.

Masyarakat butuh pemimpin yang mendunia, bukan hanya populer di negaranya sendiri. Jokowi memang punya kapabilitas komunikasi politik dan jeli menentukan kebijakan yang strategis. Namun belum cukup menujukan sikap kepemimpinan di mata dunia. Jokowi masih terlalu “mengemis” investasi terhadap asing dan gamang ketika ada indikasi pencekalan dari luar negeri.

Jokowi terlalu berfokus pada kepentingan ekonomi (pemulihan ekonomi pascapandemi) dan investasi, namun tidak dengan kematangan kepemimpin seputar politik global. Buktinya sikap ragu-ragu pemerintah antara asas politik bebas aktif dan kepatuhan terhadap hukum internasional. Indonesia tidak punya kekuatan di mata dunia seperti Rusia di bawah komando Vladimir Putin.

Apapun yang terjadi di tahun 2024, manuver Putin menjadikannya opsi pilihan karakter kepemimpinan di Indonesia berikutnya. Presiden yang membawa negaranya disegani dan berani melawan dengan risiko mengorbankan ekonomi, militer, olahraga, dan lain sebagainya. Selanjutnya, siapakah “Putin” pada pilihan presiden tahun 2024?

 

Pernah dimuat Suara Jelata

https://suarajelata.com/2022/03/22/opini-perang-ukraina-dan-pilpres-2024/ 

  Tidak semua yang setuju kebijakan pemerintah adalah cebong dan tidak semua kritikus pemerintah adalah kadrun. Kalimat tersebut setidaknya ...

 

kritik-oposisi

Tidak semua yang setuju kebijakan pemerintah adalah cebong dan tidak semua kritikus pemerintah adalah kadrun. Kalimat tersebut setidaknya menjadi pedoman masyarakat Indonesia bahwa akal sehat dan jiwa yang bijaksana adalah bagaimana melihat sebuah persoalan secara objektif. Mengurangi sikap fanatisme politik. Paling tidak menjadi manusia yang berdikari dengan menerima dan menolak kedua tuduhan.

Aktivitas mengkritisi pemerintah tentu lebih menarik untuk dijadikan tajuk berita di media massa. Kekuasaan pemerintah mempunyai sifat absolut yang harus diikuti dengan konsistensi kritik dari oposisi dan pengamat kebijakan. Di dalam politik, kritik sifatnya permanen. Tujuan mengkritisi kebijakan agar pemerintah bisa mempertimbangkan keputusan terbaik, meskipun tanpa diimbangi dengan solusi.

Jadi pengkritik pun harus punya kecerdasan dan kebijaksanaan agar tidak terjebak pada narasi hoaks dan caci maki yang tidak berdasarkan fakta. Diperlukan kritik yang konstruktif dengan tetap mempertimbangkan batasan hukum negara. Pemerintah (yang dikritik) pun harus berkenan mendengar, bukan menghindar. Apalagi sampai melakukan tindak pembungkaman pendapat (suara) yang seharusnya menjadi hak warga negara yang dilindungi konstitusi.

Kritik juga harus disandarkan etika menyampaikan pendapat di muka umum. Sehingga berbagai bentuk kritik bisa dipertanggungjawabkan. Kebebasan berpendapat (kritik) dan tanggung jawab adalah kondisi dasar pengambilan keputusan dan tindakan yang etis. Kritik adalah reaksi dari aksi yang dilakukan penguasa. Jika kebijakan yang baik adalah tanggung jawabnya, jika dianggap buruk patut untuk dikritisi.

Ketika kebabasan dijadikan alasan berekspresi di negara demokrasi, kritik tak beretika sering muncul di berbagai platform digital dan ruang publik lainnya. Menyampaikan aspirasi dengan lancang dan jauh dari nilai luhur budaya bangsa. Ketidakterimaan terhadap kekalahan, kekecewaan pada keadilan, dan kesewenang-wenang memutuskan kebijakan adalah beberapa faktor kritik menjadi kebiasaan di masyarakat.

Kritik mungkin akan menurun drastis ketika kesejahteraan rakyat, ketimpangan sosial, dan keadilan di hadapan hukum bisa diselesaikan pemerintah. Belum lagi ekspektasi terhadap janji yang diingkari menambah keraguan rakyat terhadap integritas penguasa. Kegagalan meyakinkan masyarakat tentang kebijakan yang menguntungkan semua pihak menjadi potensi kritik terus berkembang bukan hanya dari pihak opisisi, melainkan masyarakat secara luas.

 

Baca Juga : Jual-Beli Demokrasi

Kritikan Dungu

Ada beberapa kritik yang tidak sesuai konteks. Ketika banyak orang mulai melakukan kritik konstruktif, beberapa yang lainnya melakukan kritikan dungu atau malah terkesan menghina individu. Sehingga kritikan tidak lagi menyasar program, tapi lebih kepada faktor kebencian yang mengakar. Kritik tidak dilandaskan pada literatur yang memadai dan tidak juga menguasai bidang yang dikritisinya. Cenderung ngawur.

Kedunguan kritukus berikutnya adalah memaksakan kehendak keinginan secara mutlak. Tidak melihat berbagai sudut pandang baik dan buruk. Memaklumi risiko setiap kebijakan yang diambil. Bahkan ada juga yang memaksakan pengubahan sistem kepemrintahan dan landasan bernegara sesuai agama tertentu, sedangkan Indonesia merupakan negara plural yang menampung beberapa agama dan keyakinan.

Saat ini, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menasbihkan diri sebagai penantang koalisi kabinet Indonesia Maju. Selebihnya menjadi partai sekutu pemerintahan dan lainnya menjadi sedikit idealis dengan mendeklarasikan sebagai partai moderat.

Harapan Jokowi mengenai konsep demokrasi gotong royong yang tidak mengenal oposisi perlu mendapat kritikan. Oposisi masih sangat penting dibutuhkan menghindari kekuasaan yang egaliter, diktator, dan otoriter. Oposisi diperlukan dalam demokrasi yang memerlukan fungsi check and balances. Kurangnya koalisi opisisi menurunkan kualitas demokrasi yang sehat. Politik hanya akan dimaknai sebagai kendaraan bagi-bagi kekuasaan.

Namun kehadiran oposisi bukan lantas dijadikan ajang pencitraan mengatasnamakan rakyat. Keberanian PKS tidak terlibat iming-iming koalisi pemerintah tidak lantas menjadi keuntungan pemilu selanjutnya. Kritikus yang cerdas tidak akan memilih partai pendukung dan oposisi tanpa pertimbangan konsekuensi kebijakan. Bahkan ada beberapa kritik pertai oposisi yang terkesan ngawur sebab merasa berada di pihak yang wajib mengkritisi setiap kebijakan.

Berani menjadi oposisi harus cerdas dan bijak menganalisis setiap kebijakan. Tidak sembrono mengkritik tanpa data dan fakta yang jelas. Apalagi agama yang dijadikan narasi berpolitik di negara yang plural. Citra partai dinilai dari kualitas kritik tokoh politiknya. Salah metode akan menjatuhkan kredibilitas partai. Kritikan yang cerdas dan bertetika akan didengarkan baik oleh penguasa dan masyarakat secara umum, kritikan dungu hanya akan menjadi beban pemerintah dan rakyat yang dijadikan tumbal pencitraan.

Era teknologi dan informasi seharusnya lebih gampang menemukan kritikus yang berkualitas daripada kritikus dungu yang hanya bermodal cacian dan umpatan tanpa pemahaman yang cukup. Rendah literasi adalah faktor utama kedunguan kritikus, kebencian politik adalah ciri kedunguan oposisi. Di negara demokrasi, kritikan juga berlaku bagi tukang kritik dan kelompok oposisi.

  Wadas kembali membara. Itulah tajuk pemberitaan minggu ini. Pro dan kontra mewarnai diskusi dan perdebatan di media sosial. Politisi, agam...

 

politik-kerakyatan-wadas

Wadas kembali membara. Itulah tajuk pemberitaan minggu ini. Pro dan kontra mewarnai diskusi dan perdebatan di media sosial. Politisi, agamawan, hingga berbagai organisasi menyampaikan suara (pendapat) mereka menanggapi kasus pertambangan di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Meskipun konflik pembangunan sudah ada sejak 2013, penangkapan 40 warga baru-baru ini oleh aparat kepolisian secara represif menimbulkan kegaduhan di media massa.

Demo virtual kencang disuarakan tokoh dan masyarakat pemerhati HAM, lingkungan, dan kerakyatan. Pemerintah telah gagal menegoisasikan proyek pembangunan yang ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Sebab sejatinya pembangunan Bendungan Bener digunakan sebagai penyuplai air untuk lahan sawah sebesar 13.589 Ha daerah irigasi eksisting dan 1.110 Ha daerah irigasi baru. Bendungan Bener juga difungsikan menjadi sumber air baku untuk masyarakat sekitar 1.500 liter/detik dan bermanfaat untuk pembangkit listrik sekitar 6 Mega Watt.

Di sisi lain, penambangan akan menghilangkan mata pencaharian sebagian besar warga Desa Wadas. Selain itu juga akan merusak lingkungan yang dinilai jauh dari kajian analisis dampak lingkungan (AMDAL). Suasana semakin panas ketika berbagai Lembaga Bantuan Hukum (LBH) turun ke lapangan bersama para aktivis.

Bendungan Bener ditargetkan mulai beroperasi 2023 sebagai pemenuhan nawacita Jokowi sebelum lengser dari kursi kepresidenan. Jokowi ingin membangun 57 bendungan sebelum mengakhiri masa jabatan presiden, salah satunya adalah Bendungan Bener. Namun dari kesemuanya, proyek di Desa Wadas sepertinya menjadi paling sulit untuk segera direalisasikan.

Pemilihan lokasi di Wadas yang menimbulkan penolakan tidak lepas dari potensi daerah tanaman budidaya petai, kayu sengon, cabai, kemukus, vanili, dan durian. Selain itu juga ada keragaman fauna seperti burung kleci, kutilang, madu kelapa, tekukur, pipt, bondol haji, trocokan, blekok sawah, prenjak jawa, prenjak sisi merah, walet sapi, cekak gunung, dan elang. Harta karun lainnya tentu adalah kekayaan batuan andesit.

Simpang siur data dan narasi pro kontra pembangunan Bendungan Bener membuat konfrontasi di masyarakat umum. Perseteruan yang terlihat adalah pemerintah dan aparat melawan rakyat. Perang politik kekuasaan dan politik kerakyatan yang meluas ke berbagai bidang. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah semakin kentara seiring tidak hormatnya rakyat terhadap perilaku represif aparat.

 

Baca Juga : Dialog, Solusi Persatuan Indonesia

Keadilan Rakyat

Politik tidak melulu tentang kekuasaan. Ada pondasi besar menyokong tegaknya politik demokrasi, yakni rakyat. Politik kerakyatan perlu kembali disuarakan yang bersentuhan langsung dengan hajat hidup rakyat di tingkat basis seperti masalah kemiskinan, pengangguran, rendahnya kualitas pendidikan, konsep pemerataan keadilan hukum, dan kesenjangan sosial.

Rakyat harus punya sikap tegas melawan segala bentuk kediktoran penguasa. Negara tidak boleh dimiliki sekumpulan elit politik atau korporasi tertentu yang bisa menggeser cita-cita demokrasi menjadi sistem kapitalisme. Konflik Desa Wadas menunjukan bahwa nurani rakyat terketuk untuk melawan sikap tidak semena-mena pemerintah mengimplementasikan program yang dianggap merugikan rakyat.

Banyak aspek yang harus dipertimbangkan sebelum menyusun program meskipun niat awalnya juga untuk rakyat. Menjelang akhir jabatan, kepemimpinan Jokowi malah menunjukan sikap radikal terhadap rakyat. Berbanding terbalik sebagai sosok yang dicitrakan merakyat dan persuasif menyelesaikan sebuah masalah. Dalam video dan narasi media soal penangkapan warga menunjukan betapa tidak beretikanya aparat memperlakukan rakyat yang berusaha melindungi tempat tinggalnya.

Pemerintah mulai mengabaikan amanat konstitusi mengenai konsep keadilan. Keadilan merupakan suatu tuntutan dari setiap orang agar tidak memperlakukan orang lain secara sewenang-wenang, tidak memihak. Setiap tindakan harus berdasarkan norma-norma yang objektif. Memperlakukan sesama sesuai hak dan kewajiban sebagai pondasi tata hidup bersama dalam relasi sosial. Keadilan harus mencapai harmonisasi, kesetaraan, proporsional, yang berkaitan dengan orang banyak.

Kasus Desa Wadas menujukan bahwa aspek keadilan mulai dikesampingkan dengan dominasi kekuasaan. Memaksakan kehendak untuk kepentingan kelompok tertentu. Mengorbankan kepentingan rakyat yang dianggap lemah. Rakyat hanya dijadikan objek eksploitasi kekuasaan. Suara rakyat di media sosial hanyalah “bising knalpot” yang tidak dijadikan pertimbangan pemerintah membatalkan program Bendungan Bener.

Politik kerakyatan tidak pernah mendapat tempat di parlemen dan istana dalam pengambilan kebijakan. Rakyat hanya dibebani pajak dan penindasan politik kekuasaan. Desa Wadas adalah fragmen kecil dari sikap anarkisme kebijakan pemerintah untuk melanggengkan kekuasaan dan mengabaikan etika politik, khusunya politik kerakyatan.

Mustahil mencapai keadilan jika aparat penegak hukum berlindung di balik penguasa. Ditujukan sebagai pengayom masyarakat, aparat malah melakukan “tindak kriminal” dengan dalih manyingkirkan provokator. Pertanyaan selanjutnya, apakah aparat digunakan hanya untuk mengayomi rakyat yang pro dengan pemerintah? Lantas di mana konsep keadilan?!

 

Pernah dimuat Mata Telinga

  Alasan fundamental masyarakat pedesaan hijrah ke Jakarta untuk mencari peruntungan. Sebab di sana imajinasi terbaik meraih kesuksesan, pop...

 

ibu-kota-nusantara

Alasan fundamental masyarakat pedesaan hijrah ke Jakarta untuk mencari peruntungan. Sebab di sana imajinasi terbaik meraih kesuksesan, popularitas, dan kesejahteraan. Iming-iming upah buruh yang lebih besar dari rata-rata upah di kabupaten/ kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur, masyarakat berbondong migrasi ke Jakarta dengan bekal tekad dan nekat.

Berdasarkan hasil Sensus 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa. Meningkat sebesar 954 ribu jiwa dari sensus terakhir 10 tahun yang lalu, atau 88 ribu jiwa per tahun. Dengan luas 662,33 kilometer persegi, kepadatan penduduk ibu kota pada 2020 mencapai 14.555 jiwa per kilometer persegi, sedangkan pada 2010 sebesar 14.506 jiwa per kilometer persegi. Kepadatan penduduk di DKI Jakarta setara dengan 103 kali lipat kepadatan penduduk Indonesia.

Patut dimaklumi, mengingat Jakarta merupakan pusat ekonomi dan bisnis nasional. Perusahaan besar dan instansi pemerintahan berkantor di Jakarta yang memaksa penambahan jumlah karyawan bermukim di sana. Belum lagi even nasional dan internasional yang menjadikan Jakarta sebagai venue acara. Sampai saat ini, Jakarta masih menjadi barometer kota metropolitan Indonesia.

Fakta tersebut yang menjadikan isu politik Jakarta selalu memanas. Cikal bakal menguatnya politik identitas juga dimulai dari pilihan kepala daerah DKI Jakarta. Memimpin Jakarta sudah pasti mengangkat popularitas, elektabilitas, dan integritas tokoh. Setiap kebijakan yang diambil akan lebih mendapat atensi masyarakat, bahkan yang bukan berpenduduk DKI Jakarta.

Sebagai pusat ibu kota negara, Jakarta menjadi iminig-iming investasi asing. Citra maju dan tidaknya negara dinilai dari kemajuan ibu kota. Tekanan politik dan kekuatan kapitalisme sering menjadi pertimbangan pemimpin DKI Jakarta mengambil kebijakan yang populer. Menariknya, semas pandemi Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta mencatat tingkat kemiskinan di Ibukota sebesar 498,29 ribu orang (4.67%) pada periode September 2021. Angka tersebut mengalami penurunan sebesar 3,63 ribu orang (0,05%) dari periode Maret 2021.

Indikator data penurunan kemiskinan di Jakarta padahal sedang krisis pandemi sedikit-banyak mengangkat citra Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta) menjadi pesaing kuat calon presiden 2024. Jakarta tetap memiliki daya pikat politik dan ekonomi, setidaknya selama masih dijadikan ibu kota negara.

 

Baca Juga : Partai Keadilan Indonesia

Polemik Ibu Kota Nusantara

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi partai di DPR yang menolak Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) untuk dibawa dalam pengambilan keputusan tingkat II di rapat paripurna. Alasannya rencana pemindahan ibu kota negara tidak terdapat dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional (RPJPN) 2005-2025. Nusantara diambil sebagai nama sah ibu kota baru negara Indonesia.

PKS khawatir pemindahan ibu kota negara menyebabkan terputusnya ikatan kolektif bangsa dari rantai sejarah perjuangan bangsa. Selain itu, materi muatan yang terdapat di RUU IKN dianggap masih mengandung permasalahan konstitusionalitas. PKS juga menyoroti pemindahan IKN perlu mempertimbangkan pendanaan yang memperhatikan kemampuan fiskal di masa pemulihan ekonomi pascapanedmi.

Sedangkan alasan pemindahan IKN adalah (1) mengurangi beban Jakarta dan Jabotabek, (2) mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur, (3) mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris, (4) memiliki ibu kota negara yang merepresentasikan identitas bangsa, kebinekaan dan penghayatan terhadap Pancasila, (5) meningkatkan pengelolaan pemerintahan pusat yang efisien dan efektif, (6) memiliki Ibu kota yang menerapkan konsep smart, green, and beautiful city untuk meningkatkan kemampuan daya saing (competitiveness) secara regional maupun internasional.

Pemindahan IKN juga mendapat sorotan dari masyarakat umum. Survei KedaiKopi Desember 2021 mengungkapkan 61,9% responden tidak setuju dengan pemindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke Kalimantan Timur sebab menyebabkan pemborosan anggaran. Belum lagi adanya suara sumbang mengenai keterlibatan politikus penguasa lahan proyek IKN. Ada tendensi nepotisme politukus elit untuk melegitimasi kekuasaan dan kekayaan dengan dalih pemerataan ekonomi dan keadilan nasional.

Proses pengebutan RUU IKN sekilas mirip dengan metode pengesahan RUU Cipta Kerja yang penuh polemik. Aspirasi masyarakat yang sering dijadikan alasan pengesahan RUU tidak sesuai dengan survei yang lebih banyak penolakan daripada menyetujui pemindahan ibu kota. Sedangkan ambisi presiden lebih mulus dijadikan tajuk sidang paripurna DPR.

Polemik RUU IKN menurunkan integritas DPR sebagai perwakilan rakyat, namun lebih terlihat sebagai lembaga perwakilan presiden yang kebetulan duduk di parlemen. Urgensi pemulihan ekonomi nasional dan daerah pascapandemi dianggap lebih penting daripada nafsu pemindahan ibu kota. Apalagi data membengkaknya utang pemerintah yang tercatat meningkat sebesar Rp 6.713,24 triliun hingga per akhir November 2021 atau sekitar 39,38 persen dari PDB.

Pertanyaannya, apakah pemindahan ibu kota bisa meningkatkan pemerataan ekonomi nasional? Seberapa besar daya pikat ibu kota Nusantara yang jauh dari Pulau Jawa sebagai penduduk terbesar di Indonesia? Atau pemindahan ibu kota hanya proyek politikus elit tanpa mempertimbangkan risiko kemiskinan masyarakat pascapandemi?


  Demokrasi hanyalah mimpi ketika korupsi, politik uang, kekerasan, terorisme, dan aneka konflik horizontal masih marak terjadi di Indonesia...

 

kontrademokrasi

Demokrasi hanyalah mimpi ketika korupsi, politik uang, kekerasan, terorisme, dan aneka konflik horizontal masih marak terjadi di Indonesia. Ketika media menjadi sarana efektif menyampaikan suara (pendapat) dibungkam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penguasa membentuk polisi digital untuk menjerat pelaku yang dianggap membangkang. Bersuara berarti harus siap dipenjarakan.

Degradasi demokrasi mulai kentara ketika dominasi kekuasaan berkumpul melakukan praktek kesepakatan sistem oligarki. Mengorbankan kepentingan rakyat untuk memperkaya diri. Mengabaikan keadilan demi popularitas ketokohan. Rakyat dijadikan tumbal menghancurkan tatanan nilai, sosial, dan budaya bangsa. Lingkungan hidup diekspolitasi untuk sekelompok orang dan demokrasi berubah menjadi turbo kapitalisme.

Pembangunan tanpa konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) kerap dilakukan. Hak-hak warga dibeli dengan dalih amanat konstitusi. Kelestarian lingkungan tidak dipertimbangkan sebagai aset kehidupan di masa mendatang. Demokrasi malah dijadikan ajang menguasai negeri sebab segalanya bisa dibeli dengan uang.

Konsep pemerintahan teknokrat dijadikan acuan utama pembangunan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Mementingkan pembangunan fisik dengan menggunakan teknologi, sedangkan manusia dibentuk untuk mengabdi pada kepentingan industri. Demi memuluskan cita-cita, pemerintah sering dicap penguasa diktator karena keterlibatan militer dalam membantu pemerintah menjalankan kerakusan kebijakan.

Esensi kemajuan bangsa dicitrakan dari pesatnya pembangunan, sedangkan kebodohan, kemiskinan, intoleransi masih marak terjadi di berbagai daerah. Alih-alih menjadi negara yang demokratis, Indonesia terjebak pada sistem negara oligarkis. Membeli media untuk pencitraan, menyewa agen asing untuk membangun krisis kepercayaan, mendikte sistem agar masyarakat tunduk dan patuh pada penguasa.

Oposisi selalu diintimidasi dan dikucilkan. Kritikus dibungkam dan diasingkan. Tersisa pemuja pemerintah yang membayar beberapa pekerja untuk menyebarkan virus kebohongan di masyarakat. Demokrasi hanyalah ilusi meski sudah lama teriak-teriak reformasi. Korupsi masih membudaya ketika putusan hukum di pengadilan sering berkomedi.

Politikus adalah artis politik dadakan untuk menunjang suara partai. Ketika berkuasa, kepedulian sosial dan suara-suara keadilan hilang di gedung parlemen. Demokrasi di Indonesia hanya sebatas memilih wakil rakyat dan pemimpin secara langsung. Perkara manipulasi perhitungan suara, kecurangan selama masa kampanye, hingga masifnya politik uang bukanlah urusan rakyat yang merindukan demokrasi yang sehat.

 

Baca Juga : Drama Politik Indonesia

Tirani Demokrasi

Kompromi politik busuk masih dijadikan agenda mereduksi demokrasi. Narasi konstitisi, pancasila, NKRI harga mati, hanyalah pengalihan isu agar bebas melegitimasi kejahatan politik domestik. Politik adalah desain model bisnis yang ketika terjun harus menyiapkan modal besar dan berniat mendapatkan keuntungan atas modal yang sudah dikeluarkan.

Rakyat dipaksa membayar pajak, demokrasi malah diinjak-injak. Rakyat tidak pernah diajak diskusi dalam pengambilan kebijakan. Analis dan praktisi sering dilalaikan ketika menyusun undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya. Ujug-ujug rakyat diberitahukan pengesahan aturan yang terlanjur diketok palu di parlemen. Rakyat demo dibiarkan sampai kehabisan suara. Tidak akan ada evaluasi di negeri oligarki.

Harga sembako mulai meningkat, upah buruh dipangkas sedemikian rupa. Penguasa masih bisa mendongeng tentang keadilan yang merata. Hukum dihapus dengan perilaku sopan di pengadilan, koruptor dipangkas masa tahanan, pelaku kriminal dianggap kelalaian, dan masyarakat yang menyuarakan perlawanan terhadap alih fungsi lahan dituduh makar.

Demokrasi dibeli korporasi. Pemerintah butuh uang untuk melunasi hutang. Pejabat butuh uang untuk mengembalikan modal kampanye. Kapitalis datang menawarkan presentasi simbiosis mutualisme. Rakyat hanya butuh diam menerima dampak dari perilaku kontrademokrasi pemerintah dan sekongkolnya.

Pengakuan negara lain terhadap kemajuan Indonesia hanyalah hiburan di tengah memprihatinkan kondisi masyarakat miskin. Mengalihkan isu dari bobroknya pejabat yang melakukan korupsi dan suap untuk meluluskan bisnis ilegal. Bersuara terhadap keresahan kebijakan pemerintah dan perilaku penguasa hanya akan dianggap penghinaan tanpa didasari data yang valid. Sedangkan data dimanipulasi untuk kepentingan penguasa.

Demokrasi harus dikembalikan kepada posisinya. Memberikan wadah kepada setiap orang untuk menyampaikan kegelisahan terhadap kecacatan kebijakan. Melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan yang sering dilakukan secara sepihak. Demokrasi adalah bangunan sistem dari rakyat, bukan pemerintah. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Jika rakyat sering diabaikan dalam setiap pengambilan kebijakan, berarti pemerintah secara tidak langsung sedang melakukan praktek kontrademokrasi untuk konsisten melanggengkan kekuasaan. Demokrasi hanyalah slogan yang tidak benar-benar diaktualisasikan oleh sistem. Demokrasi hanya akan menjadi tirani penguasa tanpa pemahaman dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

 

Pernah dimuat Riau Pos

  Bahasan calon presiden 2024 masih menjadi tajuk utama diskusi publik. Berbagai survei memunculkan elektabilitas dan popularitas politikus ...

 

anies baswedan politik

Bahasan calon presiden 2024 masih menjadi tajuk utama diskusi publik. Berbagai survei memunculkan elektabilitas dan popularitas politikus mewarnai kontestasi politik lima tahunan. Harapan generasi emas berada di pundak pemimpin (presiden) berikutnya, setelah periode kedua Joko Widodo disibukkan dengan penyelesaian pandemi dan pemulihan ekonomi.

Komunikasi partai politik menyusun siasat pengukuhan bakal calon presiden agar lolos presidential threshold juga menjadi agenda besar selain basa-basi politikus tentang fokus penanganan pandemi. Partai besar sibuk memilah calon potensial untuk melanggengkan kekuasaan, sedangkan partai kecil-menengah sibuk lobi koalisi meminta jatah jabatan.

Beberapa tokoh muncul berseliweran sebagai kandidat kuat presiden RI ke-8. Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia, Prabowo Subianto menjadi tokoh dengan elektabilitas tertinggi (24%), disusul Ganjar Pranowo (20,8%) dan Anies Baswedan (15,1%). Posisi tersebut juga sama berdasarkan survei yang dilakukan Survey & Polling Indonesia (SPIN) dan Poligov. Nama lain yang masuk bursa calon presiden adalah Ridwan Kamil, Sandiaga Salahudin Uno, Agus Harimurti Yudhoyono, Puan Maharani, hingga Airlangga Hartarto.

Sedikit mengabaikan isu jabatan presiden tiga periode, kemunculan tokoh-tokoh baru menghiasi pesta demokrasi dengan gaya kepemimpinan yang lebih modern. Mayoritas calon presiden masa depan Indonesia memilenialkan diri dengan aktif bersosial media. Menggunakan metode kampanye digital yang dianggap lebih efektif mengeruk suara generasi milenial. Buktinya, banyak politikus kini aktif pamer pencitraan di media sosial disertai bumbu jenaka agar dikesan membaur (merakyat).

Meskipun demikian, masyarakat Indonesia harus merelakan tokoh pilihannya tidak turut serta dalam kontestasi pilihan presiden sebab sandungan presidential threshold. Beragam calon dengan karakter kepemimpinan yang unik akan tereliminasi karena kejahatan sistem yang diracik menggagalkan kader potensial duduk di istana kepresidenan. Tanpa pakaian partai, tokoh yang punya integritas harus dipaksa mengundurkan diri sebelum bertanding.

Konflik Ganjar Pranowo dengan internal DPP PDI Perjuangan menjadi contoh tentang bahayanya tokoh yang tidak patuh dan tunduk terhadap perintah partai. Sebelum menjadi presiden, politikus harus rela mbabu kepada partai politik sebagai syarat mutlak pencalonan. Hilangkan idealisme kepemimpinan selama partai masih mendominasi politik nasional. Pemimpin (presiden) Indonesia yang bukan dari ketua partai hanyalah boneka menyalurkan hasrat politik partai menguasai pemerintah dan negara.

 

Baca Juga : Formulasi Politik E

Menanti Narasi Politik Identitas

Menarik menantikan kebijakan yang diambil PDI Perjuangan ketika mengusung kandidat calon presiden 2024. Kampanye baliho Puan Maharani sedikit memberikan jawaban calon presiden dari PDI Perjuangan agar ojo pedot oyot (jangan putus akar). Di sisi lain, elektabiltas Ganjar Pranowo masih stabil di urutan 3 teratas calon presiden RI, unggul jauh dari Puan Maharani. Sebagai partai pemenang pemilu 2019, PDI Perjuangan punya kebebasan memilih siapapun tanpa harus mengemis koalisi dengan partai lain.

Potensi Ganjar menjadi “barang dagangan” yang menarik bagi partai lain yang ingin menikung PDI Perjuangan. Gagasan pencalonan Ganjar-Airlangga, Ganjar-Muhaimin, Ganjar-AHY bisa mengancam dominasi partai banteng berkuasa di pemerintahan, hanya jika Ganjar diasingkan oleh partai sebab konflik internal sejak setahun yang lalu.

Gaya kepemimpinan Ganjar yang mirip dengan Jokowi menjadi modal menarik simpati rakyat. Selain kebijakan strategis membangun Jawa Tengah, Ganjar juga dikenal sebagai politikus yang gemar menyapa generasi milenial di media sosial. Ganjar adalah representasi pemimpin nasionalis yang tentunya akan dihadapkan pemimpin islamis seperti pola pemilu 5 tahun ke belakang.

Meskipun pandemi sedikit mengurangi intensitas konflik politik identitas, narasi serupa tampaknya akan menjadi hidangan wajib menjelang pilihan presiden. Tentu ketika basis muslim fundamentalis dan konservatif sudah menentukan dukungannya. Saat ini hanya Anies Baswedan yang diharap merobohkan dominasi kekuasaan nasionalis. Anies merupakan keberhasilan produk islamisme yang mampu mengalahkan tokoh nasionalisme di pilkada DKI Jakarta.

Sedangkan Prabowo Subianto sudah tereliminasi dari daftar pemilih muslim sebelumnya. Pilihannya untuk masuk dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin memicu kekecewaan pendukung yang mati-matian berkampanye saat pilpres 2019. Setidaknya jika Prabowo maju lagi menjadi calon presiden akan mereduksi pemilih muslim dari kalangan kelompok 212, eks-FPI, eks-HTI, dan Islam konservatif lainnya. Meskipun beberapa survei masih menempatkannya di urutan teratas, langkah politik Prabowo perlu dipertimbangkan lebih matang lagi sebelum kembali dipecundangi di arena kontetasi pilihan presiden.

Sedangkan Anies semakin mendapat angin segar sebab kebijakannya yang mayoritas mendapat atensi dari pendukung fanatiknya. Meski tanpa pakaian partai, Anies tentu akan mudah mendapat dukungan partai Islam seperti PKS dan (mungkin) PAN. PKS dan PAN merupakan partai menengah yang tidak memiliki kader potensial untuk bersaing di tingkat pilpres. Mengusung Anies adalah langkah realistis untuk meligitimasi kelompok oposisi.

Menarik ditunggu narasi apalagi yang akan dilemparkan menyambut pesta demokrasi 2024. Islam tampaknya akan tetap menjadi alat politik mengingat mayoritas penduduk Indonesia ber-KTP agama Islam dan juga tren hijrah milenial saat ini. Apapun yang terjadi, politik identitas tetap akan menjadi kebutuhan berdemokrasi di tengah masifnya kemajuan industri digital dan informasi.

 

Pernah dimuat Ratizen Republika

https://retizen.republika.co.id/posts/48577/anies-baswedan-harapan-politik-identitas 

  Demokrasi lahir ditandai adanya beragam penindasan politik dan ekonomi dengan mengorbankan rakyat sebagai tumbal kesejahteraan. Yang menja...

 

jual beli demokrasi

Demokrasi lahir ditandai adanya beragam penindasan politik dan ekonomi dengan mengorbankan rakyat sebagai tumbal kesejahteraan. Yang menjadi sasaran demokrasi adalah legitimasi dan keadilan, bukan retorika yang berbuah ketidakadilan. Dorongan untuk mewujudkan keadilan dan kemakmuran bersama kerap bermuara pada frustasi kebijakan di tingkat parlemen.

Indonesia adalah negara yang menganut demokrasi modern dengan berpijak pada pancasila. Demokrasi di Indonesia tidak mengacu pada nilai-nilai liberalisme, melainkan perpaduan antara agama, kemanusiaan, dan sosialisme. Risiko yang terjadi adalah demokrasi akan mendorong terjadinya konflik. Sesama masyarakat maupun dengan pemerintah.

Demokrasi membutuhkan kepemimpinan dan keterampilan berorganisasi. Namun implementasi kampanye berdemokrasi hanya dijadikan dalih untuk semakin memperkuat dominasi kekuasaan. Demokrasi dijadikan alat kosmetik politik untuk dijadikan daya tarik popularitas tokoh dan partai. Tujuan demokrasi adalah legitimasi dan keadilan, bukan retorika yang berbuah ketidakadilan.

Politik demokrasi Indonesia masih intim melakukan kompromi dan lobi jatah kekuasaan. Kepentingan rakyat dilanggar untuk memuaskan gairah berkuasa (menjajah) segelintir elit politik. Bahkan beberapa di antaranya menggunakan ornamen agama untuk menciptakan gaya politik identitas. Demokrasi kerap dijadikan barang jualan politikus. Meneriakan kebabasan hak asasi, menjunjung keterbukaan, memperkuas legalitas hukum yang setara dan berkeadilan. Namun realita politik domestik malah sebaliknya.

Budaya demokratis harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional secara menyeluruh agar tidak gampang ditipu sandiwara politik. Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, melainkan soal menjalankan kehidupan bermasyarakat dengan berpijak pada nilai-nilai yang disepakati bersama secara rasional, terbuka, dan bebas. Jangan sampai demokrasi hanya dijadikan transaksi jual beli politik untuk melanggengkan kekuasaan.

Keterlibatan politik dan keadilan adalah tujuan inti demokrasi modern. Aspek kesetaraan warga negara di hadapan hukum dan politik perlu diperkuat. Selain itu juga aspek kebebasan yang berakar pada hak-hak asasi manusia, yakni kebebasan untuk hidup, berpikir, berpendapat, dan beragama. Demokrasi akan terus terancam ketika aspirasi rakyat tidak pernah mendapat tempat dalam menyusun tata kelola kebijakan lembaga pemerintah dan negara.

 

Baca Juga : Beraspirasi di Negara Demokrasi

Demokrasi Dagelan

Jarak antara pejabat di parlemen dengan rakyat semakin curam. Rakyat hanya dijadikan tameng melegalkan ambisi kekuasaan. Wakil rakyat hanya sebatas formalitas nama dan pemilihan yang sarat sandirwara politik. Tidak ada aspirasi dan perpanjangan kebutuhan rakyat selain belenggu partai politik. Koalisi akan tetap menjadi musuh oposisi, tidak ada rakyat dan demokrasi yang semula diagung-agungkan.

Politik dalam suatu negara berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution). Kebijakan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) adalah satu dari sekian keputusan politik yang mengorbankan rakyat sebagai objek politik. Dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menyebabkan representasi dari parlemen sangat lemah.

Pemberlakuan Presidential Threshold dapat mengebiri hak politik (hak dipilih dan memilih) rakyat untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden pilihan. Pemimpin hanya disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak mengikuti selera politik oligarkis. Dampaknya adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam menggunakan hak politiknya.

Ketidakmampuan setiap warga negara mencalonkan diri sebagai presiden menyebabkan fenomena lobi politik menjadi sebuah keniscayaan. Independensi Jokowi pun runtuh ketika semasa kampanye lantang koalisi tanpa syarat, namun akhirnya membagi jatah kekuasaan. Realita sistem politik yang menghendaki jual-beli demokrasi. Sedangkan rakyat hanya bisa menyaksikan demokrasi dagelan para politikus yang mengabaikan hak konstitusi dasar dalam berpolitik.

Presidential Threshold hanyalah konspirasi partai besar untuk mendominasi kekuasaan dan kebijakan publik. Presiden hanya dijadikan boneka menyalurkan hasrat politik secara formal. Demokrasi yang mengedepankan nilai kebebasan dibeli oleh seperangkat alat politik yang mengatasnamakan rakyat. Rakyat diatur oleh sistem politik untuk memilih (tanpa hak dipilih) presiden.

Wakil rakyat juga tidak punya gairah menyampaikan aspirasi ketika dibungkam oleh prinsip loyalitas partai. Demokrasi dagelan hanya akan mempertunjukan kontestasi politik orang-orang yang sudah dicetak oleh sistem politik. Tidak ada harapan memilih tokoh-tokoh yang berintgritas sebab kalah elektabilitas. Selama tidak ada kesadaran membenahi transaksi politik demokrasi, maka politik Indonesia tetap akan membungkam nalar kritis rakyat yang mencitakan sistem demokrasi modern.

Politik di Indonesia kerap menjual demokrasi saat pemilihan umum, selanjutnya membeli demokrasi untuk mempertahankan dominasi kekuasaan. Rakyat hanya diberikan kebebasan untuk mengkritik tanpa ada harapan terhadap perubahan. Demokrasi di Indonesia konsisten menjadi barang dagangan para politikus mengatasnamakan rakyat dan keadilan.

 

Pernah dimuat Petisi

https://petisinews.com/jual-beli-demokrasi/